Cerpen, Endang S Sulistiya, Suara Merdeka

Sertifikat

Sertifikat - Cerpen Endang S Sulistiya

Sertifikat ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka

5
(4)

Cerpen Endang S Sulistiya (Suara Merdeka, 06 November 2022)

PETANG itu kau tengah asyik main nekeran (kelereng) bermacam warna di teras rumah seorang diri. Bakda shalat Asar, kau memang sudah tak diperbolehkan ibumu bermain jauh dari rumah. Maka tiap pukul tiga sore, kau sudah pulang dari permainanmu lalu bergegas mandi karena tak mau Ibu mengomelimu. Selepas mandi, kau puaskan diri bermain-main di teras rumah, walau sebenarnya kau ingin bergabung dengan teman-temanmu di lapangan bola.

Saat kau tengah memicingkan mata guna mengukur sasaran tembak pada nekeran (kelereng) yang kau tata berderet sejajar, sekilas ekor matamu menangkap bayangan ibu yang tergopoh keluar rumah. Rupanya ibumu bermaksud menyambut kedatangan Bapak karena di seberang jalan sana matamu menangkap sosok Bapak telah pulang dari sawah. Ada hal ganjal yang kau rasakan, tak biasanya Ibu antusias menyambut kedatangan Bapak di muka rumah.

“Pak kita harus segera buat sertifikat. Kalau tidak, kita nanti bisa digusur!” kata Ibu sesaat setelah kaki Bapak menginjak emperan rumah. Konsentrasi bidikan kelereng pun pecah, kau memasang kuping baik-baik. Agar dapat mendengar pembicaraan mereka.

“Kata siapa? Ini kan tanah kita, siapa yang berani menggusur?” tanya Bapak enteng sambil melepas capingnya.

“Tadi siang Pak Bayan ke sini. Dia menyuruh kita untuk mengurus sertifikat tanah dan rumah ini. Katanya lagi, kalau kita tidak punya sertifikat, rumah dan tanah ini tidak diakui oleh negara sebagai milik kita,” jelas Ibu seraya membuntuti langkah Bapak masuk ke rumah. Mengedap-endap kau pun turut melangkah satu demi satu mengikuti bapak-ibumu.

“Dari kakek nenek kita tidak punya sertifikat, baik-baik saja,” ceplos Bapak ringan. Membuat wajah Ibu menggemas.

Bapak duduk di kursi meja makan. Menuang air putih dari porong ke gelas plastik, meminumnya beberapa teguk. Gusar, Ibu duduk di samping Bapak. Sementara kau menguntit mereka dari balik pintu ruang tengah.

Baca juga  Pawang Udan

“Zaman sudah berubah, Pak. Apa-apa harus ada surat dan keterangan dari pemerintah,” kata Ibu, mengutip ucapan Pak Bayan.

“Kudengar warga lain juga akan segera mengurusnya. Karena mereka takut rumah dan tanahnya disita pemerintah. Apa Bapak tidak pernah melihat berita di televisi? Rumah-rumah yang tidak memiliki sertifikat dirobohkan dengan alat berat,” imbuh Ibu dengan wajah pias.

Kau ikut terbawa miris. Di kepalamu kini tergambar Satpol PP dengan pentungan besar, rumah-rumah ambruk diterkam buldoser, dan jerit tangis pemilik rumah.

“Kita dan mereka tidak sama, Bu. Orang-orang itu menempati tanah yang bukan hak miliknya, jadi wajar kalau digusur. Lha kalau kita ini, ini kan rumah dan tanah yang sudah turun-menurun sejak Mbah Buyut kita.”

“Tetap saja Pak, kita harus punya sertifikat. Kalau kita sudah punya surat-surat atas rumah dan tanah ini kan kita bisa hidup tenang. Tidak ada yang akan mengganggu. Jadi bagaimana, Pak? Bapak akan mengurus sertifikat rumah dan tanah ini kan?”

“Kapan-kapan Bapak bicara lagi dengan Pak Bayan,” ucap Bapak masih acuh tak acuh.

“Jangan kapan-kapan, Pak! Secepatnya!”

“Iya-iya, Bu. Sekarang Bapak mau mandi dulu. Bapak juga belum shalat Asar ini.”

Satu kata yang kau tangkap: sertifikat. Entah bagaimana rupanya sertifikat itu, kau dibuat penasaran. Nanti malam mungkin kau akan menanyakan pada Kang Maman, guru mengajimu. Kau sadar tak mungkin bertanya pada bapak-ibumu, bisa-bisa kau ketahuan menguping pembicaraan orang tua. Lalu kau seharian akan mendapat khotbah gratis.

***

“Saya sebagai perangkat desa berkewajiban mengingatkan penduduk bahwa negara kita ini adalah negara berlandaskan hukum. Jadi kalau ada rakyat yang tidak mematuhi hukum, ya akan kena sanksinya,” kata Pak Bayan mengawali pembicaraan dengan Bapak dan Ibu di ruang tamu. Pak Bayan diam sebentar untuk menyulut rokoknya. Kau mengusap-usap sebelah matamu yang telah bertugas berat selama mengintip dari balik jendela.

“Pemerintah sudah menerbitkan peraturan bahwa tiap tanah, rumah, dan bangunan harus memiliki sertifikat. Ini diberlakukan untuk melindungi, bukan untuk menyusahkan seperti perkiraan masyarakat pada umumnya,” imbuh Pak Bayan setelah menyesap rokoknya sekali. Kau fungsikan kembali sebelah matamu untuk mengintip.

Baca juga  Dongeng-dongeng yang Bergentayangan

“Lalu saya harus mengurusnya ke mana, Pak?” tanya Bapak.

“Ke BPN.”

“Apa itu BPN dan di mana lokasinya?”

“BPN itu Badan Pertanahan Nasional, paling dekat ada di kabupaten.”

“Wah jauh sekali. Saya tidak mungkin sempat ke sana karena saya harus menjaga padi dari serangan burung. Lagian saya juga belum tahu tempatnya,” keluh Bapak.

“Kalau mau, bisa saya uruskan.”

“Sepertinya begitu saja, Pak,” kata Ibu.

Akhirnya Bapak terpaksa menjual seekor kambing jantan demi membiayai pembuatan sertifikat. Kata Pak Bayan, sertifikat itu akan jadi dalam waktu dua minggu, tapi kenyataannya tiga bulan kemudian sertifikat itu baru jadi.

Bapak menimang-nimang kertas bernama sertifikat itu, lalu bergantian Ibu. Aku mengusap-usap telapak tanganku agar debu-debu yang menempel hilang kemudian bersiap mengantre untuk memegangnya.

“Jangan, nanti kotor. Ini surat berharga,” sergah Ibu saat tanganmu hendak meraihnya.

Oleh Ibu, sertifikat itu disimpan ke sebuah kotak. Dulunya kotak itu tempat untuk menyimpan keris tetapi karena kerisnya telah diserahkan pada Kyai Ahmad sebagai pernyataan bahwa bapak bertobat dari hal-hal syirik, kotak itu pun menganggur.

***

“Kami punya sertifikat!” teriak Bapakmu dan warga lain, mewakili dirinya sendiri karena tak ada pengacara yang mau mewakili rakyat jelata. Entah mengapa tiba-tiba saja kampungmu didatangi Satpol PPdan lima buldoser. Dengar-dengar mereka hendak menertibkan perumahan liar.

Kau tak mengira bahwa rumah yang dikatakan liar itu termasuk rumahmu. Padahal, seingatmu sertifikat berharga mahal yang tiga tahun lalu dibeli bapakmu dengan seekor kambing jantan masih tersimpan rapi di kotak keris.

“Menyingkir semuanya! Rumah-rumah akan segera diratakan!” seru pemimpin proyek garang. Mesin-mesin buldoser meraung lapar.

“Bapak mau ke mana??” seru Ibu panik saat melihat Bapak melangkah mendekat ke tempat buldoser.

Baca juga  Semua Orang Pandai Mencuri

“Bapak harus memperjuangkan hak kita, Bu. Siapa lagi yang akan memperjuangkan bila bukan kita sendiri.”

“Bapak jangan cari mati!”

“Mati untuk kebenaran itu mulia, Bu,” tegas Bapak sebelum mengomando beberapa pria lain untuk menjadi pagar hidup.

Perjuangan Bapak berakhir dengan kematian tragis. Ibu dan beberapa perempuan lain menangis melolong-lolong bak serigala terluka.

Berikutnya dalam rekaman kepalamu, sertifikat adalah barang laknat. Alat oknum pejabat tak bertanggung jawab untuk mengkhianati rakyat. Sementara para oknum aparat adalah orang-orang keparat. Mempermainkan nasib rakyat melarat demi memenuhi ambisi menjadi konglomerat.

***

“Wah, mirip sekali dengan aslinya!” seru seorang pelanggan memuji. Berkali-kali dia menggeleng-gelengkan kepala saking kagumnya.

“Pasti tak ada orang yang mengira ini sertifikat aspal,” timpal temannya yang mengantar.

“Terima kasih ya, Mas,” ucap pelanggan seraya tersenyum tulus.

“Jadi biayanya berapa, Mas?”

“Lima puluh ribu, Pak.”

“Hah, kok murah sekali, Mas? Padahal saudara saya kemarin buat di tempat lain dan hasilnya tidak sebagus ini, bayar 200.000 loh, Mas,” kata pelanggan itu terheran-heran. Teman di sampingnya manggut-manggut, menyetujui.

“Biaya produksi bikin sertifikat ini paling cuma dua puluh ribu rupiah saja kok, jadi saya sudah untung. Lagian yang saya cari sebenarnya bukan cuma untungnya kok, Pak.”

“Wah, wah, kalau begitu nanti saya promosikan ke tetangga dan teman saya ya, Mas?” Pelanggan itu mengangsurkan selembar lima puluh ribuan rupiah kepadamu dengan senyum cerah.

“Monggo,” sahutmu, ceria.

Inilah pemberontakanmu atas perilaku oknum pejabat yang tamak. Menggerogot uang rakyat dari menipu dengan surat-surat, sertifikat-sertifikat, pajak-pajak, pungutan-pungutan, dan entah apa lagi. ***

.

.

Endang S Sulistiya, menetap di Nogosari, Boyolali. Alumnus FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta ini tergabung dalam grup kepenulisan Diskusi Sahabat Inspirasi.

.

.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!