Cerpen Dody Widianto (Haluan, 20 November 2022)
SEPERTI kupu-kupu, Tuhan menakdirkanku hanya hidup dalam seminggu. Bukan tanpa sebab malaikat-malaikat itu menjemputku lebih awal. Tuhan punya alasan lain yang lebih Dia tahu. Atas nama kemanusiaan juga rasa iba aku dijemput lebih dahulu sebelum aku tahu apa itu dosa, apa itu hitam dan putih, dan bagaimana memanggil juga dengan bahasa apa aku mengadu pada ayah dan ibu.
Aku hanya bisa menangis saat meminta susu, saat kencing di dada ibu atau buang air besar di lengan ayah. Itulah bahasaku, meminta semua yang kumau hanya dengan rengekan. Saat kakiku menendang-nendang semua yang ada di samping juga di depan, jemari tanganku mengepal kaku, lalu tangis pecah sampai ke sudut-sudut pintu, dan anehnya ibu dan ayahku malah tersenyum geli melihatku. Mereka tahu aku sedang haus dan lapar, tetapi ayah malah terus menggelitik pinggang. Ibu paham dan tak butuh waktu lama sampai benda itu menyumpal mulut dan bunyi kecap keluar dari bibir mungilku. Selanjutnya jemari tangan yang kaku mulai merenggang, lalu aku berkata dalam tidur, “Aku sudah kenyang ibu.”
Sembilan bulan lalu aku hanyalah sebuah kecebong kecil yang berlarian dalam kantung firman Tuhan yang bercahaya. Lembut dan pekat namun begitu kuat. Bersama kecebong yang lainnya dalam jutaan teman-temanku, dalam lomba lari itu, aku jadi pemenangnya. Cukup bangga mengingat Tuhan serta malaikat Mikail juga Izrail turut hadir dan menyaksikan dalam pertandingan itu.
Selanjutnya, untuk pertama kalinya, sebagai pemenang aku menandatangani perjanjian dalam sebuah kertas putih tanpa isi dan Tuhanku berkata, “Jalan hidupmu telah aku tulis dalam Lauhul Mahfuz, tidak ada keraguan di dalamnya. Semuanya pasti. Tentang rezeki, jodoh, hidup, dan mati semua telah tercantum di sana. Berjanjilah untuk selalu menyembah-Ku dan terus mencari jalan kebenaran. Aku merelakanmu hadir di dunia. Setelah ini, aku pasrahkan semua jalan kehidupanmu pada orangtuamu. Kertas perjanjian itu tanggung jawab orangtuamu yang mengisinya. Dan ingatlah jikalau Aku selalu menyertaimu.”
Pada akhirnya, aku kemudian menempel pada dinding lembut namun begitu kokoh. Mereka menyebutnya rahim. Saat itu, dalam beberapa hari kemudian, aku lebih sering bercakap-cakap dengan malaikat Mikail juga Izrail. Dalam gelap, mereka berhasil membuaiku juga mendoakanku agar aku tak kedinginan yang dalam waktu lama terus berendam dalam kantung bejana besar berisi air.
“Apa dunia itu indah? Seperti apa di sana?”
“Semuanya ada seperti apa yang kau minta, hanya saja semua tergantung dari kerja keras orangtuamu. Mereka pasti sangat menantikan kehadiranmu.”
“Kata Tuhanku, di dunia juga diisi tangis, dendam, dan kebencian apa itu benar?”
“Ya, tetapi semua kembali kepada kita. Itu semua ada bukan tanpa alasan. Dan mencari jalan kebenaran adalah jawaban.”
“Sebenarnya aku merasa nyaman di sini. Tetapi Tuhanku berkata jika waktunya telah tiba aku harus keluar dan lahir ke dunia. Orangtuaku selalu menantikan kehadiranku. Apa itu benar?”
“Ya, berjanjilah untuk selalu patuh pada Tuhanmu, sampai Tuhan menyuruhku menjemputmu kembali.”
Jauh sebelum itu, sembilan bulan yang lalu aku tak bisa menutup mata dan melihat langsung pemandangan itu. Setelah memulai berjanji untuk selalu bersama dalam perjalanan panjang melestarikan keturunan, aku bisa mendengar mereka tertawa, bertengkar, lalu menangis bersama, semuanya ada di depan mata. Sore itu, saat pintu kamar mandi terbuka, ayah baru pulang kerja dan ibu ada di dalamnya. Selanjutnya hanya terdengar suara lenguhan yang tertahan dan dengus napas yang memburu lalu menyatu. Sampai waktu berlalu hingga ada rona kebahagiaan di wajah ibu. Ayahku sedikit mengerutkan dahi mendengarnya.
“Mas, aku hamil.”
Kata-kata itu membuat mereka begitu bahagia. Ada rona semangat membara di wajah ayahku. Itu artinya ia akan lebih giat bekerja demi memenuhi semua kebutuhanku. Dan dalam pelukannya, ia perlahan turun mencium perut ibuku.
“Aku menyayangimu. Semoga keberkahan selalu menyertaimu, Nak.”
Aku datang ke dunia bersama berita kebakaran hutan yang disiarkan langsung dalam salah satu saluran televisi lokal. Tetapi, suara itu, berita itu, seakan tak dipedulikan karena suara tangisanku yang pertama lebih berharga. Di mata mereka, dokter dan perawat yang membantu ibuku, geliat dan erangan lemahku lebih membuat mereka terharu daripada berita di televisi yang dianggap angin lalu dan biasa saja. Walau sebenarnya ada yang harus diperhatikan di sana, ada banyak hewan dan beragam jenis pohon yang mati di dalamnya. Harimau, burung, ular, kumbang, kera, tupai, bahkan sampai semut dan rayap banyak yang kehilangan tempat tinggal.
Setelah api membakar dan melelehkan semua, asap terus saja mengepul membubung tinggi ke angkasa melewati lembah dan lautan sampai negeri tetangga. Mencipta kabut pekat yang menutupi segalanya. Semua menganggap sudah semestinya tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab.
Kabut itu, asap yang terus mengepul dan mencekik penghuni rumah-rumah warga di sekitar hutan membuat malapetaka yang tak pernah berakhir. Rumah sakit kembali penuh sesak. Beberapa orang terkena ISPA. Sekolah dan kantor diliburkan. Mobilitas warga tersendat. Dan masyarakat tak tahu harus berbuat apa. Tentu bukan perkara mudah memadamkan lautan kabut dan api dalam cakupan ribuan hektar lahan.
“Aku paham Engkau Maha Tahu segalanya. Akan tetapi aku seakan tak rela mengambil kembali anak ini ke pangkuan-Mu. Anak ini begitu didambakan sejak dulu oleh orangtuanya. Maafkan aku, bukan aku tak mau mematuhi perintah-Mu.”
“Izrail, Aku lebih tahu dari apa yang tak kamu ketahui. Negeri yang kucipta berwana hijau, biru, dan abu-abu. Kekayaan meliputi segala penjuru. Tetapi jika manusia-manusia di dalamnya tak peduli bagaimana cara menjaganya, untuk apa? Untuk apa itu semua Aku berikan? Bukan tak mungkin akan menjadi percuma. Aku lebih menyayangi bayi itu sehingga Aku ingin mengambilnya kembali. Aku tak ingin dia terus tersiksa karena asap.”
“Maafkan aku, Maha Benar Engkau Tuhanku. Aku mengerti.”
Aku tak tahu, untuk apa selang-selang ini. Aku merasa hidungku masih berfungsi walau aku merasa ada sedikit sesak di dada. Di depan sana, dua wajah yang sangat kukenali itu terlihat bersedih. Kerutan di dahi ayah makin tampak. Ia terlihat murung.
Entahlah apa yang dipikirkannya, aku masih bisa melihat dan mendengar pembicaraan mereka. Tak usah bersedih ibu, ayah, aku tak apa-apa. Bahkan malaikat Izrail terus mengajakku bercanda. Dan hari ini, tepat tujuh hari aku keluar dari perut ibuku. Kata mereka, ayah sudah menyiapkan nama yang indah untukku.
“Dia masih bisa diselamatkan bukan? Cuma dia harapan satu-satunya pewaris keturunan kami. Rahimku divonis bermasalah. Aku benar-benar mengharapakan bantuanmu, Dok,” suara gemetar menyusup ke sela-sela seprai putih dan merambat lewat lubang selang yang panjang.
Ayah, ibu, kenapa kau begitu khawatir padaku. Aku tak apa-apa. Lihat, aku digendong di punggung di atas sayap yang lembut. Aku tak tahu akan dibawa ke mana. Tetapi mereka bilang aku akan ditempatkan di tempat yang lebih aman dan tidak menyiksaku. Aku tak apa-apa. Aku senang bersama mereka. Dan bersama asap dan kabut-kabut itu aku diantar ke tempat indah dengan mainan gantung dan bola warna-warni di sana. Aku sebenarnya tak mau ikut mereka, tetapi mereka terus memaksaku. Dan saat aku berkata, “Kenapa ayah dan ibuku tak diajak ke sini?”
“Belum waktunya,” begitu jawab mereka.
***
“Bagaimana Dok?”
Tak ada jawab, hanya gelengan pelan.
“Maksud dokter?”
“Terlalu banyak karbondioksida. Paru-parunya masih lemah, aku sudah berusaha tetapi ini jawaban terbaik yang diberikan Tuhan.”
“Maksud dokter?”
Di luar ruangan, kabut pekat terus saja mengendap-endap mendekat dari Kampar menuju Padang Panjang. ***
.
.
Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional, seperti Koran Tempo, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dan lain-lain.
.
Kabut Akhirat. Kabut Akhirat. Kabut Akhirat. Kabut Akhirat. Kabut Akhirat.
Leave a Reply