Cerpen, Hasan Aspahani, Republika

Datang dan Perginya Anung

Datang dan Perginya Anung - Cerpen Hasan Aspahani

Datang dan Perginya Anung ilustrasi Rendra Purnama/Republika

4.5
(6)

Cerpen Hasan Aspahani (Republika, 13 November 2022)

“MAMA Imam, ikannya kutarok di depan pintu, ya!” Suara jelek itu suara Anung. Semua ibu di kampung kami dia panggil mama. Juga ibuku. Tiap hari, Anung memancing di muara, mencari kepiting, atau menganyam daun kelapa. Anung memancing dengan joran pendek pelepah rumbia dan umpan kelomang.

Dia jago sekali mancing. Mungkin karena dia memancing pada saat yang tepat, yakni saat laut mulai pasang. Saat itu, di muara, ikan otek yang suka air payau itu terkumpul. Saat itulah, Anung memancing. Tiap kali dia dapat ikan banyak. Penuh seember kecil. Tapi, orang lain yang memancing di saat yang sama tak mendapat ikan sebanyak Anung. Termasuk aku. Aku pemancing yang buruk. Tiap kali memancing hanya dapat sedikit, bahkan sering kali tak dapat sama sekali.

Sehabis memancing Anung berjalan cepat, menjajakan ikannya keliling kampung. Dari rumah ke rumah.

Di rumah Ipul dia teriak, “Mama Ipul, mau beli ikan otek?”

“Tidak, Nung. Tadi Ipul juga mancing,” kata Mama Ipul.

Di depan pintu rumah Imay, Anung teriak, “Mama Imay, mau beli ikan otek?”

“Tidak, Nung… yang kemarin masih ada….”

Ada yang beli beberapa ekor, ala kadarnya, ada yang beli setengah bila memang sedang ingin makan ikan otek.

Tapi, paling sering ikannya tidak laku.

Kalau sudah berkeliling dan tak ada yang beli, Anung akan singgah di rumahku. Ikan hasil pancingannya ia letakkan di depan pintu.

“Mama Imam, ikannya kutarok di depan pintu, ya….”

Ia lalu pergi main bola sama anak-anak lainnya.

Ikan sebanyak itu tentu tak habis kami makan. Kami tak pernah kekurangan lauk. Ayahku bersama beberapa lelaki kampung sering pergi berburu payau atau kijang yang masih banyak hidup di hutan sekeliling kampung kami. Daging payau pembagian hasil buruan itu juga kami keringkan. Apalagi, hampir tiap hari ikan Anung berakhir di depan pintu rumah kami. Oleh ibuku, ikan dari Anung dibuat ikan kering. Aku yang disuruh oleh ibu menyiangi bes/ikan-ikan itu.

Aku kesal juga sama Anung karenanya. Menambah pekerjaanku saja. Mengurangi waktuku bermain. Aku baru boleh ikut main bola kalau sudah selesai menyiangi ikan Anung. Aku bekerja dengan kesal jadinya. Kadang, kepala ikan otek itu kupotong saja asal-asalan. Kadang pisau kutetakkan dengan keras bikin suara nyaring di papan rehal.

“Imam, tak boleh kerja begitu. Bukan Anung yang menyuruhmu menyiang ikan, tapi mama,” kata ibuku.

Kadang aku heran, kenapa ibuku sayang sekali sama Anung, anak yang aku tak tahu siapa orang tuanya. Ia seperti tiba-tiba saja muncul di kampung kami. Ibuku mudah sekali jatuh kasihan. Ia memungut dan merawat anak kucing yang induknya tertabrak mobil, ayam yang luka karena disambar elang, apalagi anak sebatang kara seperti Anung itu.

Baca juga  Aku Bukan Pembunuh Papa

Aku ingat benar saat Anung muncul di kampung kami. Subuh itu jamaah masjid geger. Ada anak kecil meringkuk di dinding siring sumur masjid. Air matanya kering. Ingusnya kering. Matanya merah, memandang orang dengan takut. Anak itu tak menjawab apa-apa ketika ditanyai. Ia menggeleng saja. Oleh marbut masjid, anak itu lalu disuruh mandi. Diberi baju. Diberi makan. Ia makan dengan lahap.

“Mungkin tertinggal. Barangkali nanti orang tuanya kembali. Katanya, semalam itu ada mobil truk singgah di masjid. Sopirnya mampir shalat,” kata Pak Sapar, marbut masjid kami.

“Bukan truk Saleng?” tanya seseorang.

“Bukan, Saleng truknya besar. Ini truk pikap kecil saja,” kata seorang lain.

Saat itu, diperkirakan umur Anung lima tahun, seumur aku.

Tak ada yang tahu pasti. Badan Anung kecil, tapi wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Itu peristiwa dua tahun lalu. Tak ada yang menjemput Anung. Anung pun tampaknya tak pernah berharap ada yang menjemputnya kembali. Nama Anung itu pun sepertinya dia asal sebut saja, ketika ada yang bertanya.

Aku suka bermain dengan Anung. Dia bisa bermain macam-macam. Main kartu, main kelereng, main gambar, main catur, main halma. Ia teman main yang menyenangkan. Kalau sedang bermain, dia sambil menyanyi: cicak kau mau ke mana, cicak kau mau ke mana… Itu terus lagunya.

“Bukan cicak tapi Chicha….” kataku.

Anung tak peduli. Cicak kau mau ke mana…

Aku sering ajak Anung tidur dan makan di rumah. Sesekali dia mau. Anung tak suka ibuku suka bertanya tentang dia. Dia geleng-geleng tak mau jawab. Sejak itu, ibuku tak pernah lagi tanya-tanya.

Sejak aku sekolah, Anung jarang mau menginap di rumahku. Dia tidur di masjid. Atau di mana saja dia mau. Kadang di pabrik kopra, di tumpukan karung goni yang hangat itu, atau di ruang awak kapal yang tambat di muara. Kapal itu bersandar lama menunggu muatan kopra penuh. Kapten kapal-kapal itu tahu siapa Anung. Kadang, ia diberi makan. Anung membayarnya dengan membersihkan kapal. Sapu-sapu. Sikat-sikat lantai kotor. Kumpul-kumpul sampah.

Setiap hari kerja Anung kalau tak memancing, mencari kepiting, atau menganyam daun kelapa. Anung tak mau sekolah. Ibuku pernah menjahitkan baju seragam sekolah, Anung menolak. Anung seperti takut berada di tengah orang banyak.

“Biar Anung belajar sama Imam saja,” katanya.

Waktu dia ditemukan di sumur masjid, badan Anung sebesar badanku. Sekarang aku jauh lebih tinggi dan besar. Anung kontet. Tak bertambah tinggi, tak bertambah besar juga.

Tapi, dia tak pernah sakit. Setahuku begitu. Mungkin pernah, tapi dia tak pedulikan. Tak seperti aku yang sering sakit demam. Sampai mantri di puskesmas bosan melihat saya berobat.

Baca juga  Mengurai Kematian

Tapi, Anung tumbuh jadi anak yang tak punya rasa takut. Dia berani panjat pohon mempelam sampai pucuk. Itu tinggi sekali. Pohon mempelam itu umurnya lebih tua dari kampung kami. Waktu lampu seri di pucuk kubah masjid mati, tak ada yang berani memanjat, Anung menawarkan diri. Kalau ada layangan sangkut di pohon kelapa atau kedondong maka itu seperti jadi milik Anung, karena hanya dia yang berani memanjat dan ambil layangan itu. Layangannya dia jual. Uangnya ia berikan ke ibuku. Dikumpulkan bersama uang hasil penjualan ikan kering otek. Anung tak pernah bertanya berapa banyak sudah uangnya yang terkumpul pada ibuku.

Kami tahu Anung tidak bodoh. Ketika aku sakit, aku tak masuk sekolah karena demam tinggi, sendi-sendiku ngilu sekali, dan kepalaku seperti diimpit benda berat dan hendak pecah. Selama aku tidak masuk sekolah, Anung pergi ke sekolah lalu mengikuti pelajaran dari luar jendela. Dia tidak mencatat. Dia mengingat semua perkataan dan tulisan guru. Lalu, pulang dan menyampaikan apa yang dia lihat dan dengar kepada saya. Tiap hari begitu. Bahkan, aku merasa dia menjelaskan dengan cara yang lebih baik dari cara guru-guruku mengajar.

Dua pekan lamanya aku sakit. Ketika aku sembuh, Anung menghilang, dan teman-temanku tertular penyakit dengan gejala yang sama. Ditambah lagi di tubuh mereka muncul benjolan seperti bisul kecil, berisi air atau nanah. Semua orang bilang Anunglah yang jadi sumber penyakit yang menulariku dan kemudian menular ke teman-teman sekolahku.

Anung tidak menghilang. Aku tahu dia ke mana, tapi dia minta aku menyimpan cerita itu. Malam sebelum aku sembuh, dia bilang dia mau ke kota. Diam-diam dia menyelinap ke truk pikap yang membawa kelapa ke kota, bersembunyi di balik terpal.

“Tapi nanti kamu pulang, kan?”

“Iya, pulang.”

“Kamu mau cari apa di kota?”

“Nanti kamu tahu, setelah saya pulang. Jangan cerita-cerita, ya,” katanya.

Ketika lebih dari setengah jumlah anak-anak di sekolah terserang penyakit yang sama, mantri dari puskesmas bilang itu cacar, kemarahan orang-orang kampung pada Anung menyala seperti api yang membakar semak-semak kering di hutan. Kalau saja saat itu mereka menemukan Anung, pasti anak itu mati dipukuli orang sekampung. Penyakit itu pun kemudian menulari orang dewasa. Aku berharap Anung tak pernah kembali seperti yang dia bilang kepadaku malam itu.

Selain aku, ibuku orang yang paling mencemaskan Anung. Baginya Anung seperti anaknya sendiri.

“Anung pasti pulang,” kataku kepada ibuku. Tapi, kepadanya aku juga tak bercerita soal pamit dan perginya Anung malam itu.

“Ya, tapi kalau dia pulang nanti, bagaimana menjelaskan ke orang kampung tentang penyakit cacar itu? Bahwa bukan Anung yang membawa dan menularkan penyakit itu, seperti kata mantri….” kata ibuku. Aku mendengar juga penjelasan mantri. Katanya, kemungkinan besar penyakit itu berasal dari hewan hasil perburuan ayahku dan teman-temannya berburu.

Baca juga  Lelaki dalam Lukisan

Malam itu aku tidur dan bermimpi mendengar suara jelek Anung berteriak di depan pintu rumah kami, “Mama Imam, ikannya kutarok di depan pintu ya!”

Aku terbangun. Terdiam sesaat. Suara itu benar-benar nyata. Seperti bukan dari mimpi. Aku keluar dari kelambu. Berjalan ke ruang tengah. Ibuku juga keluar dari kamar. “Kamu mendengar suara itu juga?” tanya ibuku.

Aku dan ibuku sama-sama melihat dan berjalan ke pintu depan lalu membukanya, seperti hendak menyambut tamu yang baru saja mengetuk pintu. Di depan rumah ada seember ikan otek segar, masih hidup dan bernapas, seikat kepiting, dan serenteng anyaman daun kelapa berbagai bentuk, ada kitiran, gergaji-gergajian, ketupat suntul, pedang-pedangan, ular-ularan. Juga pancing dengan joran pelepah rumbia.

“Nung? Anung?” ibuku memanggil.

Tak ada sahutan. Aku mengambil dan membawa masuk barang-barang yang aku yakin memang ditinggalkan oleh Anung. Aku percaya dia telah kembali seperti yang dia bilang kepadaku malam itu.

Aku tertidur sampai pagi dan tak sempat ikut sembahyang Subuh berjamaah di masjid. Ayahku pulang dari masjid dan membangunkanku.

“Anung pulang….” kata Ayahku.

“Mana dia?” tanyaku.

“Tadi Subuh dia ditemukan di samping sumur masjid.”

“Sekarang mana dia?”

“Di masjid. Sudah meninggal. Nanti siang kita kuburkan dia.”

Aku bergegas bangun mandi dan ambil wudhu, sembahyang Subuh dan pergi ke masjid. Aku melihat Anung terbaring tenang, tak ada bekas ingus, tak ada air mata mengering, wajahnya lucu, matanya bersih, tak memerah seperti dulu dia ditemukan dulu di samping sumur masjid, dua tahun lalu.

Ibuku bikin kenduri tahlilan dengan uang Anung yang dia kumpulkan. Pada hari ketujuh setelah pemakaman Anung, aku pergi memancing dengan kail yang dia tinggalkan di depan pintu rumah kami malam itu. Aku dapat ikan otek banyak sekali. ***

.

.

Jakarta, 30 Oktober 2022

Hasan Aspahani, lahir di Seiraden, Samboja, Kutai Kartanegara, 1971. Kini menetap di Jakarta dan berkhidmat di Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 2020-2023. Menulis puisi, cerpen, novel dan esai. Peraih Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2018 dan Anugerah Hari Puisi 2016.

.

Datang dan Perginya Anung. Datang dan Perginya Anung. Datang dan Perginya Anung. Datang dan Perginya Anung.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Fery A

    Apakah cerita ini diambil dari kisah nyata ? Sungguh terharu saya membacanya.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: