Cerpen Irene Teng Siat Hwa (Pontianak Post, 20 November 2022)
MENANG adalah candu. Tak ubahnya narkotika. Satu kali menang mungkin keberuntungan. Dua kali menang adalah takdir. Tapi tiga kali menang merupakan kepuasan yang menciptakan kehausan.
Ia sudah tiga puluh empat kali menang. Dan ia harus terus menang. Di sekolah ia boleh jadi pecundang. Boleh jadi yang paling dungu. Boleh jadi yang paling belakang. Tapi di balap mobil, ia adalah pemenang, penguasa.
Bukan, bukan balap di sirkuit megah mewah, meskipun ia punya angan jadi orang yang berdiri di podium nomor satu, mengguncangkan botol sampanye dengan sebelah tangan seraya memeluk pinggang perempuan (entah siapalah nanti, yang pasti perempuan berdada penuh dan berparas menawan).
Tapi itu nanti. Untuk saat ini ia memang baru merajai balap-balap liar di tengah malam buta. Yang seringkali harus tercerai-berai tunggang-langgang dikejar patroli polisi.
Sebagai pemenang, ia mendapatkan banyak uang, juga pengikut. Dan perempuan. Perempuan makhluk aneh. Sungguh.
Apabila kau orang kaya, walaupun mukamu buruk, banyak perempuan akan mau jadi pacarmu. Kalau kau lelaki tampan, walaupun kau miskin, banyak perempuan yang akan mengangkang dengan suka rela. Tapi kalau kau bukan lelaki tampan dan bukan orang kaya, satu-satunya cara untuk mendapatkan perempuan yang bukan bayaran adalah dengan jadi pemenang. Penguasa.
Perempuan dengan bentuk apa yang belum pernah ia rasakan? Dari siswi SMP yang malu-malu, mahasiswi kurus berbulu ketiak lebat, hingga tante umur empat puluh sembilan tahun dengan keriput di ujung mata. Rasa tiap-tiap perempuan itu berbeda. Namun semuanya nikmat. Semuanya lezat. Teriakan-teriakan dan sentakan-sentakan ekstasi yang mereka ciptakan adalah madu yang hanya bisa ia dapatkan dengan menang.
Tiap malam Jumat atau malam Selasa, ia akan menginap di rumah sahabat dekatnya. Mengaku mengerjakan tugas atau apa pun kebohongan yang dapat ia ciptakan. Walaupun sejatinya ia akan berada di balik setir.
Memegang kemudi membuat ia merasa berkuasa. Debaran jantung yang digeber adrenalin tatkala berhasil menyalip mobil drifter lain di tikungan, sungguh jauh lebih nikmat daripada sensasi orgasme di percintaan paling gila sekalipun.
Kemenangan demi kemenangan telah membuat dirinya cukup berkelimpahan uang, meskipun harus dibagi dengan pemilik mobil yang ia gunakan. Lima belas minggu berturut-turut ia tidak pernah kalah. Anehnya itu justru membuat pemilik mobil was-was. Akhir-akhir ini ia mulai bosan dengan para pemilik mobil yang ingin menaikkan tarif sewa mobil mereka.
“Sorry, lu ngedrift kayak setan. Gue minta naikin lagi dikit. Cengli!”
Itulah kendalanya. Pembalap mobil tanpa mobil. Sebulan lalu ia memberanikan diri meminta mobil kepada ibunya. Tak perlu baru. Mobil bekas pun cukup. Ia tahu siapa-siapa orang yang sedang butuh uang dan bersedia menjual mobil drift mereka dengan harga murah. Ia pun punya sedikit tabungan untuk menambahi apabila uang ibunya tidak cukup.
“Beli mobil bekas? Buat apa? Mobil yang sekarang masih bagus!”
Ia hanya menunduk. Mobilnya cuma seribu dua ratus cc. Mobil perempuan. Mobil bebek. Ia perlu mobil dengan cc setidaknya tiga ribu lima ratus untuk bisa terus menang.
Karena percuma meminta kepada ibunya, maka ia meminta kepada ayahnya. Tapi lelaki itu pun menolaknya. Jadi ia harus bersabar, seraya diam-diam berharap ayahnya lekas mampus agar ia bisa memakai mobil lelaki itu. Sebuah sedan sport empat ribu tiga ratus sembilan puluh lima cc yang dapat melesat sejauh seratus meter hanya dalam hitungan detik.
Malam demi malam Jumat (atau Selasa) ia lalui. Memupuk harapan. Lalu pada suatu ketika, ponselnya berbunyi ketika ia tengah bersiap akan berlaga di sirkuit.
“Kamu di mana? Cepet pulang. Papi sakit lagi. Ini Mami mau ke RS Medika Raya Kasih.”
Ia hanya berjarak lima kilometer dari rumah. Hanya lima menit bila ia mau. Tapi ia tidak ingin pulang.
“Ya.” Ia berdusta.
Ia mengenakan jaket, mengecup lembut kekasihnya malam itu, lalu pergi.
Ketika ia sampai di rumahnya beberapa jam kemudian, halaman telah dipenuhi karangan bunga. Ibunya meratap di sisi tubuh yang tertutup selembar kain putih panjang. Rupanya peti belum ada. Diliriknya tubuh yang terbujur itu. Ia tidak mau membuka kain untuk melihat. Ia hafal bentuk muka dan semua lekuk serta gelambirnya.
Laki-laki makhluk aneh. Sungguh. Tak peduli kau berwajah buruk rupa, laki-laki bisa menidurimu dengan suka cita, apabila hanya kau korban yang ada di dekatnya. Tak peduli kau anak kecil berusia delapan tahun yang sudah disuruh memanggilnya bapak, ayah atau papi. Tak peduli kau meronta, menjerit, atau menangis. Selama kau tak berdaya, dia akan memangsamu tanpa ragu.
Tapi lebih aneh lagi, di atas segalanya, adalah perempuan yang membutakan mata dan menulikan telinga walaupun anaknya dimangsa. Sebab takut menjanda untuk yang kedua kalinya, lalu jadi miskin kekurangan uang.
“Kenapa kamu nggak pulang cepat, Des? Papimu meninggal, kamu malah nggak ada!” sergah ibunya bengis, tiba-tiba mendapat tempat untuk melampiaskan amarah dan rasa frustrasi.
Ia duduk di samping ibunya. Memasang ekspresi sedih dan bersimpati. “Maaf, Mi. Mobil Deasy mogok. Deasy mau nelepon Mami tapi hape ketinggalan di rumah Lani.”
Ibunya terisak. “Kasihan papimu. Tadi Pak Jaja sudah ngebut, tapi ada mobil yang menghalangi. Tiap kali Pak Jaja mau menyalip, mobil itu nggak mau ngasih jalan. Pasti sengaja! Padahal Pak Jaja udah pakai lampu hazard, juga udah klakson terus-terusan. Pasti anak balap liar! Nggak mikirin orang lain!” Ibunya kembali terisak. “Begitu sampai di rumah sakit, Papi nggak ketolong lagi.” Ibunya meraung, “Dasar setaan!”
Ia menunduk. Mulai malam Jumat depan, ia tak akan perlu membagi hasil drifting. Ia akan memakai mobil sport papinya. Ia menahan senyum. ***
.
Balap.
Leave a Reply