Cerpen, Kompas, Motinggo Busye

Dua Tengkorak Kepala

Dua Tengkorak Kepala - Cerpen Motinggo Busye

Dua Tengkorak Kepala ilustrasi Kompas

5
(6)

Cerpen Motinggo Busye

ADA dua tengkorak kepala yang sampai saat ini masih membuat aku harus menghela napas dalam-dalam. Dua tengkorak kepala manusia yang paling memberikan arti bagi hidupku.

Aku harus berurusan dengan dua tengkorak kepala itu. Ini bermula dari telepon interlokal Umi, ibuku: aku harus segera berangkat ke Lhok Seumawe, Aceh.

Umi telah dua kali menginterlokalku. Kata beliau, aku telah diangkat menjadi Ketua Panitia pemindahan kuburan kakekku. Aku sudah paham benar, Umi jangan sampai menginterlokal yang ketiga kali. Aku tentu tak mau menjadi anak durhaka.

Kali ini aku memilih pulang kampung lewat jalan darat. Dalam perjalanan dari Lampung hingga ke Aceh Selatan, banyak sekali jalan raya yang buruk. Lagi pula, kota-kota yang kulewati tak memberikan suasana batin bagiku.

Akan tetapi, menjelang tiba di kota kecil Sidikalang, secara tak sengaja aku buka kaca mobil. Hidungku langsung menyerap aroma wanginya nilam. Kota ini mengingatkan sejemput keharuan tentang diri si Ali, sahabat karibku. Kecepatan mobil kuperlahankan. Mataku menikmati pemandangan pohon-pohon nilam yang merimbuni pelosok kota kecil ini. Tinggi tanaman ini cuma setinggi pepohonan bayam. Sekiranya Ali mengikuti pikiran logis Mak Toha—ibunya—ia sekarang ini sudah jadi saudagar kaya karena berdagang minyak nilam itu. Sebelum meninggalkan kota kecil ini, aku sekali lagi melihat pemandangan pantai yang indah. Pikirku, Ali kini sudah terkubur menjadi tulang-tulang tengkorak karena pembantaian itu.

Seketika itu juga akan menyadari kewajiban mampir ke rumah Mak Toha. Benar-benar wajib! Dia adalah wanita baik hati yang kukenal sejak remaja di Lhok Seumawe. Keluarganya sudah kuanggap famili. Salah seorang anaknya Ali adalah teman sekelasku sejak di SMP. Ali tidak suka, dan tak pernah suka memakai gelar kebangsawanannya. Kami sepaham. Ini yang membuat aku dan Ali jadi akrab.

Dan senja itu aku mampir ke rumah Mak Toha. Beliau sangat terkejut. Aku berdiri di depan pintu mengucap assalamu’alaikum. Separuh menjerit beliau menyebut namaku.

“Kamu membuat Mak merasa Ali hidup kembali,” katanya.

“Jadi benarlah cerita Ali telah wafat,” kataku.

“Ya,” kata Mak Toha. “Tapi kami lillahi ta’ala. Kami sudah punya pundi-pundi surga jihad. Alhamdulillah.”

Aku dipersilakannya duduk menunggu dia membawa teh. “Di mana kamu dengar Ali telah mendahului kita?”

“Dari Ja’far,” kataku tenang. Namun dalam jiwaku muncul pergolakan batin: mengapa si Ali, temanku penari Seudati yang piawai, pemain drama dan pendeklamasi yang handal sampai gugur dengan sangat mengenaskan?

Tiba-tiba kuingat, sepucuk surat Ali yang dia kirim dari Tripoli, ibukota Lybia. Ketika kubaca suratnya, aku punya kesan fanatisme Ali pada diktator itu. Di akhir suratnya dia menulis: “dari putra Khadafi”. Lalu tanda-tangannya. Namun kesan itu berubah lagi. Sebab, sepulang dia dan Lybia itu, Ali menulis surat kepadaku lagi. KaIi ini tidak ada fanatisme “putra Khadafi”. Bahkan surat itu datang dari Medan: “Sekarang aku mengajar privat Bahasa Inggris di Medan. Walaupun Mak kami kaya, aku musti belajar mandiri. Mak mengajak aku berkebun nilam, bila kita rajin bertanam nilam, harga minyak nilam bisa membuat kita kaya. Tapi menjadi kaya bukan tujuanku,” tulis Ali dalam surat itu. Kalimat terakhir inilah yang terpenting.

Sejak itu aku tidak pernah menerima surat lagi dari Ali. Dan ternyata, tidak akan pernah lagi, selama-lamanya. Dia telah dibantai bersama teman-temannya tanpa diadili. Dia sudah menjadi tengkorak bersama tengkorak-tengkorak lain yang dikubur secara masal.

Dan kini, diruang tamu Mak Toha si Ali tinggal kenangan. Bahasa Inggrisnya yang bagus, sampai-sampai dia menguasai serta Inggris tingkat Bahasa William Shakespeare. Kalau aku ingat semasa SMA dengan segala kelebihannya, Ali tak pantas dituduh memegang senjata, dan dibunuh. Harusnya mereka tak membunuh Ali melainkan mengagumi membaca puisi.

Ali hafal hampir semua karya Shakespeare. Suatu sore dia kerumahku, hanya untuk memberi berita ini: “He, ternyata Shakespeare punya puisi-puisi khusus, dia bukan hanya sutradara dan pengarang drama, dan juga bukan hanya seorang yang suka melucu. Dia ternyata seorang penyair yang bagus. Pamanku baru saja mengirim buku ini dari Singapura. Kamu bacalah salah satu puisinya:

So shalf thou feed on Death,

that feeds on men,

And Death once dead,

there’s no more dying then.

Yang mengejutkanku, dia terjemahkan karya besar itu dalam bahasa Aceh yang sempurna. Di Aceh, puisi memang sudah menjadi biasa, dan jadi bahasa sehari-hari, karena negeri ini kaya dengan para penyair lisan. Puisi Shakespear yang dibaca lisan oleh Ali dalam Bahasa Aceh—apalagi tentang maut—menanamkan ketenangan batin khusus bagi banyak orang sudah menjadi karakter orang Aceh, kalau maut sudah sekali menjemput, tidak ada lagi kematian berikutnya. Mati hanya datang satu kali.

Baca juga  Manusia Kantong Plastik Hitam

Pernah aku sangat sibuk mencari naskah drama Tanda Silang” karya penulis asing yang sudah disadur oleh W.S. Rendra. Kami pernah membaca resensi pementasannya.

“Kita perlu menanamkan keberanian pada orang Indonesia. Ada yang bilang pada saya, satu kalimat terhebat dalam drama Tanda Silang itu. Mengenai kematian dan pahlawan. Tapi saya sangsi kalimat itu orisinil. Tolong kamu carilah naskah itu. Liburan kwartal kamu cari ke Medan. Kita pentaskan untuk perpisahan sekolah,” desak Ali.

Aku tentu dengan mudah menemukan naskah itu di Medan. Medan kota paling gila drama. Herannya tertera di naskah itu, penerjemahnya adalah Sitor Situmorang, bukan W.S. Rendra. Tidak penting bagiku meneliti soal siapa penerjemahnya. Kami akan mementaskan drama ini di Lhok Seumawe. Sudah banyak sekolah SMA di Medan mementaskan drama ini. Tapi begitu naskah stensilan itu dibaca Ali, dia berteriak marah: “Wah, ini ada kalimat jiplakan dari drama Julius Caesar karya Shakespeare.”

“Jiplakan?” tanyaku

“Ya! Kalimat ini ada dalam drama Julius Caesar.”

Ali mengeluarkan buku dari lacinya. Dia menunjukkan dua kalimat itu sebagaimana tertera di buku aslinya:

Cowards die many times before their deaths,

The Valiant never taste of death but once.

Hampir saja Ali membatalkan rencana pementasan itu. Untung ada Ustadz Tengku Muhamad Diah—guru agama kami—menyarankan agar si Ali tidak emosional.

“Bukankah kalimat itu agung, Ali?” ucap Ustadz.

“Ya. Terlepas dari orisinalnya, memang agung Pak Ustadz: Para pengecut mati berkali-kali sebelum ajalnya tiba. Pahlawan tidak merasakan ajal kecuali satu kali.”

Setelah dua puluh lima kali latihan selama tiga bulan, ketika dipentaskan benar-benar sukses. Terutama karena hebatnya permainan Ali. Tapi di balik tepuk tangan riuh itu, Ali tak gembira. Gadis yang dicintainya, Cut Nur’aini, akan menikah dengan Tengku Faisal seorang saudagar Aceh yang bermukim di Malaysia.

Mak Toha sempat tahu persis kejadian yang menimpa Ali itu. Beliau bercerita: “Waktu Mak mengajak Ali pindah ke Sidikalang ini, dia memutuskan melanjutkan sekolah di Singapura.” Lalu beliau menawarkan suguhan ubi rebusnya: “Ini ubi rebus sebesar paha kamu. Nah, kembali kepada cerita si Ali tadi,” lanjut Mak Toha, “Dia katakan pada Mak, bahwa dia ada menulis surat pada kamu. Kata almarhum kepada Mak lagi, kamu melanjutkan sekolah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogya. Katanya kamu kepingin mengisi ilmu untuk bersiap diri jadi saudagar.”

Aku hanya bisa tersenyum. Aku menambahi cerita Mak Toha: “Saya ada sekali menerima suratnya, Mak, justru cap pos dari Sidikalang ini.”

“Itu benar. Katanya dia tak betah di Singapura. Katanya lagi, malas awak di Singapura ‘ndak nambah ilmu. Itulah dia, teman kamu: akhirnya mau merantau ke Mesir. Mumpung uang ada, Mak dorong dia merantau. Niat baik jangan ditunda ’kan? Tapi dasar si Ali. Hatinya diperturutkannya berbelok merantau ke Lybia itu. Tapi demi Allah, dia ke Lybia tidak di sekolah militer. ABRI bikin isyu, ketika akan menangkap Ali, dikatanya si Ali latihan militer di Lybia. Itu fitnah. Di sana dia malahan jadi pembantu guru Bahasa Inggris. Muamar Khadafi itu orangnya angkuh, pandai sekali berbahasa Perancis dan Inggris. Dia suka merendahkan orang bodoh. Si Ali dulu pernah bercerita, Khadafi sekolah militernya di Inggris, dibiayai oleh Sultan Idris. Bahkan ketika dia merebut kekuasaan, usianya masih dua puluh sembilan tahun.”

Mak mulai menyeka airmatanya. Aku sudah mulai gelisah ingin segera meneruskan perjalanan ke Lhok Seumawe. Kulihat tambah banyak cerita Mak, tambah berlinang airmatanya. Sementara otakku membayangkan, temanku itu sudah jadi tengkorak sekarang. Maka segera kujelaskan pada Mak Toha, bahwa aku perlu cepat ke Lhok Seumawe karena harus menjadi Ketua Panitia pemindahan kuburan kakekku.

Namun wanita tua itu merengek-rengek: “Menginaplah di sini semalam, Nak. Supaya lepas rindu Mak pada almarhum putraku.”

Aku wajib pula mengabulkan bujukan itu. Mujur pula, sore itu juga, Ibrahim adik lelaki Ali, muncul. Dia keren. Bahkan lebih keren dari Ali. Dia memakai jas. Aku memulai dengan gurau, “Pakai jas siang-siang apa tidak panas, Brahim?”

Baca juga  Malam di Kota Merah

“Jika pakai jas, awak tak dituduh orang ekstrem. Tapi jas ini penting, karena awak sekarang ‘kan pedagang minyak nilam.”

“Oh, hebat kau,” ucapku gembira. Hadirnya Ibrahim, yang ternyata tukang ngobrol, membuat aku tak usah mendengar cerita sedih Mak Toha lagi.

Kemudian, Ibrahim memberitahuku, “Kami akan ke Dayah Baureuh. Di sana kami akan membongkar kuburan orang-orang yang dituduh ikut GAM. [1] Kami akan mencari identitas mayat korban. Lalu kami akan menguburkannya. Dulu di sana mereka ditembak ABRI secara massal dan dikuburkan juga secara massal.”

Aku terhenyak kaget. Kematian Ali yang kudengar dari Yakub tidaklah sekeji seperti yang diceritakan Ibrahim. Ibrahim lalu menceritakan kapan ancang-ancang kuburan massal itu akan dibongkar.

“Kalau sudah pasti tanggalnya, saya akan ikut kalian. Teleponlah aku ke Lhok Seumawe. Kamu punya nomor telepon kami ‘kan?” kataku.

“Mari awak catat,” ujar Ibrahim gembira. Semula dia kira aku tak menganggap penting peristiwa pembongkaran kuburan itu. Karena hal ini jauh lebih penting dari rencana pemindahan kuburan Kakekku, aku punya alasan minta izin pada Mak Toha dan Ibrahim untuk malam itu juga pulang ke Lhok Seumawe. Malam itu juga Mak Toha ikhlas melepasku. Beliau sangat bahagia karena aku akan melibatkan diri pada pembongkaran kuburan si Ali ini.

Dini hari itu juga, Umi kaget melihat aku muncul di depan rumah, lebih cepat dari dugaannya.

“Saya sengaja datang lebih awal. Kita perlu mengadakan rapat keluarga untuk menunda pemindahan kuburan Inyik,” kataku pada ibuku. Inyik adalah cara paling manis yang diajarkan Umi untuk menyebutkan kakekku. Padahal aku belum pernah bertemu dengan beliau, sebab beliau telah wafat di tahun zaman penjajahan Jepang, 1942.

Cerita Umi mengenai kematian Inyik, selalu menyentuh batinku, membuat almarhum kakekku itu menjadi legenda bagiku. Padahal kelak, aku cuma bertemu tengkorak kepalanya saja. Dan tengkorak kepala itu pula yang sering membuatku menghela napas dalam-dalam sebagaimana jika aku membayangkan tengkorak kepala temanku Ali.

Sebelum aku umumkan pembongkaran kuburan kakek harus ditunda, aku sudah tahu persis sifat Umi. Ibuku ini orangnya keras. Namun aku yakin, betapa pun kerasnya Umi, jika dia disuruh memilih mana yang lebih penting, mengikuti upacara pembongkaran kuburan korban DOM [2] atau membongkar kuburan kakek, pastilah Umi akan memilih lebih penting mendahulukan korban DOM. Aku tahu persis itu.

Lalu aku bercerita mengenai sambutan Mak Toha. Kuceritakan betapa Mak Toha memaksa aku menginap. Betapa bersemangatnya beliau jika menceritakan si Ali. Tampak Umi menghapus airmatanya dengan pinggiran kerudung. Tiba-tiba, Umi membuat aku kaget sewaktu beliau berkata: “Seharusnya kamu yang mati syahid itu. Jadi kami punya pundi-pundi untuk menyejukkan kami di Padang Mahsyar.”

Umi memuji kelemah-lembutan Ali. Bahkan beliau sempat mengingat, suatu kali pernah diundang Ali untuk hadir pada pembacaan syair dalam bahasa Aceh, di Langsa. Beliau hadir.

“Kapan itu, Umi?” tanyaku.

“Ketika dia mengajar privat di Medan, sepulangnya dari Tripoli. Bahasa Acehnya terpuji, bahasa Arabnya fasih, bahasa Inggrisnya cantik, bahasa Indonesianya terpuji. Bayangkan, dia membaca syair itu dalam empat bahasa. Orang konsulat asing saja terheran-heran. Sayang kamu tak turut menyaksikannya. Tahu kamu, awak pun menangis terharu.”

Aku tak memberi komentar, karena perempuan-perempuan kami di Aceh, jika sudah bicara soal mati syahid, tangisnya dilumuri ruh jihad. Aku cuma berkata dalam hati: “Bagi Ali, mati seakan-akan sudah merupakan kerinduan dan janji.”

Di rumahku di Lhok Seumawe, keesokan harinya tamu-tamu banyak datang. Tamu dari Jakarta dirasakan begitu istimewa. Mereka menanyakan kepadaku, bagaimana sikap orang Jakarta mengenai DOM. Apa benar DOM akan dihapus. Apa benar pula Kodam Iskandar Muda akan dihidupkan kembali.

Dalam hal ini, aku harus tidak bersikap netral. Bagi mereka, jika aku netral, aku akan dianggap munafik. Munafik lebih dibenci dibanding kafir.

Lalu, menjelang lohor, kami sudah sependapat untuk ikut menggali kuburan korban DOM di dekat desa Dayah Baureuh. Kami sepakat untuk menyenangkan Mak Toha. Dan tiga hari setelah rapat keluarga itu, sangat gembira aku menerima telepon dari Sidikalang. Kata Ibrahim, “Kami akan tiba di desa Dayah Baureuh tanggal 14 hari Rabu. Datanglah hari Rabu itu. Jumpai kami di sana. Di sana ada Meunasah. [3] Kalian kami tunggu di situ. Kami akan bawa banyak sekali nasi bungkus dan kue-kue.”

Baca juga  Jatuhnya Seorang Astronaut

Aku sangat menguasai peta Aceh Timur. Karena itu, setiba di Meunasah, aku langsung memeluk satu demi satu rombongan dari Sidikalang, termasuk juga penduduk desa Dayah Baureuh yang siap membantu membongkar pekuburan massal yang tak jauh dari desa itu sendiri.

Kami menggali mayat-mayat itu secara hati-hati. Ada pakaian korban yang masih utuh. Dari KTP yang di-laminating dari tiga tengkorak, ada pula beberapa orang bahkan teman sekelasku di SMP dan SMA. Banyak tengkorak yang sulit dikenali, karena tanpa KTP. Kami masih terus membolak-balik beberapa tengkorak, tinggal tiga tengkorak yang masih keliru identitasnya. Ada pula yang keliru karena ditemukan cincin tembaga yang mengikat batu akik darah.

“Ini pasti si Amir,” kata ibu Amir.

Seorang ibu mengaku pula: “Ini jari tulang anakku. Ini cincin batu pirus Persia si Buyung.”

Mak Toha yang masih merahasiakan kecemasannya.

“Kabarnya Ali melawan waktu itu,” ujar Udin, seorang saksi mata, yang seusiaku.

“Lalu? Setelah dia melawan?” tanyaku.

“Dia ditembak langsung oleh Kapiten,” kata Udin.

Inilah yang memberi inspirasi padaku bertanya seorang tentara yang mengawasi penggalian itu: “Jika komandan, dia menggunakan senjata genggam atau Senjata laras panjang, Mas?”

“Biasanya pistol,” jawabnya.

Langsung kuambil satu tengkorak kepala. Kening batok kepala itu berlubang.

“Kalau cerita Udin tadi betul, ini pasti tengkorak si Ali,” kataku.

Kening tengkorak kepala itu berlubang. Lalu aku bersihkan tanah yang mengisi bagian dalamnya. Dan kutemukan pula sebutir peluru. Kuambil peluru itu, aku tunjukkan kepada tentara tadi dan bertanya: “Ini peluru senjata genggam?”

“Betul. Ini peluru pistol Vickers.”

“Mak Toha sudah puas?” tanyaku.

Alhamdulillah. Tapi itu! Itu giginya coba bersihkan, Nak! Itu gigi platina si Ali,” kata wanita tua itu gembira. Kucabut gigi palsu platina itu, lalu kuberikan pada Mak Toha. Beliau mencium gigi palsu putranya, lalu memasukkannya ke dalam dompet. Sedangkan peluru Vickers tadi kumasukkan ke kantong bajuku.

Penemuan gigi palsu ini memberi indikasi bagi seorang pemuda yang berseru, “Jika ini tengkorak kepala Ali, tentu ini kepala Rozak Harimau,” ujar Tengku Jalal. “Gigi Rozak gingsulnya yang mirip taring harimau.”

Mata Mak Toha berpijar-pijar ketika aku bersama semua karib kerabat mulai mencuci setiap tengkorak sebagaimana upacara pemandian jenazah. Setelah bersih dan dikafankan, semua tengkorak korban DOM itu dijajar, lalu kami melaksanakan shalat jenazah. Kemudian satu demi satu dimasukkan ke liang kubur.

Kadang aku bertanya, peluru Vickers yang kukantongi inikah yang membuat aku sering teringat Ali dan selalu menghela napas dalam-dalam?

Berbeda pula suasana yang aku rasakan seminggu kemudian, sewaktu aku membongkar kuburan kakekku. Tapi cerita yang sama terjadi. Tengkorak kepala kakekku juga berlubang tepat di tengah keningnya sebagaimana lubang di kening tengkorak kepala Ali. Lubang itu cukup besar. Dan dalam batok kepala Inyik tidak kutemukan butir peluru. Yang ada justru di belakang batok kepala Inyik ada lubang yang lebih besar lagi. Agaknya, peluru itu menembus bagian batok kepala kakekku. Kalau begitu, batok belakang kepala Ali lebih kuat sehingga peluru tentara itu tak bisa menembusnya. Padahal yang menembak kepala kakekku juga tentara. Tapi tentara fasis Jepang. Di zaman penjajahan Jepang, fasisme militer Jepang sangat kejam.

Pada malam tahlilan selesai penguburan Inyik, muncul usul dalam rapat keluarga di Lhok Seumawe. Mereka menugaskan aku untuk meminta kepada Pemerintah R.I. supaya kakekku diberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.

“Tak ada perlunya,” kataku.

“Tetapi kakekmu korban kekejaman tentara penjajah,” kata pamanku.

“Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri,” ujarku.

Semua yang hadir di malam tahlilan itu terdiam.

Diam itu lebih baik, agar mereka bisa merenung. ***

.

.

Jakarta, 1999

.

.

Catatan:
  1. GAM = Gerakan Aceh Merdeka
  2. DOM = Daerah Operasi Militer
  3. Meunasah = balai desa di Aceh

.

Dua Tengkorak Kepala. Dua Tengkorak Kepala. Dua Tengkorak Kepala. Dua Tengkorak Kepala. Dua Tengkorak Kepala.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!