Cerpen, Damhuri Muhammad, Kompas

Manusia Kelelawar

Manusia Kelelawar - Cerpen Damhuri Muhammad

Manusia Kelelawar ilustrasi Nadjib Amrullah/Kompas

4.4
(12)

Cerpen Damhuri Muhammad (Kompas, 13 November 2022)

BILA orang-orang yang datang untuk berguru ke rimba Cempaya menginginkan kesaktian semacam kebal senjata atau tahan bacok, ia tiba hanya dengan keinginan remeh belaka. Tak terobsesi menjadi centeng pasar, penguasa terminal, apalagi pemimpin gerombolan preman berdasi. Lantaran satu keperluan mendesak, ia ingin punya ketangguhan dalam membendung kantuk. Ia ingin kebal dari serangan kantuk, baik yang datang di siang bolong maupun yang tiba di ujung malam.

“Kau bisa mampus bila menolak tidur!” cemooh Asar Munawar, murid yang sudah berbilang bulan menghuni rimba Cempaya demi cita-cita menjadi begundal kebal di kota yang jauh.

“Tuan Guru di sini spesialis ajian tahan pelor. Datang dari mana kau, anak muda?” tanya Ngku Taubat, semacam asisten yang bertugas menyeleksi murid-murid baru.

“Ia berasal dari satu perkampungan di selatan, yang kini sudah porak-poranda setelah digulung banjir bandang, Ngku!” Sodiq Solihin segera menyambar, seperti juru bicara saja bagi anak muda berkeinginan ganjil itu.

“Kantuk itu keajaiban yang sempurna dari Tuhan. Derajatnya hanya satu tingkat di bawah maut. Sebaiknya kau tidak nekat menghadang kehendak Tuhan,” begitu nasihat Ngku Taubat.

Anak muda itu diam saja, sembari menengadah ke langit-langit dangau reyot, tempat peristirahatan Ngku Taubat. Malam sudah larut. Obrolan mereka hanya ditimpali oleh kesiur angin dari lembah di sisi kiri rimba Cempaya.

“Namanya Kiran, Ngku! Tapi kami memanggilnya Betmen, lantaran ia mengaku hanya punya tenaga di malam hari,” kata Sodiq Solihin, berusaha memecah kesunyian. Lagi-lagi, Betmen tak berselera untuk bicara. Hanya sedikit mengangguk sambil menatap wajah Ngku Taubat.

Semula Kiran bergabung dengan Sodiq Solihin Cs di dangau berlantai bambu yang seolah-olah disediakan untuk para murid, padahal aslinya hanya tempat berteduh terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan peladang. Di malam-malam awal itulah Kiran memperlihatkan alasan yang absah perihal kemauan kerasnya untuk menguasai ajian tahan ngantuk. Dalam setiap tidur, ia diserang mimpi buruk yang itu-itu saja, hingga ia tak bisa lagi memilah mana yang mimpi dan mana yang nyata. Hari-hari Kiran mengalami mimpi buruk seperti kebiasaan membasuh muka saban pagi.

Adegannya bermula dari perjalanan menyeberang kali sambil menggandeng Hayatunnufus, kekasih pujaannya, pada sebuah senja yang mendung. Beberapa langkah sebelum sampai di seberang, arus besar tiba-tiba menggelosor saja dari hulu. Kiran dan Nufus kuyub dalam hujan yang tak tanggung-tanggung besarnya. Kedalaman kali meningkat hanya dalam beberapa tarikan napas. Nufus terombang-ambing. Tak berselang lama, ia terlepas dari pegangan tangan Kiran.

Baca juga  Air Raya

Selepas teriakan yang samar, tubuh Nufus timbul-tenggelam digulung arus. Kiran bergegas mengejar. Menggapai-gapai sekuat tenaga. Semakin dikejar, arus bagai semakin lekas menyeret tubuh kekasihnya. Dalam hujan yang tak kunjung reda, penampakan Nufus makin jauh, makin samar, lalu hilang di kejauhan. Itulah awal mula bencana yang melanda kampung halaman Kiran. Air bah muncul dari mana-mana, melibas apa saja, hingga satu kampung binasa bagai dalam sekejap mata.

“Nufus, Nufus, Nufuuuuuus…. Kenapa bukan aku saja yang tenggelam?”

“Kenapa bukan aku saja yang mati?”

Begitu igauan berulang-ulang dalam setiap tidur Kiran. Saat igauan itu muncul, napasnya sesak parah, tubuhnya mandi peluh. Itu sebabnya Kiran hendak menemukan jalan gaib guna menaklukkan kantuk, agar ia tidak lagi jatuh dalam tidur berisi mimpi mengerikan itu.

“Bila tiap malam kau bikin heboh begini, kami bisa mampus lantaran tak cukup tidur,” protes Asar Munawar.

“Jadi, kau akan mengigau setiap malam?” tanya Sodiq Solihin.

Betmen tetap saja diam. Sekadar memperlihatkan tatapan merasa bersalah pada komplotan penghuni dangau usang itu.

“Kau bikinlah dangau sendiri. Jauh-jauh dari sini, kalau bisa!” bentak Asar Munawar.

Esok paginya, Kiran menghilang dari rimba Cempaya. Ia bertolak ke utara, ke arah rimba tak bernama. Disebut tak bernama karena belum terjamah tangan manusia dan tentu belum ada yang menamainya. Di sanalah ia membangun dangau baru dengan tiang, dinding, dan atap seadanya. Dalam kesendirian itu Kiran teringat kembali keinginan Nufus untuk melarikan diri dari dunia ramai. Lebih-lebih, sejak ia menjadi perhatian lantaran hubungannya dengan Kiran, laki-laki yang jauh dari harapan ayah-ibunya.

“Apa yang kau banggakan dari laki-laki yang hidup dari upah bongkar-muat truk batu kali?” tanya ibunya suatu ketika.

“Begitu banyak orang-orang mapan yang ingin melamarmu, tapi kau masih bertahan saja dengan si kunyuk itu….”

Sedemikian lamanya Nufus bertahan dari macam-macam penawaran (termasuk modus-modus perjodohan terselubung), tak terasa usianya sudah lanjut saja. Pada setiap keramaian dalam acara kumpul-kumpul keluarga di hari raya misalnya, tanya-tanya nyinyir sanak saudara tentang rencana menikah membuat ia senantiasa berbasa-basi. Pokoknya setiap bertemu keramaian, Kiran bagai dikepung oleh kenyinyiran yang memuakkan. Lebih memuakkan lagi mata-mata curiga atau bisik-bisik tetangga bahwa ia sudah berada di ambang masa kedaluarsa.

Baca juga  Menonton Wayang

“Segeralah menikah! Sebelum jatahmu disambar yang muda-muda.”

Maka, Kiran menyatakan permusuhan dengan keramaian. Apa pun bentuknya. Baginya, keramaian adalah derita yang tak ada obatnya, bahaya paling laten dalam hidup kesehariannya.

“Aku ingin hidup di rimba. Bersamamu, Kiran!”

“Mari kita menjadi bagian dari masyarakat kera!”

Kini impian Nufus itu sudah terwujud. Tapi yang menikmati hidup tanpa keramaian itu hanya Kiran seorang. Itu pun terjadi secara kebetulan, dalam petualangan panjangnya mencari kesaktian agar tak mempan dihantam kantuk. Alih-alih beroleh kesaktian, Kiran malah terjebak di rimba tak bernama ini.

“Di sinilah aku kini, Nufus. Hidup sendirian di kedalaman rimba. Hidup yang dulu pernah kau dambakan.”

“Kalau saja arus besar itu tidak menghanyutkanmu, tentulah kita sudah membangun bahtera rumah tangga di kesenyapan level dewa ini.”

“Andai kau masih hidup, aku masih berharap kita dapat berjumpa pada suatu masa. Tapi jika kau sudah tiada, singgahilah aku sebagai arwah. Itu saja sudah cukup membahagiakan bagiku.”

Akibat terlalu sering dilanda mimpi buruk yang membuat tubuhnya mandi peluh, di punggung Kiran tumbuh sepasang sayap. Di malam-malam selanjutnya, kepalanya perlahan-lahan menciut, matanya berubah menjadi hitam yang mencekam. Lalu, pada suatu malam gelap bulan, tubuh Kiran sempurna sebagai kelelawar. Metamorfosa itu membuat Kiran makin mudah untuk bertahan hidup. Saban malam ia kelayapan, menggerogoti aneka macam buah dari pohon yang melimpah-ruah. Setelah kenyang sempurna, sebelum terbit fajar, kelelawar itu pulang ke dangau, lalu melungkar sebagai manusia, sebagai Kiran, yang tentu saja tidurnya akan kembali disesaki adegan-adegan tragik sebelum Hayatunnufus hanyut terseret arus.

Di malam-malam tertentu, ketika tubuhnya menciut sebagai kelelawar, ia terbang ke kawasan hutan Cempaya, tempat Sodiq Solihin dan Asar Munawar berguru ajian kebal senapan. Di sana ia menggerogoti tandan demi tandan pisang di lahan tak bertuan yang dirawat Ngku Taubat. Begitu juga pepaya yang tumbuh liar di sekitar dangau Sodiq Solihin Cs.

“Sebagai manusia, kalian bisa mengusirku. Tapi sebagai Betmen, aku bisa menumpang makan di sarang kalian. Maka, rasakan ini!” gumam Kiran sambil mengunyah-ngunyah pepaya matang di gelap malam.

Tidak lama Kiran hidup dalam keberlimpahan di hutan tak bernama. Kemarau panjang yang membuat pohon-pohon langkas dan tidak lagi berbuah mendesak manusia kelelawar segera bermigrasi ke tempat-tempat yang lebih menjanjikan kehidupan. Daripada mati kelaparan, Kiran berkeputusan untuk melakukan perjalanan jauh, meninggalkan dangau kecilnya dengan segenap keharuan.

Baca juga  Cornelia dan Api di Dadanya

Setelah berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, sampailah Kiran di sebuah kawasan yang sebagian besar warganya punya tanaman berbuah di pekarangan rumah mereka.

“Barangkali di sinilah aku bisa menyambung hidup,” ungkapnya saat melihat sebatang pohon Jambu dengan buah yang rata-rata sudah ranum.

Cukup menggoda dan mengundang selera, hingga Kiran berencana bakal hinggap di sana sekali waktu. Sebelum meninggalkan hutan tak bernama, Kiran tidak tahu bahwa di dunia luar, orang-orang sedang giat berburu kelelawar. Sebab, menurut mereka, dari hewan keparat itulah virus berbahaya berasal. Virus yang sudah beranak-pinak dalam waktu sangat cepat itu telah merenggut banyak nyawa, sebagaimana bencana yang dulu memusnahkan hampir seisi kampung halaman Kiran.

Suatu malam, saat melubangi jambu matang di pohon yang sudah lama diincar, sebutir peluru bersarang di ubun-ubun Kiran. Kepalanya retak. Salah satu sayapnya sobek parah.

“Kukirim kau ke neraka!” teriak si pemburu dari teras rumahnya, sambil menengadah ke pohon jambu itu.

Teriakan yang hampir bersamaan dengan terkaparnya seekor kelelawar jantan, tak jauh dari posisi berdiri perempuan bernama Hayatunnufus.

“Ia kesakitan. Hantam dengan satu peluru lagi, Sayang! Agar tuntas penderitaannya,” kata Hayatunnufus pada si pemburu, yang tak lain adalah suaminya sendiri.

Dalam posisi menelentang dengan napas satu-satu, kelelawar itu menatap wajah Hayatunnufus. Aktor utama mimpi buruknya selama belasan tahun. Seorang pemburu bertangan dingin telah mengantarkan Kiran pada cinta-hidup, sekaligus cinta-matinya…. ***

.

.

Damhuri Muhammad, cerpenis dan kolumnis. Pengajar di Universitas Darma Persada, Jakarta. Tinggal di Depok, Jawa Barat, lahir di Padang, 1 Juli 1974. Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Buku fiksi terkininya Anak-anak Masa Lalu (2015). Buku nonfiksi terbarunya, Takhayul Milenial (2020).

Nadjib Amrullah, lahir di Tuban 19 April 1968. Sejak kecil gemar melukis. Bakatnya dia kembangkan di FSRD Senirupa UNS sampai selesai. Sudah 10 kali berpameran tunggal. Selain pernah mengikuti Bienalle Langkawi Malaysia juga pernah duduk di kepengurusan Dewan Kesenian Jawa Timur. Karyanya banyak di koleksi kolektor dalam dan luar negeri. Sekarang tinggal di Studio Najib Amrullah Jenu Tuban, Jawa Timur.

.

Manusia Kelelawar. Manusia Kelelawar. Manusia Kelelawar. Manusia Kelelawar.

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 12

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Ferdy Sambo

    Entahlah, kenapa aku jadi ingat kasus dor dor itu 🥹🥹🥹

Leave a Reply

error: Content is protected !!