Cerpen Mashdar Zainal (Nova 1350/XXVI 06-12 Januari 2014)
SEMENJAK aku bisa merasakan sentuhan, perempuan yang pertama kali memenyentuhku adalah kabut. Kabut yang muncul dari balik pintu dan jendela kamarku. Kabut yang melata dari lubang angin dan bawah pintu, kabut yang sangat tebal, kabut yang ibu. Kabut ibu.
Apa kau akan percaya jika kukatakan bahwa ibuku adalah kabut? Makhluk yang berwujud kesunyian dan teka-teki. Semenjak aku bisa mengenang sesuatu, perempuan yang pertama kali mendekapku adalah kabut. Kabut yang sama. Kabut yang kusebut sebagai ibu. Kabut ibu.
Dekapan ibu selalu erat, begitu erat, hingga membuatku tak bisa bernapas. Hingga suatu malam, ibu melepaskan dekapannya, ketika Abah—ayah dari ibu, mendobrak pintu kamar dan membuka jendela kamarku lebar-lebar. Aku menyaksikan bagaimana tubuh ibu memudar, gaunnya yang bersemu putih juga memudar, selendangnya yang mengembang dan menutupi pandangan juga memudar, lengannya yang panjang menyilangkan pelukan juga memudar, sentuhannya yang dingin juga memudar, segala ia memudar, perlahan, dan menguar melalui pintu dan jendela yang terbuka lebar.
“Bawa ia keluar sebelum apinya membesar,” kata seseorang di belakang Abah. Abah segera meraih tubuhku dan membawaku ke halaman. Dengan keadaan setengah sadar karena sesak napas, aku menyaksikan ibu bersatu padu dengan tubuhnya sendiri, menggulung rumah Abah.
Beberapa hari sebelum peristiwa itu, aku bertanya pada Abah, mengapa di dalam rumah kami tidak ada laki-laki dan perempuan yang bisa kupanggil dengan sebutan ayah dan ibu? Dan Abah segera menjabarkan cerita baru tentang ayah dan ibu. Cerita yang sangat pendek dan berujung pada dua makam berlumut di belakang rumah.
“Ayah dan ibumu adalah sepasang kekasih yang selalu bahagia,” kata Abah, “mereka tak terpisahkan. Bahkan maut sekalipun tak bisa memisahkan mereka. Kau lihat dua makam itu? Makam itu hanyalah sebuah pintu yang dilewati ayah dan ibumu untuk sampai ke surga mereka. Ibumu melahirkanmu dan setelah itu pergi… ke surga.”
Cerita Abah tentang ayah dan ibu selalu sederhana, teramat sederhana, dan selalu diulang-ulang ketika aku menanyakan hal yang sama. Hingga aku memunculkan pertanyaan baru, “Jika ibu pergi ke surga setelah melahirkanku, bagaimana dengan ayah?”
Dan Abah memulai cerita palsunya yang lain, “Ayahmu memang tak mau hidup sendiri, setelah kepergian ibumu, ayahmu menderita sakit yang sedikit rumit, hingga ia pergi menyusul ibumu.”
“Tapi mengapa mereka harus dimakamkan di belakang rumah, dan tidak di pemakaman umum di pinggir desa?”
“Karena ibumu yang menginginkannya? Ia sangat mencintaimu, bahkan ia tak mau makamnya jauh darimu.”
“Apakah ayah juga menginginkan makamnya di situ?”
Kakek terdiam sejenak, “O, tentu saja. Ia juga sangat mencintaimu.”
Aku tak pernah bertanya pada Abah, serumit apakah yang diderita ayah sehingga menyebabkan ia menyusul ibu. Karena aku tahu, Abah akan mengarang-ngarang cerita palsu yang baru untuk menjawabnya. Aku tak mau Abah semakin banyak berbohong hanya karena aku semakin banyak bertanya. Lagi pula aku sudah tahu jawaban yang sebenarnya. Karena, tanpa sepengetahuan Abah, ibu telah terlebih dahulu menceritakan banyak hal tentang ayah dan dirinya yang kini telah menjelma menjadi kabut.
Ibu mendatangiku setiap malam, setelah Abah menutup pintu dan jendela kamarku rapat-rapat. Aku mulai mengunci pintu dari dalam. Ibu yang memintanya. Karena ibu tak terbiasa dengan pintu yang terbuka tiba-tiba. Jadi aku harus menguncinya dari dalam. Begitulah, setelah pintu kamar dan jendela terkunci, ibu mulai datang dengan caranya. Ia datang dari lubang angin dan bawah pintu. Ia datang dari setiap celah. Merayap. Mengapung. Membumbung ke langit-langit, dan menggelar sebuah cerita yang panjang, sebelum menina-bobokanku.
Ibu dan ayah menikah bukan karena mereka saling mencintai. Tapi, mereka menikah karena telah membuat sebuah kesalahan yang mengharuskan mereka menikah. Ibu tak pernah bahagia, ayah juga tak pernah bahagia. Dan Abah berbohong bahwa ibu adalah perempuan yang selalu bahagia. Tapi tak masalah, karena Abah memang pandai mengarang cerita, dan menurut Abah, seorang pengarang boleh berbohong dalam cerita karangannya.
Menurut ibu, ayah tak pernah betah tinggal satu atap dengannya, jika ibu berlama-lama di rumah, maka ayah akan menghabiskan banyak waktunya di luar rumah. Mereka tak pernah tidur bersisian. Mereka tak pernah banyak saling bicara, kecuali jika sedang bertengkar. Dan sekali saja ayah dan ibu bertengkar, seakan-akan pertengkaran mereka bisa menenggelamkan malam.
Karena Abah tak tinggal satu atap dengan mereka, Abah tak pernah bisa memisahkan mereka dari pertengkaran. Lagi pula, semua memang sudah salah dari awalnya. Ibu dan ayah adalah tamsil dari dua muda-mudi yang tak pernah berpikir panjang. Dua muda-mudi yang tak pernah tahu bahwa rasa manis di awal adalah permulaan dari rasa pahit yang panjang.
Ibu selalu menangis setiap kali mendatangiku, itulah mengapa kamarku selalu menjadi lembab dan basah. Itu adalah air matanya, air mata ibu, yang memercik serupa sisa-sisa embun, di dinding dan lantai, di bantal dan seprai. Ibu selalu menangis dengan caranya setiap kali bercerita dengan caranya.
Ketika perut ibu semakin membukit, ketika tubuh mungilku semakin matang dalam garbanya, ayah menghilang dari rumah. Ayah kembali ketika umurku memasuki tiga bulan pertama. Kata ibu, ayah selalu bersikeras membawaku ke rumah orang tuanya. Tentu saja ibu tak mengizinkan. Ayah seperti seekor ular yang menyusup ke kandang ayam, membunuh ayam itu dan menelan telur-telurnya. Tentu itu tak adil bagi ibu. Maka, ibu ingin segera mengakhiri kekhawatiran itu
Malam buta, ketika ayah mendengkur di ranjangnya, diam-diam ibu membawaku ke rumah Abah yang letaknya tak terlalu jauh. Dan inilah yang dikatakan ibu pada Abah, “Aku titipkan anak ini sementara pada Abah, aku mau menyelesaikan urusanku. Aku tak mau tidurnya terganggu karena pertengkaran kami. Jadi lebih baik ia di sini. Dan aku mau Abah berjanji, apapun yang terjadi abah akan merawat bayi ini. Aku tak hendak kemana-kemana, tapi aku tak mau bayi ini diasuh oleh selainku. Kalaupun ada orang lain yang berhak mengasuhnya selainku, ia adalah Abah. Dan satu lagi, jika suatu ketika aku pergi mendahului abah, aku mau jasadku selalu berada di dekatnya, di dekat anakku.”
Malam itu, sebelum pergi meninggalkan rumah Abah, ibu sengaja membuatku menangis tersedu-sedu supaya Abah tak menguntitnya pulang, supaya Abah menimangku dan membuatku diam. Begitu melangkah pergi dari rumah abah, ibu menjelma perempuan paling kuat, perempuan paling merah, perempuan paling marah, perempuan paling api. Di dada ibu ada sesumbu api yang telah lama dibiarkannya padam, Namun, malam ini semuanya akan berbeda. Ayah telah menyulut sumbu yang diam itu. Dan mengobarkan api yang paling dendam. Ibu bertekat menuntaskan semuanya. Malam itu.
Malam itu, ayah masih mendengkur di ranjangnya. Dengkuran yang terdengar seperti sebuah cacian dan ungkapan kebencian. Ibu memelotinya dengan mata yang merah. Ibu menangisinya dengan mata yang marah. Lantas ibu mengambil linggis dan membenturkannya ke kepala ayah berkali-kali. Ayah tersungkur dalam tidurnya sendiri. Tidurnya yang tak berakhir. Darah terpercik di atas bantal, serupa remah-remah mawar. Ibu menangisi ayah. Ibu menangisi dirinya sendiri. Ibu menangisi kisah kami yang malang.
Dengan air mata membabi buta, ibu menumpahkan minyak ke tubuh ayah, ke ranjang, ke kursi, ke meja, ke dinding, ke lantai, ke tubuhnya sendiri…. Dengan tangan gemetar ibu menyalakan sumbu dendam itu dari kedalaman hatinya. Api kecil memercik dan menyambar semua yang ada. Ibu tidak menjerit. Ia hanya menangis. Tangisan yang terbakar oleh dendam yang berkobar.
Ketika semua orang datang, semuanya sudah terlambat. Rumah telah mengabu. Ayah telah mendebu. Dan ibu telah moksa menjelmakan dirinya menjadi ketiadaan, ketiadaan yang tak hanya bisa kurasakan, tapi juga bisa kusentuh. Ibu membumbung, membiarkan dirinya terbang di atas puing-puing rumah yang tumbang. Semenjak itulah, wujud itu telah berubah menjadi makhluk yang terus melayang dalam kesunyiannya di malam hari, dan mengembunkan air matanya di terang hari.
Suatu malam, ibu mendatangiku untuk ke sekian kalinya, ia selalu menangis seperti biasanya. Lantas, ia berbisik ke cupingku, “Apakah kau tidak ingin menemani ibu? Menghabiskan waktu yang panjang bersama ibu?”
Ibu memohon dengan air matanya yang tumpah dan mengembun di dalam kamar. Aku tak bisa menjawab tidak. Aku mengangguk. Aku ingin bersama dengan ibu. Mungkin aku bisa menjadi kabut tipis yang menggenang di pagi hari. Beriringan dengan ibu, merendah mengecup tanah-tanah yang basah. Membumbung ke angkasa, menyelimuti pucuk pohon dan terus membumbung sampai ke surga.
Segeralah ibu menebalkan dirinya, ia terus mendekapku sampai dadaku sesak, sampai aku tak bisa bernapas. Pelukan ibu serasa meremukkan paru-paruku. Hingga tiba-tiba, Abah mendobrak pintu yang terkunci itu dari luar. Pelukan ibu memudar. Ibu pergi dengan caranya, dan sejak itu ia tak pernah kembali. Semenjak itu Abah tak pernah membiarkanku tidur seorang diri. Abah tak pernah membiarkan kamar manapun terkunci.
Jika aku merindukan ibu, yang bisa kulakukan hanya terduduk di bingkai jendela, menatap dua makam yang berjajar di belakang rumah dan diselimuti kesunyian. Ketika melihat dua makam itu, aku selalu bertanya-tanya, yang manakah gerangan makam ibu. ***
.
Kabut Ibu (2). Kabut Ibu (2). Kabut Ibu (2). Kabut Ibu (2). Kabut Ibu (2).
Leave a Reply