Cerpen, Mochamad Bayu Ari Sasmita, Suara Merdeka

Replika Sekar Ayu

Replika Sekar Ayu - Cerpen Mochamad Bayu Ari Sasmita

Replika Sekar Ayu ilustrasi Nugroho DS/Suara Merdeka

3
(2)

Cerpen Mochamad Bayu Ari Sasmita (Suara Merdeka, 27 November 2022)

TAHUN-TAHUN penuh celaka itu sudah lama berlalu. Sekarang Pratiwi sudah terlihat agak tua, lebih tua daripada saat tahun-tahun celaka yang memberangus sebagian besar orang di muka bumi ini—termasuk suami dan anaknya yang bernama Sekar Ayu yang masih berusia begitu belia—berlangsung.

Entah mengapa, ketika bercermin sambil memilih pakaian yang cocok untuk dikenakan di acara reuni SMA-nya, dia teringat ketika satu per satu orang-orang yang begitu berharga baginya harus kalah dari virus yang bekerja sama dengan maut.

Sebenarnya Pratiwi tidak begitu suka dengan acara-acara semacam itu, lagipula sudah banyak temannya yang meninggal dunia karena usia atau terkena penyakit ini dan itu. Tapi, salah seorang sahabat dekatnya mendesaknya untuk ikut. Dia mungkin bisa menolak ajakan orang lain, tapi tidak dengan sahabat baiknya. Dia tidak ingin membuat sahabatnya kecewa.

Pratiwi memesan taksi daring. Mobil berwarna hitam itu berhenti di depan rumahnya dan si sopir membuka kaca mobilnya.

“Ibu Pratiwi?” tanya laki-laki yang menjadi sopir itu. Sopir itu, sebagaimana orang-orang lain yang sehat, sudah tidak mengenakan masker lagi.

“Iya.”

Pratiwi membuka pintu belakang dan duduk di sana. Mobil pun berjalan secara perlahan dan hati-hati, kemacetan masih sering terjadi tanpa tahu kapan akan berakhir, atau setidak-tidaknya berkurang secara signifikan.

Mobil berhenti di sebuah kafe, Pratiwi membayar dengan uang digital, berterima kasih kepada sopir, dan turun dari mobil. Di depan kafe itu dia mengambil napas beberapa kali untuk mempersiapkan diri. Dia tidak ingin terlihat muram di hadapan teman-temannya. Dia tersenyum beberapa kali sebelum mendorong pintu kafe dan suara bel kecil di atas pintu berdentang.

Baca juga  Hama Bawang

Kafe itu telah dipesan untuk acara reuni sehingga hanya tamu undangan yang bisa masuk ke sana. Itu hanyalah sebuah kafe kecil, meja-meja sudah terisi oleh setiap peserta reuni.

“Pratiwi, duduk sini,” kata sahabatnya, Tutik.

Pratiwi berjalan ke meja Tutik dan duduk di kursi yang masih kosong. Meskipun acara itu disebut reuni, sebenarnya orang-orang membentuk kelompok-kelompok kecil untuk bercakap-cakap sambil melepas kerinduan.

“Apa kabar, Pratiwi?”

“Baik.”

“Hei, dengar, Julia menemukan sebuah toko yang unik.”

Pratiwi menoleh kepada Julia. Yang ditatap tersenyum dan mulai berbicara, “Itu benar-benar toko yang luar biasa. Sebenarnya aku juga diberi tahu oleh kenalanku.”

“Toko apa itu?” tanya Pratiwi.

“Sebuah toko yang bisa membuatmu membeli sesuatu yang menakjubkan.”

“Hei, jangan berputar-putar. Terus terang saja,” kata Tutik.

“Baik. Baik.” Julia berdeham beberapa kali. “Itu adalah toko boneka.”

“Hanya toko boneka?” tanya Pratiwi.

“Jangan remehkan boneka yang dijual di sana. Boneka di sana sangat mirip dengan manusia asli. Apa kau percaya? Banyak ibu-ibu yang pergi ke sana untuk mengingat anak-anak mereka yang meninggal terlalu dini.”

“Julia,” kata Tutik dengan penekanan.

“Tidak apa-apa,” kata Pratiwi, “lanjutkan.”

“Aku tidak tahu secara pasti. Setahuku, pembeli bisa memesan sesuai selera. Bawa saja foto dan suruh perajin boneka itu membuatnya sepersis yang ada di foto. Dia orang yang ramah.”

“Kau membeli satu?”

“Ya. Aku membeli satu untuk putriku. Dia benar-benar tergila-gila dengan boneka itu. Ya, Tuhan. Kupikir anak-anak sekarang sudah tidak tertarik lagi dengan mainan semacam itu.”

Pratiwi bertanya lebih detail tentang lokasi toko itu dan Julia mengirimkan alamat itu melalui aplikasi pengiriman pesan.

Mereka kemudian menikmati acara reuni itu sampai sore sebelum pulang ke rumah masing-masing.

Baca juga  Perampokan pada Malam Jumat

Minggu berikutnya, ketika kantornya libur, Pratiwi mengunjungi toko itu. Sebelumnya, dia sempat ragu apakah harus mengunjungi tempat itu atau tidak. Tapi, dia kemudian memutuskan bahwa tidak ada ruginya berkunjung ke sana. Dengan menumpang taksi daring, dia pergi ke toko itu pada siang hari.

Pintu toko boneka itu terbuka, seorang perajin sedang tekun memberi warna pada boneka yang sedang dikerjakannya. Dia kemudian berhenti ketika menyadari kehadiran Pratiwi.

“Selamat datang.”

“Ini toko boneka yang ramai dibicarakan itu?”

“Ah, itu bukan apa-apa. Saya hanya seorang perajin biasa. Silakan melihat-lihat.”

“Saya tidak bisa lama.”

“Oh.”

Pratiwi kemudian mengeluarkan sebuah foto putrinya, Sekar Ayu yang diambil setahun sebelum kematiannya. Perajin boneka mengambilnya dan mengamatinya.

“Dia gadis cilik yang cantik.”

“Dia sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.”

“Maafkan saya.”

“Tidak apa-apa.”

“Jadi, Nyonya ingin saya membuat boneka seperti ini?”

“Ya.”

“Saya akan mencatatnya terlebih dahulu. Maaf sekali kalau Nyonya harus mengantre.”

“Tidak masalah.”

Perajin boneka itu mengeluarkan sebuah buku besar—sesuatu yang begitu jarang ditemui di zaman sekarang—dan mencatat nama, alamat, nomor telepon Pratiwi, dan model yang ingin dipesan oleh Pratiwi.

“Apa pakaiannya disesuaikan dengan foto?”

Pratiwi mengeluarkan sebuah setelan yang paling disukai putrinya dari dalam tasnya. Dia menyerahkannya kepada perajin boneka itu.

“Itu pakaian kesukaannya.”

“Ini akan sangat membantu.”

Perajin boneka itu kemudian memasukkannya ke kantong plastik bening dan menempelkan nama Pratiwi ke atas plastik pembungkus itu, kemudian menyimpannya di dalam laci. “Saya akan mengirimkan ke alamat Nyonya setelah boneka itu telah siap. Tapi, mungkin sedikit lama.”

“Tidak apa-apa. Terima kasih. Saya permisi dulu.”

“Sama-sama.”

Pratiwi sedang meminum teh melati ketika bel rumahnya berbunyi. Dia bergegas menuju pintu dan membukanya. Di sana seorang kurir dari jasa pengiriman berdiri sambil membawa sebuah kotak yang lumayan besar.

Baca juga  Purnama di Pantai Boom

“Paket, Nyonya.”

“Terima kasih.”

“Boleh saya foto untuk bukti?”

“Ah, ya. Silakan.”

Pratiwi membawa kotak itu dan tersenyum di hadapan lensa kamera gawai si kurir. Setelah momen itu selesai, si kurir berterima kasih dan memohon undur diri.

Pratiwi masuk ke rumah dengan perasaan riang. Dia membuka kotak itu secara hati-hati. Isinya adalah sebuah boneka, replika yang hampir menyerupai putrinya, Sekar Ayu.

Dengan perlahan, dia angkat boneka itu dan dia dudukkan di sebuah sofa. Pratiwi tersenyum melihatnya. Dia kemudian menuangkan teh ke gelas lain dan meletakkannya di hadapan boneka itu.

“Teh itu nikmat sekali,” kata Pratiwi. “Cobalah sebelum dingin.”

Boneka itu, sebagaimana boneka pada umumnya, tidak merespons sama sekali. Boneka itu tidak bisa mendengar Pratiwi, dengan demikian juga tidak bisa berbicara balik kepadanya.

“Nah, Sekar Ayu, bagaimana harimu di sekolah tadi? Eh, ada anak laki-laki yang menjahilimu? Tidak boleh seperti itu. Kau tidak boleh membiarkan dirimu dijahili seperti itu. Mereka akan terus menjahilimu jika kau tidak melawan.”

Percakapan satu arah itu terus berlangsung untuk waktu yang lama. ***

.

.

6 Januari 2022

.

Replika Sekar Ayu. Replika Sekar Ayu.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!