Cerpen Farizal Sikumbang (Waspada, 06 November 2022)
“POHAN telah meninggal dunia.”
Kabar itu kudapatkan dari pengeras suara yang disampaikan oleh seorang muazin yang tinggal di mesjid di kampung kami. Saat itu aku sedang menyeduh secangkir kopi pagi di depan rumah. Istriku yang sedang duduk di depanku tidak henti-henti menampakkan raut kesedihan sembari mengucapkan kalimat; Innalillahi wa inna ilahi rojioun….
Kulihat, langit di kampung tiba-tiba sedikit menghitam. Suasana terasa sepi dan suram. Padahal sudah pukul sembilan pagi. Apakah alam juga bersedih atas meninggalnya Pohan?
Seperti aku, istriku tentu juga sangat bersedih. Pohan adalah kawan kami sedari kecil. Kawan satu sekolah dan kawan satu pengajian di Surau. Meski Pohan selalu membuat ulah dan banyak tingkah, tapi bagi kami Pohan tetaplah kawan baik dan menyenangkan karena ia sebenarnya tidaklah sepenuhnya jahat.
Satu kebiasaan Pohan yang selalu kami ingat ketika masih kanak-kanak adalah sewaktu pulang mengaji di malam hari. Saat kami melewati makam desa, ketika kami ketakutan dan berjalan pelan, maka selalu saja, bila telah berada tepat di samping makam, Pohan akan berteriak, “hantuuu…,” sambil duluan berlari dengan sangat cepat. Tentu saja kelakuannya membuat kami refleks ikut berlarian pontang panting. Dan siapa saja yang tertinggal di belakang akan ketakutan dan menangis histeris. Termasuk Muna, yang kini jadi istriku.
Meski Pohan memiliki sifat begitu. Ia adalah teman dekatku sedari dulu sampai dewasa. Kisah hidupnya tentu aku yang banyak tahu. Termasuk perasaan kesepian setelah ayahnya tiada dan perasaan kecewa ketika ibunya menikah lagi. Jika teman-teman yang lain menduga Pohan adalah tipikal anak yang tak punya perasaan, tapi bagiku ia memiliki perasaan yang peka. Ia gampang sedih dan mudah menangis jika itu berhubungan dengan almarhum ayahnya.
Beberapa kali Pohan sering mengajakku duduk di pinggir sungai sepulang sekolah. Alasan yang sering ia sampaikan padaku adalah, dia tidak mau pulang ke rumah. Pohan tidak suka pada ayah tirinya yang selalu sinis padanya. Di sungai itu pula, beberapa kali Pohan menangis karena ia rindu almarhum ayahnya. Ia juga menyesali sikap ibunya yang tidak pernah mengerti pada dirinya. Dulu ia sangat menentang ibunya menikah lagi, tapi ibunya tetap bersikeras hati dan membuat Pohan tersakiti. Ia merasa kasih sayang dari ibunya sudah terenggut sejak kehadiran ayah tirinya. Bagiku, prilaku nakal Pohan adalah kekecewaanya pada perjalanan hidupnya yang tidak beruntung.
Setelah aku menikah dengan Muna, aku masih sering bertemu dengan Pohan. Dan ketika Pohan sakit satu tahun yang lalu, aku masih sempat bertemu dengannya. Saat itu Pohan mendapat cobaan yang berat. Ia mengidap penyakit gagal ginjal yang membuatnya harus rutin berobat ke rumahsakit dua minggu sekali. Di rumahsakit pula Pohan sempat mengeluh padaku.
“Apakah ini karena dosa-dosa yang telah kuperbuat di masa lalu sehingga aku menerima penyakit ini, Han,” katanya ketika aku berkunjung di rumahsakit tempatnya di rawat.
“Kamu jangan berpikiran begitu, Pohan. Nanti sakitmu makin parah,” balasku pula.
“Apakah Tuhan memang menghukum umatnya atas kesalahannya?” Tanya Pohan lagi.
“Tuhan hanya memberikan ujian agar umatnya sadar dan mengingat-Nya,” kataku.
Pohan terdiam. Matanya menerawang ke loteng rumahsakit. Ia terlihat seperti sedang mencari-cari segala kesalahannya yang pernah ia lakukan dulu. Saat itu, aku juga sempat berpikir apakah Pohan mungkin sedang mencari kesalahannya yang pernah membuatku dan kawan-kawan dipukul oleh guru mengaji karena jadi biang kericuhan waktu shalat Jum’at?
Setelah pertemuan di rumahsakit itu, aku jarang berjumpa lagi dengan Pohan. Entah mengapa ia mulai jarang terlihat duduk di warung kopi langganan kami. Hanya adik sepupu laki-lakinya yang sering kujumpai di warung kopi yang ada di desa kami. Dan lewat adik sepupunya itu pula aku mendapatkan kabar perkembangan kehidupan Pohan setelah ia mengidap penyakit gagal ginjal.
“Setelah ke luar dari rumah sakit, Abang Pohan sempat sangat tertekan. Ia stress. Ia merasa bahwa dirinya akan segera mati,” ujar adik laki-laki Pohan yang bernama Sudan itu. “Ia sering mengalami ketakutan. Bahkan dia tidak bisa sendiri di rumah. Ia takut dengan kesendirian. Maka akulah yang menemaninya di rumah. Tapi, alhamdulillah, itu tidak berlangsung lama. Satu bulan kemudian Abang Pohan sudah berubah. Ia kini rajin beribadah. Ia rajin ke mesjid. Prilakunya sangat baik.”
Aku tentu saja gembira mendengar kabar tentang Pohan yang kini sudah berubah. Sebab dulu Pohan tidaklah begitu. Sejak remaja Pohan semakin tumbuh liar dan sering menjadi masalah di kampung. Entah sudah berapa ekor ayam orang di desa kami yang Poh*n curi untuk berjudi. Entah berapa kali pula Poh*n mempermainkan hati perempuan. Bahkan setelah menikah, rupanya sikap playboy-nya tidak berubah. Makanya Poh*n kini hidup sendiri di rumah orang tuanya karena ia suka kawin cerai.
“Tapi, minggu-minggu belakangan ini Bang Poh*n seperti kebingungan. Mungkin biaya berobat yang ia pikirkan. Selama ini biaya berobat dari tabungannya. Namun nampaknya tabungannya sudah tandas. Seekor kambing miliknya juga sudah dijual untuk berobat. Ayam-ayam sudah sepi di kandang. Nampaknya Abang Poh*n bingung memikirkan biaya berobatnya. Apalagi katanya sekali cuci darah berkisar satu juta lebih,” terang sepupu Poh*n. “Bang Poh*n cuci darahnya semingu dua kali,” tambahnya.
Aku tergagap. Terbayang sudah di kepalaku bagaimana Poh*n memikirkan angka-angka rupiah setiap minggunya. Dan terbayang juga diingatanku perihal temanku yang lain yang pernah mengidap penyakit serupa. Temanku itu hanya mampu bertahan hidup selama 2 tahun. Tapi bagaimana dengan Poh*n? Apalagi dia mengalami krisis keuangan.
“Pernah satu kali Bang Poh*n telat ke rumahsakit cuci darah karena tak ada biaya. Malamnya Bang Poh*n sudah muntah-muntah dan lemah. Malam itu juga kami bawa dia ke rumahsakit. Aku tidak tahu bagaimana caranya jika Bang Poh*n benar-benar tak sanggup lagi membiayai membayar pihak rumahsakit,” ujar Sudan.
“Tak mungkin pasien gagal ginjal berhenti melakukan cuci darah. Akan sangat berisiko,” kataku pelan pada sepupu Poh*n itu.
Sudan hanya terdiam. Tapi kulihat ada kebingungan di pikirannya.
***
Kini, P*han sudah meninggal. Ketika aku dan Muna datang ke rumah duka, P*han belum dikafani. Tubuh Poh*n terbaring kaku di atas tempat tidur. Beberapa pelayat duduk di depan jasad Poh*n memasang wajah duka sembari melantunkan doa-doa. Tapi aku tidak melihat satu pun bekas istri Poh*n dan anak-anaknya. Aku tahu bekas istri Poh*n ada tiga. Ke mana mereka? Bisikku dalam hati.
Muna, isteriku mendekat ke arah wajah Poh*n yang ditutupi kain putih. Kulihat wajah isteriku sedih. Secepat kilat ia berpaling dan menarik tanganku.
“Kasihan aku sama P*han,” ujarnya meneteskan airmata.
“Kini ia benar-benar sendiri. Sepertinya isteri dan anak-anaknya sangat membencinya….”
Aku melihat Muna meneteskan airmata. Ia seperti menangis, sama ketika dulu ia selalu menagis waktu tertinggal di belakang karena ulah Poh*n yang menakut-nakuti kami sepulang mengaji di surau pada malam hari. ***
.
.
(Banda Aceh 2022)
.
.
Leave a Reply