Cerpen Junila WR (Republika, 06 November 2022)
MASIH ingatkah kau suasana kampung kita, Yul? Pulau Sumatra yang indah dengan masyarakat bersahaja. Bukit, tanah, sungai, dan segala macam di dalamnya, begitu bersahabat pada bocah-bocah petualang seperti kita.
Aku masih di sini, Yul. Di tempat kita pernah menghabiskan hari-hari bersama. Di mana aku, kau, dan kawan-kawan, bisa saling mengunjungi tanpa harus dihubungi lebih dulu. Kadang kala, aku hanya perlu berteriak memanggil namamu. Setelah itu, kau akan berlari sambil memamerkan gigi-gigi putih yang berjajar rapi.
Kita pun tak jarang makan bertandang, kadang di rumahmu, kadang di rumahku. Kau yang memang terlahir dari keluarga berada selalu suka rela membagi laukmu. Aku yang lebih sering makan nasi pakai garam dan minyak atau terung dan ikan kering murah, tentu saja bergembira menerimanya.
Kasta kita berbeda jauh, tapi kau tak pernah membuatku menjauh. Aku tidak merasa kecil saat bersamamu. Kau seperti menyalurkan energi-energi baik.
***
“Pakai saja sepatuku, Tut,” katamu ketika kita terpilih menjadi peserta lomba senam antar-SD saat itu. Kau dan ibumu datang menghibur setelah mendengar bahwa aku berencana mengundurkan diri sebagai peserta lomba.
Ayah dan ibu tak punya cukup uang untuk membelikan sepatu baru. Betapa kecil rasanya hati ini, Yul. Padahal, pak guru sudah berpesan agar kita berpakaian rapi di hari perlombaan. Kata ibu, patokan rapi bukan ada pada sepatu ataupun pakaian baru. Namun, bagi kita yang hanya seorang murid sekolah dasar akan merasa asing di antara peserta lainnya. Apalagi, ibu jari kakiku sudah kerap mengintip bila sedang berlari atau berjalan cepat. Bayangkan, bagaimana mungkin aku masih memakainya di perlombaan senam?
Beruntungnya kau datang membawakan sepatu. Ibumu yang cantik itu pun penuh senyum meminta agar aku mencobanya. Pas, ukuran kaki kita memang sama, ‘kan? Bahkan, banyak orang mengatakan wajah kita agak serupa. Kupikir, mungkin itu terjadi karena persahabatan.
Aku senang bukan main, terlebih saat ibumu bilang sepatu itu boleh menjadi milikku. Air mata yang sedari mula menggenang telah jatuh. Bukan karena sedih, melainkan lihatlah binar bahagia. Betapa senang rasanya memiliki sepatu bekas dari sahabat. Yah, bekas. Namun, terlihat baru dan berkelas.
Kau menggenggam tanganku, lalu ibumu membelai rambutku. Terima kasih untuk hari itu, Yul. Barangkali kau tak tahu, ibuku berulang kali mengucap syukur selepas kepulanganmu dan ibumu.
Ingatkah juga kau yang selalu memboncengkan aku dengan sepeda ketika pergi dan pulang sekolah? Sepeda kebanggaan, hadiah ulang tahun dari ayahmu. Betapa kental dalam ingatan, warnanya merah muda, ada keranjang di bagian depan, dan jok boncengan di belakang.
Aku tak pernah iri karena kau juga sama sekali tak pernah berusaha membuatku merengek pada ibu agar dibelikan benda serupa. Kau lebih merangkul, mengajakku menikmati barang-barang baru itu bersama. Ke mana lagi akan kucari sahabat sepertimu, Yul?
Keranjang sepedamu selalu kita isi dengan botol plastik air kemasan ukuran besar. Bukan air minum, botol itu justru dipenuhi kelereng. Benar, kita memainkannya setiap jam istirahat di sekolah. kemudian, akan mengulanginya lagi di halaman rumah usai makan siang.
Hei, bukankah kita adalah anak perempuan, Yul? Sedangkan yang lumrah bermain kelereng adalah anak laki-laki. Hanya saja, kita tak pernah mau dikalahkan musim. Saat musim layang-layang, kita akan duduk menunggui ayahku meraut buluh. Lelaki kesayanganku itu akan membuatkan satu layang-layang untukku dan satu untukmu. Ayah juga meletakkan inisial nama kita di badan layangan itu.
Di musim gambar, kita juga disibukkan dengan kertas-kertas bergambar karakter. Akan tetapi, kelereng adalah favorit. Masing-masing kita tetap menyimpannya dalam botol plastik air kemasan. Jika suatu waktu musimnya datang, kita sudah punya modal untuk mengalahkan kawan-kawan sepermainan di kampung.
Sampai pada malam itu di musim kelereng. Ibuku yang tengah hamil tua, kesakitan. Aku tak mengerti tentang sakit itu. Menangis saja yang kulakukan, sampai ayah bilang bahwa adik akan segera lahir.
Kalian sekeluarga bergegas membantu. Ibuku dibawa ke rumah bersalin menggunakan mobil kijang kapsul milik ayahmu. Sementara aku, dititipkan di rumah kalian yang memang berada tepat di sebelah rumahku.
Orang tuaku tidak pulang malam itu. Di kamarmu yang jelas lebih bagus dari ruang mana pun di rumah kami, kita berbaring. Aku memeluk boneka teddy bear kesukaan anak perempuan yang tak pernah kumiliki.
***
“Apakah persediaan kelerengmu lebih banyak, Yul?” tanyaku memecah hening yang entah sejak kapan ada di antara kita.
“Masih, punyamu?” Aku menggeleng. Botol plastik air kemasan yang kutaruh di sendi dekat pintu kamar kini hanya terisi setengahnya.
“Kalau begitu, kau bisa mengambil semua kelereng milikku. Mungkin nanti, aku tak akan membutuhkannya lagi.”
“Maksudmu apa, Yul?” Aku agak kaget mendengar pernyataanmu saat itu. Aku takut.
“Ayah bilang, beberapa hari lagi kami sekeluarga akan pindah ke luar kota.” Aku begitu terpukul, Yul. Tak pernah terpikir olehku perihal berpisah denganmu.
“Kenapa, Yul?” Kau pasti menemukan getaran pada suaraku.
“Ayah pindah bekerja ke sana.” Air matamu membasahi bantal saat mengubah posisi dari telentang menjadi miring menghadapku.
Aku pun menyembunyikan wajah di balik boneka. Bukan marah, aku hanya tidak ingin bertatapan denganmu lebih lama. Air matamu menyakitiku. Raut sedih itu hanya akan menyulitkan perpisahan ini.
Aku khawatir tentang hari-hariku tanpamu. Aku takut menjadi kecil setelah dukunganmu esok tiada lagi. Mungkin aku terlalu bergantung padamu, Yuli, tapi aku benar-benar tak siap kehilangan.
***
Beberapa hari setelah obrolan malam kita, dunia serasa baik-baik saja. Kita bermain selayak biasanya. Kau memboncengkanku ke sekolah. Menjelang petang, kita juga masih disibukkan menghitung jumlah kelereng. Hingga aku lupa, kau tetap akan pergi.
Hari yang kutakutkan akhirnya datang. Di halaman depan rumahmu, kita berkumpul. Ibuku dan ibumu menangis berpelukan. Sesekali wanita yang waktu itu memberi sepatu bagus milik putrinya kepadaku mengecup wajah bayi usia beberapa hari di dekapan ibu.
Demikian pula yang tampak dilakukan ayah kita. Meski tak ada air mata, mereka begitu erat berpelukan. Ada kesedihan tersirat di antara keduanya.
Kita, apa yang akan kita lakukan, Yul? Haruskah melakukan hal yang sama dengan mereka? Sayangnya, aku terlalu berat melepaskanmu.
“Tuti, ini untukmu.” Kau benar-benar menyerahkan seluruh kelereng itu kepadaku. Aku menggeleng, tak mau menerima pemberianmu.
“Aku ingin kau kembali, Yul, tak peduli kapan pun itu. Mari kita kubur semua kelereng di pekarangan rumah ini. Kelak, jika kau kembali, kita akan bersama memainkannya lagi.” Aku lega ketika kau menyetujui. Kita kuburkan benda kenangan itu di dekat meteran air pekarangan rumahmu.
Masih terasa eratnya pelukanmu setelah kita menimbunkan tanah menutupi lubang berisi kelereng dalam botol mineral. Aku pun tak kalah erat memeluk. Kita saling melepas untuk kemudian menyeka air mata satu sama lain.
Kau lalu memunggungi. Rambut panjang berkepang dua seolah memberi lambaian perpisahan saat kau berjalan menuju mobil. Ketika itu, kau sudah enggan menengok ke arahku. Sementara aku, masih setia tak melepaskan pandang pada mobil pengangkut barang dan kijang kapsul yang beriringan pergi.
***
Kini, waktu telah lebih jauh meninggalkan masa itu, Yul. Namun, kenangan masih saja melekat kuat diingatan. Kau sahabat terbaik yang pernah ada.
Oh iya, aku sudah menikah dengan lelaki yang dulu sering mengalahkan kita bermain kelereng. Rupanya dia sangat baik dan penyayang. Kami masih tinggal di rumah lama. Hanya, suasananya berbeda.
Suatu hari, beberapa orang datang ke rumah yang dulu kau tempati. Kupikir itu kau, Yuli. Nyatanya, mereka hanya keluarga asing yang tiba untuk merenovasi bangunan tinggal itu.
Rumah yang dulu kau tempati, kini menjelma banguan bertingkat. Pagar tinggi telah dibangun sekeliling. Pekarangan tempat kita menyimpan kelereng, juga dipagari. Kami tak banyak berbicara. Jika ada, hanya seperlunya.
Tetangga baruku sangat tertutup dan jarang bergaul. Hal yang sering terlihat hanya mobil mewah keluar masuk. Anak kecil di rumah itu pun tak seperti kita dulu. Pulang dan pergi sekolah menggunakan jemputan.
Duh, semakin kecil saja rasanya kemungkinan untuk kita bertemu lagi, Yul. Kau entah di mana, sedangkan aku masih saja menunggu kedatanganmu. Lalu kelereng-kelereng kita, mereka sudah terpenjara dalam pagar tinggi yang sulit kumasuki. ***
.
.
Junila WR. Alamat Instagram @junila.wr
.
Kelereng dan Pagar Tinggi Rumah Tetangga. Kelereng dan Pagar Tinggi Rumah Tetangga. Kelereng dan Pagar Tinggi Rumah Tetangga.
Leave a Reply