Cerpen, Suara Merdeka, Sule Subaweh

Frame Kematian

Frame Kematian - Cerpen Sule Subaweh

Frame Kematian ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka

0
(0)

Cerpen Sule Subaweh (Suara Merdeka, 20 November 2022)

TEMPIAS air Sungai Selopamioro yang mengular mengenai wajah Arif yang murung dan keruh. Aku tahu ia sedang tidak konsentrasi, bahkan keberadaan gadis jelita yang akan dijadikan model produk usaha yang kurintis tak mampu membuatnya berpaling dari kabar kematian.

Pandangan Arif terbelah dua, antara kamera dan layar ponsel. Berkali-kali kaki Arif gemetar saat membidik senyum gadis jelita yang berdiri tepat di samping pancaran cahaya matahari di tepi Sungai Selopamioro. Aku tahu lensanya gagal fokus. Tapi naifnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa atas guncangan yang dialami Arif. Aku hanya fokus pada waktu yang terasa bergerak tergesah-gesa.

Arif meminta model perempuan yang masih memegang produk kecantikan untuk istirahat. “Aku gagal fokus, Hamid, ais!” Awan tebal berarak, kesiur angin menerbangkan aroma tak sedap dari Sungai Selopamioro.

“Banyak janji yang belum sempat kutepati,” keluhnya kemudian.

“Janji?” aku yang sedari awal pemotretan lebih memilih diam melihat tingkah gelisah Arif, sontak bertanya. Arif menggeleng-gelengkan kepala.

Aku tahu, Arif sering mengabaikan janji. Sungai Selopamioro yang sunyi memutar ingatanku pada kebiasaan-kebiasaan yang mengalir konyol, nongkrong tak jelas, bermain game yang tak pernah ada habisnya dan kekonyolan lainnya. Janji untuk mengembangkan usaha tenggelam. Uang dan waktu orang tuaku habis. Kini, janji itu terus menagih.

“Ini adalah kesempatan terakhirmu.” Pesan Bapak tempo hari.

“Kali ini harus ada hasil. Pemotretan ini akan menjadi titik pemulihan kepercayaan Bapak kepadaku, Rif.” Arif bertambah murung, mendung di matanya menggantung.

Arif tidak akan melihat Hamid untuk yang terakhir. Bukan karena jarak kami yang jauh dari rumah Hamid tapi janji untuk menghasilkan foto bagus telah mengikatnya. Kami belum mendapatkan frame yang diinginkan, sedangkan matahari akan segera jatuh tapi Arif tampak tidak peduli.

“Baru tadi pagi dia struk. Siang koma, sore meninggal.” Suara Arif gemetar. Napasnya belum stabil setelah jungkir-balik mencari sudut yang enak dipandang untuk dipotret.

“Beberapa hari lalu kami masih berbincang di warung Mak Parmi. Meneguk segelas kopi pagi, seperti biasa. Hamid tidak pernah mengeluh dan hanya bicara seperlunya.” Kenangnya.

Baca juga  Rumah Belakang

Arif beranjak dari tempat duduk lalu meraih kamera yang sudah dipasang tele 70-200. Dia meminta gadis jelita itu untuk berfose. Tapi setelah beberapa jepretan, tangannya gemetar lagi. Lantas dia membanting tangannya, seperti memukul angin.

“Istirahat saja dulu. Jangan dipaksakan, Rif,” pintaku.

Cahaya matahari di ambang petang pelan-pelan turun mengiringi kesedihannya yang diam-diam memudarkan gairah untuk memotret. Senyum model kami tampak lelah. Keinginan meminta Arif untuk melanjutkan semakin kuat tapi segera kuurungkan saat melihatnya menangis lagi sambil memandang foto Hamid berdua dengannya di foto profil Whatsapp. Arif kehilangan gairah dan instingnya. Aku kehilangan detik-detik tapi aku tidak akan memaksanya. “Dia orang baik,” gerutunya lagi sambil memangku kamera. Ditatapnya langit yang warnanya merah jingga.

“Sudah lama Hamid memintaku untuk memotretnya sambil mengayuh sepeda kesayangannya. Baru kemarin dia mengingatkan. Ais!” Dia tampak kesal. Ingatan-ingatan saat bersama Hamid telah menelan semangatnya. “Tapi kerjaan masih belum selesai. Belum sela,” kata Arif menirukan gaya ucapan Hamid yang datar. Aku melihat bulir-bulir air di matanya saat bicara.

“Hamid tampak lesu dan tak bergairah saat kutawarkan jadwal untuk memotret sepedanya tempo hari. Padahal dia sangat ingin mendokumentasikan dirinya dan sepedanya itu,” Arif terus bicara seperti ingin meluapkan pilu di hatinya.

Hubungan Arif dan Hamid bukan sekadar mitra kerja tapi sahabat sejak kecil. Arif menyesali karena mengenyampingkan permintaan sahabatnya untuk memotret sepedanya. Seharusnya dia menyadari kesibukan Hamid dengan tugas-tugas tambahan yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya.

“Kematian Hamid ini gara-gara atasannya itu!” Serunya diikuti kepalan tangan memukul pahanya.

“Pimpinannya, maksudmu?”

“Pemimpin seharusnya menjadi benteng, jika anak buahnya punya masalah. Bukan malah menekan dan menyalahkannya, apalagi di depan banyak orang!” Arif mengeratkan giginya, dadanya naik-turun.

“Aku bingung dengan tugas dari atasannya itu. Dia kerap menerjemahkan perintah tak jelas. Aku sering memintanya untuk menanyakan lagi. Dia menggeleng. Katanya, takut dikira tak memperhatikan perintah. Hampir setiap hari dia mengerjakan pekerjaan yang bukan jobdesk-nya.” Arif berdiri lalu mengambil batu dan melemparnya ke sungai. Kemudian ditatapnya sungai yang tampak seperti ular itu.

Baca juga  Banun

Aku mengangguk saja meski pikiranku berputar-putar dengan harapan mendapat foto yang diinginkan.

“Delapan jam kerja, rasanya omong kosong bagi Hamid. Hari libur hanya sebatas merah di kalender. Kemudahan komunikasi lewat WhatsApp telah mengubur mimpi kumpul keluarga, teman tanpa beban kerja. Atasannya tidak mau tahu. Segala perintahnya kudu dilaksanakan. Kata Hamid atasannya memang tidak mengancam, tapi sikapnya berubah. Tatapannya penuh kebencian. Itulah kenapa beberapa tahun terakhir dia jarang berkumpul pertemuan rutin RT. Sripahan, ronda, bahkan sangat jarang dia ikut kerja bakti. Kalaupun ikut pasti buru-buru pulang.” Arif berhenti.

Arif menatapku, “Atasan Hamid jarang di kantor dan punya kerjaan sampingan. Itulah kenapa kerjaan di kantor ditumpukan ke Hamid.”

“Kok bisa orang seperti itu kepilih.”

“Mungkin karena lama dia mengabdi atau sekadar pertemanan.”

“Harusnya pemimpin tidak hanya dipilih karena lama dia mengabdi apalagi perihal pertemanan. Harusnya pemimpin dipilih karena jiwa pemimpin. Jiwa pemimpin itu lahir bukan dilahirkan. Mungkin dia lahir sebagai penjilat.” Arif semakin jengkel.

“Ya begitulah atasan, Rif. Banyak atasan yang tidak pernah merasakan proses dari bawah, jadi tidak terlatih jiwa keprihatinannya.”

“Tapi dia keterlaluan. Coba kamu ingat wajah Hamid, pernahkah kamu melihat dia tertawa lepas? Tersenyum saja dia kaku. Apa susahnya mengajak Hamid bercanda atau menganggap dia sebagai manusia. Bukan robot yang harus mengerjakan hasratnya.”

Aku diam. Berusaha tenang.

Aku tidak begitu dekat dengan Hamid. Kami hanya bertemu beberapa kali saja. Itu pun tidak sengaja saat bertemu Arif di warung untuk membicarakan pemotretan. Dia lugu, manutan seperti memendam masalah dengan wajah murung, persis seperti yang dikatakan Arif. Yang paling tampak dari sifat Hamid adalah rasa tidak enak menolak permintaan orang lain dan gampang dimanfaatkan orang. Mungkin saja sifatnya itu dimanfaatkan oleh atasannya. Wajar jika Arif sangat jengkel kepada atasan Hamid yang memanfaatkan sifatnya itu

“Kamu bisa bayangkan, kata teman kantornya Hamid. Mendengar nama atasannya saja mereka ketakutan. Atasan yang menakutkan bagi bawahannya, dia hanya menebar kebencian. Harusnya pemimpin itu disegani, bukan ditakuti, iya kan?”

“Hanya atasan yang ditakuti yang berwajah menakutkan seperti set…!” Kataku menyela. Arif diam lalu menoleh ke arahku. Dia melihat kebencian di wajahku dari kebencian yang disampaikannya.

Baca juga  Kubah Miring

“Bahkan untuk memotret sepedanya saja tidak sempat. Hamid, Hamid.” Arif kembali menggelengkan kepala. Ada perasaan bersalah bercampur benci di kepalanya. Aku melihat wajah benci itu saat dia mengangkat kamera yang masih terpasang tele, “Kalau bukan karena Hamid, aku tidak akan mampu membeli tele ini.” Arif melangkah menuju tempat pemotretan. Matahari mulai ranum, aku di belakangnya menghirup semangat Arif kembali setelah meluapkan kekesalannya.

Aku menemukan gairahnya kembali. Dia mulai jungkir-balik. Ke kanan, ke kiri. Dari sudut bawah sampai sudut atas. Dia memanggilku untuk melihat hasilnya. Aku mengangguk. Komposisi warna jingga dan matahari dari samping produk tampak menempatkan point interes sempurna. Senyum perempuan yang natural menular pada senyumku tapi tidak dengan Arif. Dia masih terbayang dengan kematian sahabatnya saat membereskan lighting dan perangkat lainnya, “Hamid Hamid!” Serunya. Aku mendengar napas berat keluar dari hidungnya.

“Pasti dia sangat tertekan. Aku dengar si Harsono, atasannya itu, sedang sibuk mengembangakan bisnis di luar pekerjaannya. Katanya untuk anaknya. Enak betul jadi dia. Cuma perintah lalu dapat duit bulanan, belum lagi dari vendor-vendornya.” Arif terus bicara sambil membawa peralatannya ke mobil.

Langkahku sedikit gemetar diikuti debar dada tak beraturan. Bukan, bukan karena sudah selesai. Tapi Harsono? Apa benar? Batinku. Aku semakin yakin saat Harsono, ayahku, memposting foto almarhum Hamid bersama Arif di status WhatsApp dengan tulisan terima kasih karyawan terbaikku.

Matahari mulai tenggelam. Dadaku kembali kelam. ***

.

.

Jejak Imaji 2020

Sule Subaweh bekerja di UAD dan aktif di Komunitas Sastra Jejak Imaji Jogja. Kumpulan cerpennya “Bedak dalam Pasir” terbit 2017. Kumpulan cerpen keduanya akan terbit 2022 di Diva Press.

.

Frame Kematian. Frame Kematian. Frame Kematian. Frame Kematian. Frame Kematian.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: