Aveus Har, Cerpen, Media Indonesia

Ignoramus

Ignoramus - Cerpen Aveus Har

Ignoramus ilustrasi Budi Setyo Widodo (Tiyok)/Media Indonesia

3.9
(16)

Cerpen Aveus Har (Media Indonesia, 13 November 2022)

STEPHEN berdiri di atas bukit, memandang ke kaki langit jauh berwarna abu-abu. Dia telah lupa kapan terakhir kali berdiri tegak semacam ini. Penyakit saraf motorik telah lama mendudukkannya di kursi roda. Sekarang, dia berpikir apakah ada korelasi kesembuhan penyakit dengan perlintasan waktu?

“Itu hanya soal kecil,” kata angin dengan bisikan lembut dan tertawa lirih.

“Tentu saja,” Stephen menyahut, “Selalu ada jawaban dari sains.”

Matahari bersinar garang, kemerahan, membias pada mega-mega. Udara beraroma asam, kental dengan gas amonia dan karbon dioksida. Stephen sungguh tahu bahwa secara normal seharusnya dia tidak bisa bertahan dalam lingkungan semacam ini. Dia tidak bisa memperkirakan secara logis apa yang membuat dirinya bertahan, tetapi dia tidak mau berspekulasi dengan mistikisme. Dia meyakini bahwa dirinya hanya belum tahu dan tidak ada misteri pada alam yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.

“Itu masih soal kecil,” bisik angin lagi.

Stephen mendengus kesal.

Di lembah, kubah kota dari logam memantulkan panas dan silau. Stephen ingat seorang profesor teknik pernah membuat rancangan ini. Waktu itu dipresentasikan sebagai perlindungan kota dari bencana perang. Kubah kota digunakan sebagai bunker yang berada di permukaan tanah. Sekarang, rancangan itu digunakan sebagai perlindungan dari ancaman panas matahari yang terlalu dan pencemaran udara yang masif.

Tidak ada pohon yang tampak. Tidak ada burung. Bumi yang terhampar adalah bumi yang sekarat melebihi apa yang pernah dia prediksikan dan ungkapkan kepada khalayak. Dalam sebuah simposium, Stephen berkata bahwa bumi akan sekarat dalam sepuluh ribu tahun lagi.

“Lebih cepat dari itu,” kata angin ketika mengajak Stephen kemari.

“Tanggal berapa sekarang?” tanya Stephen.

“15 November 3016,” jawab angin.

“Seribu tahun,” seru Stephen, masygul. “Bumi sekarat lebih cepat dari yang aku kira.”

“Begitulah manusia,” sahut angin.

***

Ketika Stephen menyampaikan prediksi ilmiahnya bahwa bumi akan hancur dalam sepuluh ribu tahun, apa yang dipikirkan manusia?

Bagi manusia, sepuluh ribu tahun adalah waktu yang sangat lama. Tidak satupun yang berpikir akan tetap hidup sampai sepuluh ribu tahun. Tidak ada yang merasa bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan bumi agar bertahan sampai sepuluh ribu tahun nanti. Berapa keturunankah sepuluh ribu tahun itu?

Maka eksploitasi alam terus berlangsung dan semakin masif. Tidak ada ketakutan akan sekaratnya bumi karena manusia telah merasa sanggup mengatur alam. Atas nama industri dan kapitalisasi hutan-hutan dibabat, pabrik-pabrik dibangun, limbah-limbah digelontorkan, perut bumi ditambang.

Baca juga  Bukan Kecap Oriental

Dari atas bukit yang tandus di tahun 3016 ini, Stephen tahu bahwa manusia pada akhirnya akan dikalahkan ketamakannya sendiri, jauh lebih cepat dari yang telah dia prediksi dengan segenap kecermatan hitungan analitis.

“Demi masa …,” angin berbisik, “Bukankah telah jelas terhampar segenap tanda?”

***

Stephen telah lama memimpikan perjalanan waktu ke hari terakhir bumi. Dia telah lama memikirkan bagaimana cara melintasi waktu dan pergi ke masa depan, tetapi segala teori yang ada selalu membentur ketidakmungkinan.

Lalu, angin itu menelusup ke pembaringannya, memberinya janji sebuah perjalanan ke masa depan tanpa segala peralatan mekanis dan penjelasan fisika. Stephen melihat kalender sebelum pergi: 15 November 2016.

Angin membawa Stephen menyisir waktu, melintasi tepian relung masa, membawanya berada pada hari terakhir sebelum bumi hancur—demikian yang angin katakan ketika mengajaknya pergi.

Bagaimana sesungguhnya cara angin membawanya, Stephen tidak memahami, tetapi dia selalu yakin ada penjelasan ilmiah untuk segala fenomena alam semesta.

Stephen tidak tahu apakah dia akan bisa kembali ke masanya untuk mengabarkan apa yang sungguh terjadi seribu tahun di depan ataukah tidak. Secara teori, kita bisa pergi ke masa depan, tetapi tidak bisa kembali ke masa lalu karena waktu hanya mengalir ke depan.

“Apa yang akan kau lakukan jika bisa kembali?” tanya angin.

“Meralat prediksiku bahwa bumi akan hancur lebih cepat.”

“Untuk apa?”

“Agar manusia mencari planet lain segera.”

Angin tertawa. “Demi masa …,” bisiknya, “kiamat akan tiba.”

***

“Apakah kau ingin ke lembah?” tanya angin.

Stephen mengangguk.

Angin menggulungnya dan mereka berembus bersama.

Di bawah kubah-kubah logam itu, Stephen menyaksikan manusia-manusia bionik yang hidup bersama mekanik. Mereka tampak serupa dan wajah-wajah mereka beku, monoton, muram.

Angin memberitahunya bahwa Proyek Gilgamesh yang didanai industri kosmetik dan kesehatan semenjak revolusi sains telah menemukan serum anti-penuaan sel tubuh dan rekayasa genetika yang menjadikan manusia sebagai mahluk amortal—bukan imortal—sehingga secara alami tidak ada penuaan dan kematian.

“Tidakkah itu menjadi sia-sia?” tanya Stephen.

“Kau benar,” sahut angin.

“Alam mempunyai siklus yang berguna dengan kematian dan kelahiran.”

“Manusia sungguh merugi.”

Manusia tidak lagi dilahirkan melainkan diproduksi di dalam pabrik kloning dengan aturan jumlah populasi tetap. Artinya, produksi hanya dilakukan jika ada manusia yang mati—oleh kecelakaan ataupun oleh bunuh diri.

Baca juga  Kisah Sebercak Darah

“Apakah mereka telah tahu kiamat akan tiba?” Stephen bertanya kepada angin.

“Sudah.”

“Mereka tidak tampak panik.”

“Bukankah hidup mereka hanyalah kesia-siaan?” bisik angin dengan tertawa mengolok.

Angin membawa Stephen ke sebuah rumah di mana sepasang suami istri sedang bercengkerama.

“Kiamat berapa lama lagi?” tanya sang istri.

“Dua puluh satu jam tiga puluh tiga menit dari sekarang; hitungan mundur kiamat bisa kau lihat di laman pemerintah.”

“Aku sedang tak ingin mengakses.”

“Apakah kau ingin mengalaminya?”

“Mengalami kiamat?”

“Ya.”

“Sejujurnya aku ingin merasakan seperti apa. Sepanjang hidupku semua baik-baik saja dan itu membosankan.”

“Tubuh kita tidak bisa merasakan sakit dan menderita,” sahut sang suami.

“Sakit dan menderita hanya ada dalam dongeng tentang moyang kita, tetapi kita tidak mempunyai persamaannya sekarang.”

“Persamaan kita hanya seperti mobil yang digerus dan dilebur menjadi logam—tidak merasakan apa-apa.”

“Jadi, percuma saja kita menyaksikan kiamat. Sama seperti percumanya kita menyaksikan peleburan mobil tua kita.”

“Kau benar. Aku juga sudah bosan hidup. Selama dua ratus satu tahun ini, hidupku begitu-begitu saja.”

Demikianlah, sepasang suami istri itu tampaknya sudah tidak tahu apa lagi yang ingin dilakukan.

“Sebaiknya aku matikan sistem tubuhku,” kata sang istri.

“Aku juga akan mematikan sistem tubuhku jika kau mematikannya,” ujar sang suami.

“Ya, mari kita matikan bersama. Meskipun sinyal kematian kita diterima pemerintah, pabrik mungkin tak perlu memproduksi manusia pengganti hanya untuk hidup selama dua puluh satu jam.”

“Sedangkan kita hidup lama juga tak punya makna.”

Mereka tertawa sumbang, lalu mematikan sistem tubuh masing-masing. Dalam hitungan mundur sepuluh, sistem akan dimatikan.

Sepuluh.

Sembilan.

Delapan.

“Apakah kau baik-baik saja?”

“Ya.”

“Aku agak … sedih, atau apapun semacam itu.”

Empat.

“Aku mencintaimu.”

“Hei, bisakah kita batalkan ini?”

“Tidak ada opsi batal.”

Sistem mati.

***

“Hidup adalah sia-sia, bukan?” angin mengerling.

“Aku tak tahu.”

Sebagai ilmuwan, Stephen tak pernah berkata tidak tahu. Dia selalu merasa telah tahu dan belum tahu. Dia selalu yakin ketidaktahuan hanya soal waktu untuk diketahui. Sekarang, dia benar-benar tidak tahu.

“Mereka adalah anak keturunanmu,” kata angin pada Stephen sebelum mengajaknya pergi.

Stephen tidak merasa bersedih. Dia tahu bahwa alam menghancurkan apa yang harus hancur dalam hukum-hukumnya.

Lalu, angin membawa Stephen ke tempat lain. Di tempat lain ini Stephen melihat orang-orang yang serupa tetapi wajah-wajah mereka penuh gairah. Mereka seolah dilingkupi cahaya.

Baca juga  Angsa-angsa Kertas

“Apakah mereka tidak mengetahui hidup akan berakhir sia-sia?” tanya Stephen.

“Mereka menunggu kiamat dengan gembira.”

“Mereka penderita skizofrenia?”

“Mereka orang-orang yang beriman kepada Tuhan.”

“Mistikisme?”

Angin menggeleng-gelengkan kepala. “Kau tahu bagaimana waktu berjalan?”

“Waktu berjalan secara singular.”

“Bagaimana waktu berakhir?”

“Waktu tak pernah berakhir.”

“Jika demikian, bukankah setelah kematian ada kebangkitan?”

“Sains belum membuktikan.”

“Demi masa,” angin berkata, “Bukankah kau telah melihat keagungan Tuhan?”

“Aku telah menyaksikan kebenaran hukum alam,” sahut Stephen.

“Tuhan yang menciptakan alam dengan segenap hukumnya.”

“Tidak ada Tuhan; alam tercipta oleh ledakan besar dan akan hancur sebagai ledakan.”

Angin menggeleng-gelengkan kepala.

“Sungguh, manusia merugi …,” bisik angin.

“… kecuali …,” imbuh suara yang Agung.

Angin mengangguk takzim. “… kecuali yang beriman.”

Bumi berhenti.

Rotasi berubah.

Alam sengkarut.

Meledak.

***

Dentuman menggema di kepala Stephen, membangunkan tidurnya. Dentuman itu ialah alarm dari asisten robotiknya. Stephen membuka mata.

“16 November 2016; kau ada agenda berbicara di Oxford University Union,” kata asistennya.

“Aku barusan bermimpi buruk,” sahut Stephen.

“Apa?”

“Aku mendengar suara Tuhan.”

Asisten Stephen yang sejatinya merupakan program kecerdasan artifisial itu tertawa. “Kau terlalu memikirkan partikel tuhan [1]?”

“Tidak juga, tetapi ….”

“Kau harus melupakan mimpi buruk itu dan kita akan berangkat dua puluh menit dari sekarang.”

“Kau seperti ibuku saja ….”

“Aku tidak mengenal ibumu.”

Mereka tertawa bersama.

“Hei, aku bahkan bertemu keturunan terakhirku,” seru Stephen lagi.

“Seharusnya itu mimpi yang menyenangkan.”

“Mereka serupa mobil tua yang siap diremuk dan dilebur menjadi bubur logam.”

Dua puluh menit kemudian, di Oxford Union, Stephen memprediksi kiamat seribu tahun lagi. Bumi akan sekarat lebih cepat.

“Bumi akan meledak,” katanya.

Sejak itu, bayangan kiamat selalu menghantuinya meski pikiran Stephen yang telah dikendalikan kecerdasan artifisial tidak pernah dapat percaya adanya Tuhan. ***

.

.

Catatan:

[1] The God Particle: If the Universe is the Answer, What is the Question, Leon M Lederman, 1993.

.

.

Pemenang I Sayembara Cerpen Media Indonesia 2022.

.

Ignoramus. Ignoramus. Ignoramus. Ignoramus. Ignoramus. Ignoramus. Ignoramus.

Loading

Average rating 3.9 / 5. Vote count: 16

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!