Cerpen, Kompas, Putu Wijaya

Guru

Guru (3) - Cerpen Putu Wijaya

Guru ilustrasi Gogor Purwoko/Kompas

4
(16)

Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 04 Desember 2022)

SEORANG Profesor Doktor yang telah mengantongi berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri penasaran. Ia yang tetap masih ingin menambah ilmunya serta agar dapat meresapi lebih mendalam apa yang sudah dikuasainya, kecewa. Karena ia tak menemukan seorang guru lagi.

“Aku sudah mencari keliling dunia. Blusukan ke berbagai pelosok. Menghubungi hampir semua orang pintar. Tak terkecuali para dukun. Tapi hasilnya nihil,” keluhnya.

“Semua tak memenuhi persyaratan yang kuajukan. Padahal aku cuma minta mereka mengajukan satu pertanyaan. Satu saja. Pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Bahkan, kalau ternyata pertanyaan itu juga tidak bisa dijawabnya sendiri, tak apa. Siapa tahu nanti kami bisa patungan menjawabnya. Sesuai dengan jiwa gotong-royong kita.”

Setelah 5 tahun pecaharian yang sia-sia, ia mulai tidak sabar. Akhirnya pasang iklan.

“Dicari guru yang dapat memberikan pertanyaan yang tak bisa dijawab! Tawaran gaji sesuai kesepakatan”

Iklan itu menjadi viral. Ribuan orang mendaftar. Untuk menjaga agar tak ada masalah di belakang hari, Prof menunjuk 3 orang juri untuk menetapkan siapa yang pas jadi gurunya. Tapi apa lacur, ternyata tak ada hasilnya.

“Kami sudah mencoba melakukan penyaringan dalam tiga tahap,” lapor sidang juri. “Mula-mula menyisihkan mereka yang hanya coba-coba. Separuhnya gugur. Di babak kedua kami membersihkan mereka yang lihai dan cerdik serta tangkas bersilat lidah. Dua per tiga tumbang. Di tingkat final baru kami cecer pengetahuan dan kepribadian mereka. Ternyata jangankan nanti mampu membuat Prof mati langkah, menghapi kami saja mereka sudah swak. Jadi maaf Prof. Kami tak berhasil menemukan bibit unggul untuk mentor Prof. Tapi itu juga berarti Prof masih di puncak segala puncak kami. Selamat Prof. Dari lubuk hati kami yang paling dalam, kami mengucapkan salut! Bravo, Prof!!!!”

Baca juga  Menipu Arwah

Prof mulai kesal. Ia uring-uringan di rumah

Semua jadi salah. Ia begitu kecewa.

Bullshit! Kenapa kita semuanya sekarang jadi stereotype begini? Bebek bengil semua!

Mereka pikir aku senang dapat salut gombal begitu. Aku serius cari guru bukan untuk dinobatkan jadi Dewa di puncak Gunung Semeru yang setiap saat bisa disambar petir. Salah kaprah semua! Begini jadinya kalau tujuan hidup sudah tergiring ke satu arah untuk meningkatkan kenikmatan diri sendiri. Tai kucing semua! Semua!!!!!!!!”

Prof uring-uringan. Ngamuk di rumah. Semua disalahkannya dan dianggapnya palsu. Ketika Prof mau membuat konferensi pers dan memberi pernyataan sarkastik bahwa masyarakat sedang terserang kebodohan sehingga cepat atau lambat akan masuk ke lubang keruntuhan, istrinya langsung mendamprat.

“Jangan! Kalau setiap orang seperti kamu, tiap kali sembelit langsung menuduh masyarakat sedang mengalami keruntuhan moral, itu artinya kamu menyamakan masyarakat itu dengan kamu, Prof. Yang sakit itu bukan masyarakat tapi kamu. Yang tidak kamu tahu itu hanya kamu yang benar-benar tahu. Cuma kamu tidak mau tahu. Sebab kamu pikir kamu sudah tahu semua. Guru kamu hanya satu. Kamu sendiri. Tak ada orang lain.

Bukan karena tidak ada yang bisa tapi karena kamu sebenarnya tak mau tak ingin lagi belajar karena percaya kamu sudah tahu semua. Tahu?”

Prof terkejut. Istrinya tambah berani.

“Guru itu tidak selalu orang yang lebih pintar. Bukan juga selamanya orang. Tapi semua yang bisa membuat pencerahan agar mata telinga pikir dan rasa kamu lebih terbuka. Semakin ngeh. Aku istrimu, anakmu, bahkan pembantumu. Juga kucing dan burungmu bisa sekali tempo seperti guru, tapi bukan guru. Begitu juga sakit, penderitaan, amarah, sedih, kekecewaan dan seks. Termasuk musuh-musuhmu dan segala macam kejahatan. Semua itu bisa jadi guru. Itu bisa jadi guru kalau kamu gurukan. Yang paling pokok adalah, apakah kamu siap menjadi murid menerima pembelajarannya? Apakah nuranimu sendiri masih bisa terbuka? Kamu sendirilah guru kamu seumur hidup, Profesor Doktor!! Kenapa mesti pasang iklan mengundang wartawan mau bersaing dengan para Youtuber main judi konten?”

Baca juga  Subuh yang Berkesan

Profesor berteriak histeris

“Bravoooo!!!”

Istrinya terkejut.

“Bravo?”

Profesor berseru lebih keras

“Bravoooooooooooo!!!! Salut!!!!!”

Istrinya tambah bingung. Dan kemudian semakin percaya suaminya bukan orang yang dulu merayunya untuk hidup bersama, tapi seorang maniak. Tapi guru TK itu lebih kaget lagi ketika teman tidurnya setiap malam itu, berbisik:

“Lima puluh tahun aku menunggu kamu untuk mengucapkan semua itu, Sayang. Konsep guru kita harus direvisi total! Selamat Hari Guru!!”

Istri Prof tertegun. Ia sudah hapal betul semua tikungan dalam lubuk hati suaminya yang suka nyeleneh itu. Ia yakin suaminya akan tersenyum lalu berbisik sarkastik.

“Tetapi hati-hatilah menjalankan fungsi guru karena Mama bukan hanya guru TK tapi guru suamimu yang Profesor Doktor ini!”

Tetapi ternyata tidak. ***

.

.

Hari Guru 261122

Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, pindah ke Jakarta. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, dan lakon.

Gogor Purwoko lahir di Lumajang, 10 Juli 1971, lulusan Pendidikan Teknik Sipil Politeknik Universitas Brawijaya sekarang tinggal dan berkarya di Klender, Jakarta Timur. Empat kali pameran tunggal sejak tahun 2006-2022, tapi lebih banyak pameran bersama. Finalis UOB The Painting of the Year 2016.

.

Guru (3). Guru (3). Guru (3).

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 16

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!