Cerpen, Kompas, Seno Gumira Ajidarma

Selingan Perjalanan

Selingan Perjalanan - Cerpen Seno Gumira Ajidarma
4.6
(5)

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 17 Januari 1982)

PEREMPUAN itu mengingatkan aku kepada seseorang. Itulah yang membuatku bercerita sekarang ini. Dunia ternyata memang bukan sekadar tempat mampir minum dan ngobrol, melainkan untuk mempertahankan diri jangan sampai jadi kere. Hidup untuk memburu hidup, dan perempuan di depanku ini juga sedang berburu.

“Mampir, Mas,” teriaknya pada orang-orang yang lewat. Lantas kepadaku ia berkata, “Dari tadi hujan, tidak ada yang mampir, lihat satenya menumpuk.”

Aku tidak menjawab, asyik memandang bibirnya, yang berkilat dalam cahaya petromaks.

“Malam dingin begini enaknya kelonan, Yu,” kataku sambil menyikat sate.

“Jualan belum laku kok kelonan,” jawabnya sambil melirik, langsung menancap ke jantungku yang seperti berhenti.

“Justru karena nggak laku, makanya kelonan saja.”

Sampean ini bagaimana, bapaknya anak-anak sudah lama pergi kerja, kok saya disuruh kelonan. Mesti prihatin tho saya?”

“Iya, Yu, tapi kalau prihatin terus, ya, capek, sekali-sekali, kan, perlu hiburan.”

“Wah, sampean ini pintar sekali merayu lho!”

Gerimis kemudian turun kembali, suaranya berisik pada atap seng warung sate itu. Sepanjang jalan berderet warung soto, nasi goreng, bakmi, bir, dan kopi. Makin ke ujung, deretan ini makin remang-remang. Tempat yang terujung adalah ujung malam, tempat cinta yang hitam dijajakan, yang jika lewat tengah malam belum laku tentu akan digadaikan.

Aku tidak sungguh-sungguh merayu perempuan itu. Aku hanya selalu makan di situ sejak menginjak kota kecil ini seminggu yang lalu. Ia sudah berbulan-bulan ditinggal suaminya pergi entah ke mana, tak lebih dan tak kurang sama seperti aku telah meninggalkan anakku, dan ibunya. Memang begitulah hidupku sebagai sopir mobil boks di pedalaman, yang baru bisa pulang setelah semua barang dagangan tersalurkan, dan terutama setelah para pedagang membayar tagihan.

“Tadi Pak Mul datang lagi, katanya ia menunggu jawaban.”

Ia ngomong sambil mengipas sate di atas pembakaran, “Katanya ia mau membawa saya ke Banjarmasin.”

Baca juga  Nelayan itu Masih Melaut

Aku membayangkan Pak Mul, polisi berkumis lebat yang anaknya dua dan sudah lama menduda.

“Bagaimana ya, Mas?” Nadanya mendesak.

“Mbakyu sendiri bagaimana? Saya ini, kan, tidak tahu kehidupan Mbakyu dengan bapaknya anak-anak itu.”

“Dia itu kasar, suka menampar, mana punya istri muda lagi.”

Aku tertegun, tetapi perempuan itu tetap mengipas sate tanpa menoleh.

“Kok Mbakyu masih mau?”

“Saya tidak tahu masih mau atau tidak mau. Saya bingung. Saya tidak suka ditampar, tidak suka juga dimadu, tapi banyak yang saya pikirkan.”

“Tentu, Yu, tentu,” kataku sambil manggut-manggut.

Hujan berhenti. Segerombol anak muda masuk. Jaket dan kaos oblong mereka warna-warni, mencerminkan kehidupan yang bergairah.

“Hallo, Yu, lama ya tidak ketemu? Satenya Yu!”

“Minumnya apa?”

“Saya susu!”

“Saya teh!”

“Teh susu!”

“Susu kopi!”

“Es jeruk!”

“Wah kok cemmacem saja ini mintanya, tiap orang lain-lain, mbok susu semua jadi biar bikinnya gampang.”

“Susunya yang jual, ya, mau!”

Tawa mereka meledak. Perempuan itu melengos tersipu. Aku juga tersenyum, tapi lantas malu dalam hati. Betul dia juga tersenyum. Namun seperti mengejek hidupnya sendiri.

Berjuang hidup sendirian dengan tiga anak yang masih kecil, ditinggal suami entah sampai kapan. Semuanya berjuang mempertahankan hidup di deretan warung ini. Menjadi pencuri, pelacur, penjudi, penipu. Apa saja asal bisa tetap bertahan hidup.

Anak-anak muda itu makan dengan lahap sambil tak henti menggodanya.

Sesekali bahkan ada yang menyentuhnya. Namun ia tenang saja, menghindar dengan halus dan mencoba tetap ramah.

Itulah yang mengingatkanku.

***

Ruang yang temaram berbau wangi, dengan musik memekakkan telinga.

“Jadi ini adikmu?”

Seseorang bertanya sambil menatapku, dan memeluknya.

“Masih sekolah?”

Aku lupa jawabnya. Namun kuingat apa katanya kepadaku dulu.

“Jangan pernah bilang kamu suamiku. Jangan pernah. Nanti mati pasaranku di sini.”

Lantas namanya dipanggil. Dia menyanyikan lagu mandarin di bawah lampu, yang didendangkannya tadi siang sambil menyuapi anak.

Orang itu memanggil seorang perempuan. Wangi sekali.

Baca juga  Kimpul

“Ini adiknya. Coba temani.”

Perempuan itu langsung duduk di pangkuanku. Kedua tangan menggeletak malas di pundak.

“Kamu kesepian? Kasihan….”

Namun wajahnya bosan. Mulutnya mengeluarkan bau yang tidak wangi.

Gelasku diisinya dengan whisky. Siapa yang bayar, pikirku. Dompetku hanya berisi kartu yang menyatakan siapa diriku. Siapakah diriku?

“Minum saja,” kata orang itu, “kakakmu tidak akan marah.”

Apakah aku terlihat belum cukup umur? Perempuan itu minum dari gelasku, setelah membuatku menenggaknya juga.

“Kakakmu cantik,” bisiknya di tengah keriuhan, “pantas disukai boss!”

Aku tertunduk. Tercium bau dadanya. Wajahku terasa panas. Tiga lagu lewat, lantas dia melangkah kemari.

Kami berpandangan sekilas. Apa yang ada dalam pikirannya?

Mereka berpelukan dan tertawa-tawa. Aku ikut saja tertawa. Kami semua tertawa. Tertawa terbahak-bahak.

***

“Huss! Dari tadi kok melamun.”

Aku masih di kota ini. Dalam kemelut asap sate yang baunya eksotik.

“Saya dulu kawin umur 14, belum tahu apa-apa.”

Anak-anak muda tadi sudah lenyap. Malam meruap dari dalam tanah, angin membawa sisa gerimis. Aku merasa kosong.

“Umur 6 tahun sudah dijodohkan. Habis bagaimana lagi, adat di sana memang sudah begitu. Sekarang ini, anakku yang nomor satu, umur 8 tahun, sudah dijodohkan sama anaknya Pak Dalimin, itu lho tukang bikin perahu.”

Datang lagi orang lain.

Kok lama tidak mampir, Pak? Ke mana saja?”

“Repot, Yu, objekan duapuluh juta, kan, rugi kalau ditinggal.”

“Lumayan banget itu! Bagi, ya, Pak?”

Lha ini, kan, datang makan sate.”

“Ah sate cuma sepuluh tusuk.”

Lho, lho, lho… suruh tidak jadi mampir atau bagaimana?”

Anjing melolong panjang bersahut-sahutan, tanda sedang musim kawin. Orang yang baru datang itu mendekap si penjual sate.

“Aduh, Yuuu, aku kangen sekali sama situ.”

“Huss, huss, ayo jangan rusuh, sudah punya istri cantik kok masih ndekep tukang sate.”

“Soalnya dirimu ayu, Yu!”

Wajah perempuan itu berubah warna, tapi hanya sebentar.

Orang itu cepat sekali makan, lantas pergi. Datang lagi yang lain, dan pergi lagi. Datang dan pergi. Berganti-ganti. Setiap orang tampak meyakinkan diri betapa perempuan itu menaruh perhatian yang istimewa. Perempuan itu memang mencoba menyenangkan mereka semua, meskipun ia tahu betapa dirinya juga tak terlalu berarti bagi mereka.

Baca juga  Topeng Maut Merah

Sepuluh tusuk sate dan sepotong lontong, lantas selesai. Ia pun sebenarnya tak perlu menganggap semua orang itu terlalu penting selain sebagai pembeli. Hanya pembeli.

Namun yang terjadi di sana tampaknya memang bukan sekadar masalah menjual dan membeli.

Masalahnya bukanlah sekadar sepuluh tusuk sate yang dibakar, tapi langganan yang menghasilkan uang. Sedangkan langganan memang tidak akan datang hanya karena sepuluh tusuk sate, meskipun satenya itu benar-benar enak.

Lantas sepi kembali.

Tak selalu tumpukan tusuk sate itu habis. Apalagi setelah muncul warung kopi baru di sebelahnya, yang penjualnya mirip sekali dengan seorang bintang film. Bahkan lebih hebat, karena matanya yang sengaja mengundang. Orang-orang pun ganti berpindah ke sana.

Dan jam-jam sepi yang kosong mengisi malam perempuan itu. Aku saja yang ngobrol di warungnya sampai pagi. Kita semua butuh kawan.

Namun aku, kawannya itu, akhirnya harus pergi, membawa masalahku sendiri dan meninggalkan dia dengan segala masalahnya.

Itulah hidup.

Aku membayangkan kembali perempuan warung semacam ini di ribuan tempat lain yang pernah kulewati. Di sudut-sudut gelap pasar yang sudah tutup, di terminal bis, di stasiun kereta api, di lapangan udara, di kaki lima, di bawah jembatan, di muka rumah sakit, di pojok-pojok jalan, di tempat pelacuran, di tempat istirahat para sopir truk, di mana saja. Dan di sana, aku melihat kisah perjuangan yang menggetarkan. ***

.

.

Tenggarong-Long Nawang, Desember 1981.

.

Selingan Perjalanan. Selingan Perjalanan. Selingan Perjalanan. Selingan Perjalanan. Selingan Perjalanan.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!