Cerpen, Radar Kediri, Syafi’ah

Tak Ada yang Lebih Hangat…. *)

Tak Ada yang Lebih Hangat dari Hujan Bulan Rabiul Awal - Cerpen Syafi’ah

Tak Ada yang Lebih Hangat dari Hujan Bulan Rabiul Awal ilustrasi Afrizal Saiful Mahbub/Radar Kediri

4
(1)

Cerpen Syafi’ah (Radar Kediri, 20 November 2022)

HUJAN bulan Rabiul Awal menghangatkan perbincangan kami. Pada mulanya kupikir Armstrong adalah perempuan yang sulit dipahami. Bagaimana tidak?

Dalam taman pengetahuannya yang bernama Sejarah Tuhan: Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia, aku harus menghabiskan waktu selama 6 bulan untuk menggali halaman demi halaman. Armstrong begitu rumit. Lebih tepatnya, aku yang terlalu bodoh untuk memahami Armstrong dan Sejarah Tuhan-nya.

Tapi Armstrong kali ini berbeda. Beberapa kali aku dibawa mengelilingi taman Sejarah Muhammad, Biografi Sang Nabi, kalimat-kalimat Armstrong lumayan dapat tertampung di gumpalan lunak dalam kepalaku. Seperti sore ini misalnya, pada halaman-halam terakhir Sejarah Muhammad, Biografi Sang Nabi, Armstrong memberikanku dua tangkai bunga mawar. Tangkai pertama adalah ajaran Nabi berupa teologis transenden, dan tangkai kedua adalah ajaran Nabi berupa sosiologis humanitas.

“Jadi, Armstrong, jika umat Islam benar-benar menghayati apa yang dibawa oleh Nabinya, tidak akan ada ceritanya seorang tetangga kelaparan sementara dirinya berkali-kali naik haji? Tidak akan ada orang yang pakaiannya lusuh di tengah-tengah euforia gamis dan jubah syar’i dengan harga ratusan ribu? Mungkin juga seorang profesor tidak hanya menyekolahkan anaknya, tapi juga menyekolahkan anak tukang kebunnya.”

Karen Armstrong tersenyum.

“Kurangi nada bicaramu. Kau terlau sarkas, Syaf. Nanti kalau tetanggamu yang berkali-kali naik haji, atau temanmu yang belum merasa syar’i jika jubahnya belum ratusan ribu, atau orang lewat yang kebetulan profesor mendengar perkataanmu bagaimana? Kau bisa dirajam.”

“Baik, baik. Kita lanjutkan perihal ajaran Nabi Muhammad.” Ucapku antusias.

Armstrong terkekeh. Sorot matanya menerawang jauh. Menerobos rinai hujan yang turun semakin deras.

Baca juga  Kisah Sebuah Celana Pendek

“Tepat hari ini, 12 Rabiul Awal adalah hari pengulangan kelahiran Sang Nabi. Tapi Arab pada waktu kelahiran Sang Nabi adalah Arab abad ke-7. Arab dengan peradaban yang maju di mana pertumbuhan ekonomi sangat pesat.”

“Sebentar…. Sebentar. Jadi, ketika Nabi Muhammad lahir, Arab itu bukan sebuah negeri padang pasir yang tandus, miskin, dan jauh dari peradaban?”

Armstrong menatapku.

“Kau terbawa asumsi mainstream. Ingat, kau bukan lagi anak TK yang cara belajarnya hanya dengan manggut-manggut mendengar apa yang dikatakan gurunya. Kau harus bergumul dengan kebenaran itu sendiri dan jangan puas dengan jawaban yang konvensional, bangunlah kemandirian intelektual. Guru itu memang menuntunmu, mengarahkanmu. Guru itu memang mercusuar, kompas, dan bintang selatan, tapi bukankah yang memegang kemudi kapal adalah dirimu sendiri?”

Belum selesai otakku mengunyah kalimatnya, ia kembali melanjutkan kisah tentang Nabi Muhammad.

“Hanya saja, sangat disayangkan, pertumbuhan ekonomi yang mengalami kemajuan pesat itu justru menjerumuskan mereka dalam sistem yang menenggelamkan masyarakat marjinal dalam kubangan kemiskinan. Praktek riba dan menimbun barang menggambarkan kebobrokan sistem ekonomi tersebut. Praktek ini banyak menciptakan berbagai permasalahan sosial. Dari kebobrokan kemanusiaan inilah Sang Nabi lahir untuk melakukan reformasi sosial di samping menumbuhkan dan menanamkan konsep tauhid yang menjadi landasan spiritual umat islam untuk mewujudkan integritas personal.”

Teruskan, Armstrong. Mataku berbinar-binar. Napasku naik turun. Dadaku seperti dialiri air telaga Salsabila. Aku seperti masuk surga sebelum ajal tiba. Aku tiba pada puncak orgasme intelektual.

“Permasalahan serius yang lain adalah sistem masyarakat Arab yang melegalkan perbudakan. Sebuah sistem yang mereduksi peran manusia dalam mewujudkan kualitas kemanusiaannya.”

“Sang Nabi lahir membawa risalah guna mendekontruksi sekaligus merekontruksi tatanan sosial masyarakat Arab tersebut. Risalah yang dibawa Sang Nabi tidak semata-mata ajaran yang bersifat teologis transenden, tapi juga ajaran yang bersifat sosiologis humanitas untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang egaliter dan berkeadilan sosial. Oleh karena itulah perintah memerdekakan budak sebagai tebusan ketika melakukan pelanggaran agama dimaksudkan untuk menghilangkan praktek perbudakan. Demikian juga mengeluarkan zakat, sedekah, maupun larangan untuk menimbun barang diperintahkan dengan maksud agar distribusi kekayaan dapat merata bagi seluruh anggota masyarakat sehingga mampu menutup jurang antara si kaya dan si miskin.”

Baca juga  Ikan yang Menyembul dari Mata

“Kemudian, Armstrong, apakah ajaran teologis transenden itu hanya ritual-ritual agama yang kering, yang terpenjara dalam kungkungan simbol dan formalisme yang dangkal? Bukankah fenomena seperti itu yang dapat kita saksikan saat ini?” Selaku.

Armstrong menarik napas perlahan.

“Tentu saja tidak, Syaf. Fenomena yang terjadi saat ini hanyalah penafsiran orang-orang atas agama, bukan agama itu sendiri. Tidakkah kau lihat bagaimana ajaran tauhid itu menjadi tameng menangkis serangan kaum kafir Quraisy ketika mereka menawarkan uang dan jabatan kepada Sang Nabi untuk ditukarkan dengan Islam? Sang Nabi adalah sosok yang sangat taat beribadah sekaligus sangat dermawan kepada fakir miskin. Sang Nabi tidak menyukai kemewahan, ketika menerima hadiah atau harta rampasan, beliau memberikannya kepada kaum fakir miskin.”

Belum tuntas perbincangan kami, sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang, dan tiba-tiba saja Karen Armstrong hilang dari pandanganku. Kuperhatikan sekeliling dengan seksama. Buku Sejarah Muhammad, Biografi Sang Nabi berada dalam dekapanku. Kulihat santriwati berlalu lalang mengantri berwudhu. Sepersekian detik kesadaranku kembali. Aku tertidur setelah membaca buku Sejarah Muhammad, Biografi Sang Nabi, dan aku bermimpi berbincang-bincang dengan Karen Armstrong, penulis buku tersebut.

Aku tersenyum dan kukecup buku itu. Hujan bulan Rabiul Awal mereda.

“12 Rabiul Awal, maulid Nabi.” Gumamku. ***

.

.

Catatan:

Judul lengkap cerpen ini adalah Tak Ada yang Lebih Hangat dari Hujan Bulan Rabiul Awal

.

Kwagean, 12 Rabiul Awal 1444 H

Penulis bernama Syafi’ah, berdomisili di Kediri. Bercita-cita menjadi Filsuf tapi gagal. Bermimpi menjadi Sufi tapi keburu kebangun. Akhirnya jadi orang biasa-biasa saja.

Tak Ada yang Lebih Hangat dari Hujan Bulan Rabiul Awal. 

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!