Cerpen Kak Ian (Radar Mojokerto, 20 November 2022)
SUDAH lima tahun Mansur tidak balik ke kampung halamannya, semenjak ia merantau di ibukota. Tiga tahun karena belum mencukupi uang untuk pulang. Sedangkan dua tahunnya lagi karena terbentur oleh pandemi. Jadi sudah lima tahun ia tidak bisa kembali ke Kampung Muaro Labuah [1]. Tempat di mana ia tinggal bersama Apak [2], Amak [3], dan Uda [4] Yusuf, semasa ia kice [5] dulu.
Mansur ingin sekali menemui mereka di sana. Tapi apa boleh buat keadaanlah yang memaksa ia tidak bisa pulang ke kampung halaman. Saat itu ia lagi termenung di kursi tunggu untuk para pemilik roda dua dan empat, ketika sedang menunggu kendaraan mereka dicuci.
Mansur saat itu bekerja sebagai pencuci steam kendaraan baik beroda dua maupun empat. Ia sudah cukup lama bekerja di tempat itu. Itu pun tanpa disengaja saat ia tiba di ibukota lalu ingin mengisi perutnya yang keroncongan di warung makan. Tanpa sengaja netranya melihat iklan lowongan sebagai pencuci kendaraan. Iklan itu menempel di tiang listrik. Seusai kantung perutnya sudah terpenuhi ia pun bergegas menuju alamat lowongan itu berada.
Setiba di tempat yang dituju tanpa banyak tanya-tanya oleh bos pemilik cucian steam kendaraan, Mansur pun langsung diterima di tempat itu sampai sekarang. Apalagi ia tidak perlu mengontrak atau pun kos. Ia pun sudah disediakan tempat tinggal—dan sangat beruntung sekali saat itu dirinya. Lagi pula siapa yang mau menerima perantauan macam dirinya yang hanya tamatan SMA tanpa pengalaman. Masih bersyukur ia diterima bekerja di tempat itu sebagai pencuci steam kendaraan.
***
Mansur teringat ketika ia ingin merantau ke ibukota untuk mencari pekerjaan yang bisa menunjang kehidupan dirinya. Syukur-syukur bisa menaikkan perekonomian keluarga. Terlebih ia sudah bertekad untuk pergi ke ibukota apa pun yang terjadi. Walaupun Amak dan Apak sudah melarang dirinya untuk merantau. Sedangkan Uda Yusuf sendiri tidak bisa mencegah, karena Mansur sudah dewasa, tidak perlu lagi diberitahukan apalagi dinasehati. Padahal Apak dan Amak sudah mewariskan Mansur dan Uda Yusuf sebidang kebun pisang, ladang pohon kelapa serta sepetak sawah bahkan sampai rumah sebagai warisan untuk mereka bila kedua orang tua itu mengembuskan nafas terakhir.
Namun tekad Mansur begitu kuat untuk merantau. Akhirnya ia meninggalkan Apak, Amak dan Uda Yusuf di kampung. Walaupun kepergiannya merantau dibersamai dengan derai tangisan Amak dan Apak akhirnya mengikhlaskan juga dirinya untuk pergi merantau.
Tapi sebelum Mansur melangkah jauh meninggalkan mereka berdua. Amak diam-diam sudah memberikan sejumlah uang yang cukup banyak hasil dari simpanan untuk nanti Mansur menikah. Uang itu Amak selipkan di bagian dinding kulit tas yang digunakan Mansur ke ibukota. Amak menaruhnya sangat dalam tanpa diketahui Mansur.
Mansur yang mengingat hal itu mendadak matanya gerimis hingga mengalir di pipi tirusnya. Namun ia mencoba membendungnya agar tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Apalagi itu sesama rekan kerja sebagai pencuci kendaraan. Ia tidak ingin sampai diketahui.
Namun diamnya Mansur saat di bangku tunggu yang dikhususkan untuk para pemilik kendaraan, mencuri perhatian Rizal rekan kerjanya. Rizal pun menghampiri Mansur. Rizal khawatir jika rekannya itu ketepelan bila didiamkan saja. Begitu menurut Rizal. Akhirnya Rizal pun mendekati Mansur.
“Sejak tadi kulihat kamu melamun saja, Sur? Lagi memikirkan untuk pulang kampung ya?” Rizal tetiba menepuk pundak Mansur.
Mansur terkesiap. Ia terkejut. Kepalanya langsung menoleh ke belakang. Ternyata itu tangan Rizal yang membuyarkan lamunan Mansur.
“Eh, kamu, Zal!” pungkas Mansur. “Iya aku lagi memikirkan apakah aku tahun ini bisa pulang ke Muaro Labuah atau tidak! Apalagi kakak laki-lakiku di kampung akan menikah tahun ini,” lanjutnya.
“Lalu apa yang kau pikirkan?” Rizal mencoba menebak pikiran Mansur.
“Uangku belum cukup untuk kembali pulang, Zal!” tukas Mansur. “Lagi pula jika kupulang tidak mungkin aku lenggang pinggang, tidak membawa apa pun untuk Bapak, Ibu dan kakakku yang akan menikah tahun ini,” lanjutnya.
Rizal pun terdiam sejenak. Ia tahu apa yang dirasakan Mansur. Akhirnya melihat keadaan Mansur yang begitu rindu pada kampung halamannya ia pun menjadi empati. Ia mencoba ingin meminjamkan uang hasil mengumpulkan dari gajiannya itu.
“Nanti kau ke kamarku ya, Sur. Aku ingin membantu kamu,” tawar Rizal.
Namun belum sempat Mansur mengiyakan tetiba ada suara seseorang memanggil dirinya. Jika ada pelanggan masuk yang ingin mencuci mobilnya. Ia pun langsung menghampiri suara itu. Tapi sebelum menuju ke tempat mencuci kendaraan ia membalas ucapan Rizal.
“Iya, nanti malam aku ke kamarmu! Sebelumnya terima kasih aku ucapkan. Baiklah aku kerja dulu ya.”
Setelah itu Mansur meninggalkan Rizal—dan di sudut mulut Rizal menampakkan pelangi terbalik. Rizal akhirnya tersenyum untuk rekan kerjanya itu, karena ia bisa membantu Mansur yang sudah lima tahun tidak pulang ke kampung halamannya.
***
Di malam harinya, seusai menunaikan salat isya di musala terdekat di mana Mansur bekerja sebagai pencuci steam kendaraan. Ia pun ingin menghampiri Rizal yang sejak tadi menunggu kehadirannya. Namun sebelum menemui Rizal terlebih dulu ia merapikan kamarnya dan memilih-milih pakaian untuk dipakai ke kampung halaman nanti. Tidak lupa ia memasukan talakuang [6] dan kain saruang [7] yang ia sudah beli di mall terdekat sebagai buah tangan Apak, Amak dan juga untuk Uda Yusuf ke dalam tas miliknya. Semua itu ia beli beberapa hari lalu seorang diri.
Namun disaat Mansur ingin memasukkannya ia melihat keganjilan di dalam tas besar miliknya. Merasa heran dan ada hal yang mencurigakan di balik tasnya itu ia pun membongkar lagi segala perlengkapan dan buah tangan yang sudah rapi ditatanya. Mencoba ingin mengetahui benda apa yang di dalam tasnya.
Dengan rasa penasaran yang amat dalam Mansur pun akhirnya membuka benda yang terselip di dalam tas besar miliknya itu. Sangat hati-hati ia pun mengambil benda itu. Setelah mengambil benda itu kemudian dibukalah.
Dan…, astaga Mansur terkejut jika di dalam benda yang terbungkus amplop coklat yang ia dapatkan di dalam tas miliknya adalah uang. Tapi ia tidak tahu uang siapakah itu.
Uang Rizal? Apakah mungkin ia langsung menaruh di dalam tas milikku? Pikir Mansur.
Tapi itu tidak mungkin Rizal yang melakukannya. Apalagi saat Mansur tengah salat isya kamarnya masih terkunci rapat hingga saat pulang pun tetap masih sama dalam posisinya. Tidak ada hal yang patut dicurigakan bila ada orang yang masuk ke kamarnya. Akhirnya, Mansur tidak lagi memikirkan uang itu milik siapa? Baginya mungkin itu rezeki nomplok dengan uang itu ia bisa pulang kampung. Ia bisa menemui Apak, Amak dan bisa melihat Uda Yusuf melepas lajang saat pulang nanti.
Akhirnya ia jadi tidak sabar untuk mereka. Bukan itu saja ia ingin esok segera berganti hari dan bisa membunuh rasa rindunya pada Apak, Amak dan Uda Yusuf di kampung. Ia makin merindukkannya.
Seusai Mansur menemukan rezeki yang tak disangka-sangka itu, ia pun dengan semangat kembali membereskan perlengkapan dan buah tangan untuk ia bawa nanti ke kampung halaman. Namun ia tidak menyadari jika ada secarik kertas terjatuh saat ia membongkar kembali tas besar miliknya itu.
Dan secarik kertas itu bertuliskan. PAKAILAH PITIH [8] INI JIKA KAMU MEMERLUKAN DI SAAT BERADA DI PERANTAUANMU ANAK BUJANG [9] AMAK. ***
.
.
Keterangan:
[1] Muaro Labuah: Muaro Labuah atau dikenal Muara Labuh adalah sebuah nagari di Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatra Barat.
[2] Apak: Panggilan untuk Ayah.
[3] Amak: Panggilan untuk Ibu.
[4] Uda: Panggilan untuk kakak laki-laki
[5] Kice: Kecil.
[6] Talakuang: Mukena.
[7] Kain saruang: Kain sarung
[8] Pitih: Uang
[9] Bujang: Sebutan anak laki-laki
.
.
KAK IAN. Penulis, aktifis anak dan penikmat sastra. Bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya sudah termaktub di Koran Tempo, Kompas Minggu Nusantara Bertutur, Solopos, Suara Merdeka, Merapi, Padang Ekspres, Haluan, Singgalang, Radar Surabaya, Radar Banyuwangi, Radar Bromo, Radar Madiun, Analisa, Sinar Indonesia Baru, Fajar, Riau Pos, Pontianak Post, Medan Pos, Malang Post, Majalah Balai Bahasa Lampung Kelasa, Majalah Anak Utusan, Majalah Ummi, Majalah Anak Kiddo, dll. Karya terakhirnya, Kumpulan Cerita Remaja: Malaikat yang Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama. Penerbit Mecca, Desember 2019.” Kumpulan Cerpen: Hikayat Kota Lockdown, Penerbit Sinar Pena Amala, Agustus 2020.
.
Mansur Ingin Pulang. Mansur Ingin Pulang. Mansur Ingin Pulang. Mansur Ingin Pulang.
Leave a Reply