Cerpen, Kompas, Seno Gumira Ajidarma

Tetangga

Tetangga - Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Tetangga ilustrasi Jatmiko - Istimewa

3.3
(4)

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 28 Desember 1980)

TETANGGA. Wah, ini sulit. Apalagi di kampung. Kawanku yang apel pacarnya sampai lebih dari jam sepuluh malam, ban sepeda motornya yang diparkir di depan rumah tiba-tiba kempis semua. Sedikit saja tidak sempat menegur, sudah dikira sombong. Serba sulit. Serba harus menyesuaikan diri. Sampai diri kita tidak ada lagi.

Biniku juga pusing.

“Tiap kali disindir, diomongin, diomelin. Apa salahnya sih beli telur langsung untuk dua minggu? Eh, kapan dapat lotere katanya. Apa mereka pikir kamu ini betul-betul penganggur?”

“Padahal?”

“Ya, nganggur juga sih, he-he, tapi, kan, ada juga uang hasil kamu ngibul itu.”

Ngibul?”

“Ya, apa namanya kamu ini kalau bukan tukang kibul?”

“Hmm, tapi duitnya beneran, kan?”

“Nah, itu dia! Aku susah jelasin kalau suamiku kerjaannya ngibul. Berengsek deh pokoknya!”

Aku sudah bilang kepadanya supaya diam saja dan tidak usah melayani. Namanya saja tetangga. Harus rukun. Makanya ada rukun tetangga. Kalau ada apa-apa, rumah terbakar misalnya, tetanggalah yang akan pertama kali membantu, bukan saudara sekandung. Makanya sudahlah. Jangan mengeluh. Merekalah yang pertama kali dititipi rumah, bahkan dititipi anak, kalau kami berdua pergi. Kata orang Belanda, entah kata siapa pula, jangan terlalu baik dengan tetangga. Wah, di negeri ini jelas kagak bisalah yaw! Harus baik dengan tetangga. Ya, harus. Di sini mau mandi saja antre. Buang air, besar dan kecil, juga antre. Ada kamar mandi umum. Ada WC umum. Manusia antrelah namanya. Hehe. Manusia umum.

Di halaman sempit rumah kami ada pohon jambu. Pernah kuminta izin memotongnya karena banyak ulat yang menyebarkan bulu-bulu gatal, tetapi yang punya rumah keberatan. Katanya banyak kenangan dengan pohon jambu itu. Ah, kenangan apa sih? Toh aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika pohon jambu itu berbuah, dengan segera halaman rumah kami yang cuma sebesar tempat tidur itu menjadi taman bermain.

Kuhitung setidaknya 13 anak memanjati pohon jambu itu, naik-turun, berayun, dan menjerit-jerit, sampai anakku yang baru berumur setahun tak bisa tidur, dan biniku yang sedang ngepas-ngepasin uang belanja keningnya berkerut, berjuang keras menganggap suara-suara itu tidak ada.

Sore hari suara anak-anak ini lenyap, berganti suara azan dari masjid kampung yang terdengar dari pengeras suara, seolah-olah penduduk yang diajak sembahyang ini terletak sepuluh kilometer jauhnya. Namun tidakkah sembahyang memang perlu? Hidup yang penuh tekanan membutuhkan ketabahan, dan ini belumlah apa-apa, terutama dibandingkan para tetangga yang dijemput malam-malam oleh entah siapa dan tak pernah kembali lagi untuk selama-lamanya.

Pada malam hari, kita cukup berdiam diri untuk mendengar drama rumah tangga yang jauh lebih seru daripada opera sabun di televisi.

Baca juga  Kupu-kupu Seribu Peluru

“Tiap kali pulang baju udah wangi, emang mampir ke mana? Sama siapa?”

“Namanya juga empet-empetan di bis, kalau yang mepet wangi mau ape?”

Masa tiap hari? Hidung gue tajem nih! Wanginya sama! Ngerti enggak? Parfum mahal! Masa parfumnya mahal kok naik bis? Paling nggak naik bajaj, itu pun kalau pura-pura miskin. Orang yang sama, jurusan yang sama, jam yang sama, kok kebetulan amat!”

“Hhhh. Ngurus rumah kagak becus, anak-anak hidungnya ingusan semua, eh pikiran rupanya ke mana-mana…”

“Eh, pikiran siape nyang ke mane-mane? Barang elu tuh kali nancep ke mane-mane! Awas kalau lu nularin ape-ape ame gue!”

Ngomong apaan lu? Enak aje ngomong!”

“Eh, ngeles kali nih orang. Siape itu kuntilanak, siape?”

“Busyet dah ni perempuan.”

“Iye, gue perempuan, emang kenape? Yang pakai parfum bau ketiak itu juga perempuan, kan? Siape? Ayo cepet bilang siape? Lu mau gue teriak-teriak kayak orang kesurupan supaye kedengeran ame tetangge?”

Entar dulu, jangan ngamuk dulu, emangnye elu pikir nyang pakai minyak wangi kaya gituan cuma perempuan?”

“Hah? Astaga… jadi elu ame laki?”

“Aduh, perempuan sale, laki juga sale, jadi nyang bole ame siape? Ame elu doang?!”

Aku sudah lupa kelanjutan drama seperti ini, mungkin karena memang banyak sekali yang berlangsung setiap hari. Tidak selalu jelas apa yang berlangsung setiap hari itu. Kadang-kadang kami pun merasa tak jelas dengan apa yang berlangsung dengan diri kami sendiri. Bisa marah-marah tanpa tahu kenapa, begitu pula setiap orang di sekelilingku.

Suatu ketika seseorang mendadak sudah berada di ruang tamu. Ruang tamu tentu istilah yang terlalu mewah, karena di situ pula ruang makan, ruang tengah, dan ruang tidur rumah sewaan berdinding tripleks dan masih untung berlantai semen ini, bukan tanah yang menjadi keras karena disiram-siram air supaya tak berdebu.

“Begini Bung, saya sebenarnya sudah lama kepingin tanya sama Bung, tentang… tapi, ah sudahlah. Saya sendiri tidak enak sebenarnya, tapi ….”

“Tapi apa? Ayo! Jangan malu-malu. Kita, kan, sudah seperti saudara.”

Seperti saudara? Tentu saja itu kibul besar.

“Bukan begitu, Bung, ehm! Uhuk! (Hmm. Pura-pura batuk). Maksud saya, seperti Bung bilang tadi, Bung sudah saya anggap seperti saudara sendiri. Jadi, anu, aduh, jadi malu nih….”

Jelas dia bohong soal anggap seperti saudara itu.

“Lho, katanya sudah seperti saudara, bagaimana sih? Ayo, bilang saja terus terang. Mau pinjam duit?”

“Aduuhhh, maaf lho….”

Baca juga  Dan Lalu

“Iya, kan? Buat apa?”

Dia cuma tersenyum-senyum. Seperti malu-malu, mungkin pura-pura malu, mungkin pula betul-betul malu.

“Ehm, buat bayar utang….”

Utang buat bayar utang. Hmm. Kepada siapa lagi dia akan mencari pinjaman uang untuk membayar utangnya kepadaku? Anehnya, dari mana dia tahu aku sedang punya uang?

Aku hanya dikenal sebagai penganggur di kampung ini. Apakah hanya kira-kira, ataukah dia tahu obat-obatku yang sebetulnya vitamin murahan laku keras semalam di depan bioskop yang memutar film-film Amitabh Bachchan itu?

Aku menghela napas, kemarin waktu pulang malam-malam kudengar tangisan seorang ibu yang tak tahu apa yang harus dilakukan, ketika anak perempuannya mengaku hamil tanpa kejelasan siapa bapaknya. Aku mendengarnya karena berhenti sebentar untuk merokok di bawah tiang listrik. Apalah yang bisa dibatasi oleh dinding tripleks dan tirai plastik? Memandang bulan di atas kampung, tidak kudengar anaknya menjawab, tetapi kudengar suara tikus berlari dikejar kucing di atas atap seng.

Kapan aku bisa pindah dari sini?

***

Semua orang juga membayangkan pindah, pergi jauh, ke tempat hunian yang asri seperti terpajang dalam papan iklan raksasa. Selalu ditunjukkan di sana terdapatnya keluarga bahagia. Sepasang suami istri menggandeng dua anak lelaki-perempuan yang masih kecil, yang seperti sedang berloncatan dengan gembira, dan di rumah tanpa pagarnya yang bertingkat setidaknya terdapat satu mobil dalam garasi. Tentu, hanya iklan. Bahwa di dalam rumah seperti itu orang-orangnya menangis dengan air mata berdarah, mana pula orang di luarnya tahu bukan? Mereka tidak tinggal berdempetan dan dinding mereka bukan tripleks, tempat semua orang mau pindah karena gerah. Namun di seberang sungai itu, ternyata makin banyak orang berdatangan kemari.

Namanya juga kampung di tepi sungai, maka harus kuceritakan pula tentang sungai berwarna coklat yang selalu mengalir pelan dengan malas, meskipun tak berarti sungai ini tak bisa menggeliat dan membanjiri kota ketika musim hujan tiba. Aku tak tahu dan tak perlu tahu dari mana sungai ini berhulu dan ke mana sungai ini bermuara. Apalah urusanku dengan sungai! Jadi aku mengenal sungai ini hanya sejauh yang tampak di depan mataku sahaja. Ya, sepotong sungai.

Setiap kali melewati jembatan di atasnya sering kulihat bermacam-macam barang di atasnya. Plastik, gedebok pisang, dan pernah pula mayat seorang perempuan. Aku sedang berangkat pagi-pagi waktu itu, karena mau ngibul di depan pasar ketika masih ramai-ramainya. Jadi hari memang masih agak gelap ketika mayat itu berputar-putar, sempat menyangkut di antara tiang-tiang jembatan, seperti mau beristirahat, tetapi lantas melanjutkan perjalanan kembali. Aku mengenalinya sebagai sosok perempuan yang rambut panjangnya tergerai di permukaan air, setelah mayat itu agak jauh sebelum menghilang. Makanya aku tidak sempat berteriak dengan panik dan semacamnya, seperti yang biasa dilakukan orang kampung seperti diriku. Aku hanya sempat melongo saja, melihat mayat perempuan berdaster putih dengan mata seperti masih menikmati sisa rembulan itu di bawah permukaan air, berputar-putar seperti sengaja berputar sebelum hilang di kelokan.

Baca juga  Malam di Kepala Tokoh Aku

Kalau bukan aku yang berteriak, tentu orang lain di kampung lain yang akan melakukannya. Bukankah sepanjang tepi sungai ini isinya kampung melulu?

“Mayat! Mayat!”

Begitulah yang akan terdengar. Seperti hiburan, agar bisa berpaling sejenak dari hidup yang suntuk.

Meskipun begitu, seperti kubilang tadi, makin banyak saja orang-orang berdatangan kemari. Pada suatu pagi, menengok ke seberang sungai, aku tiba-tiba tertegun, melihat seseorang menguap dan meregangkan ototnya dengan wajah penuh kenikmatan dan tampak bahagia sekali. Dengan santainya orang itu lantas duduk membaca koran, entah koran kapan, di atas kursi butut yang jebol-jebol dan kelihatan seponnya. Di belakangnya kulihatlah kardus bekas bungkus televisi itu, televisi berwarna, yang karena masih baru, mungkin baunya masih wangi jika tidur di dalamnya. Seperti rumah mainan kanak-kanak, tetapi kardus bekas bungkus televisi dalam posisi terbalik itu adalah rumah dalam arti sebenarnya, untuk orang dewasa. Bukan orang dewasa yang bertualang karena hidup yang membosankan, bukan, melainkan orang-orang dewasa yang menghayati hidup dengan penuh kesungguhan. Termasuk membangun keluarga.

Jika kardus yang satu akan berisi ayah dan ibu, kardus di sebelahnya paling tidak cukup untuk dua anak. Jika tambah anak, tentu harus mencari kardus lagi. Namun bukan hanya kardus-kardus yang kulihat di situ. Kulihat juga wajan besar, ember plastik, keranjang besar, lantas, ya, sudah ada jemuran: celana, kaos singlet, dan be-ha bergelantungan di sana. Ada anak kecil duduk berjongkok sambil menggaruk korengnya. “Mereka datang lagi ya?”

Seorang tetangga berujar di belakangku. Rupanya mereka adalah orang-orang yang tergusur sebelum aku pindah ke mari. Mereka semula tinggal di tempat pembuangan sampah. Sampah itulah yang digusur, dan sebagai bagian dari sampah, mereka pun ikut lenyap bagaikan ditelan bumi. Namun ternyata mereka muncul lagi. Seperti jamur di musim hujan, mendadak banyak sekali rumah-rumah kardus bekas bungkus televisi berwarna, lemari es, dan tape-recorder.

“Mereka datang dari mana-mana,” kata tetangga yang lain lagi.

“Ya, mereka tetangga kita sekarang,” kataku. ***

.

.

Jakarta 1980

.

.

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d