Cerpen AM Lilik Agung (Suara Merdeka, 04 Desember 2022)
DARI lantai tiga puluh satu kantor pusat perusahaan berjejuluk The Big Four Accounting Firms in the World, Kota New York malam hari anggun dengan gebyar cahaya lampu. Jumat malam, setelah lima hari dihajar tumpukan pekerjaan, adalah saat paling tepat menyambangi Manhattan Sky Cafe. Satu sloki bourbon whiskey, bruschetta isi daging bertabur keju, berteman lagu-lagu slow rock angkatan bapakku. Betapa indahnya dunia.
Di Manhattan Sky Cafe, aku memilih kursi di sisi kanan panggung. Tak sepenanak nasi setelah kehadiranku, kafe dipenuhi orang. Jam delapan malam, dari panggung muncul para musisi. Meluncur “Another Day” milik Dream Theater. Satu lagu selesai. Tiba-tiba hadir lelaki tua di hadapanku.
“Kosong?” tanyanya.
Kuperhatikan wajahnya. Sepantaran kakekku, delapan puluhan tahun. Penampilannya kekinian.
“Ya, silakan,” aku menarik kursi untuknya.
Ia kemudian membenamkan diri di kursi.
“Boleh minta lagu?” tanya dia ke arah panggung.
Si penyanyi mengangguk.
“As Tears Go By, Rolling Stones,” teriaknya.
Lagu mengalun. Ia ikut beryanyi. Wajahnya melankolis. Kelihatan betul ia menikmati lagu. Selesai “As Tears Go By”, baru dia menatapku, lalu mengulurkan tangan. “Charles namaku. Panggil saja Paman Charles. Jangan Kakek Charles. Biar awet muda,” senyumnya berderai.
“Baik, Paman Charles. Senang berkenalan,” aku genggam erat tangannya. “Saya, Agung.”
“Dari Thailand?” tanya Paman Charles.
“Bukan. Indonesia,” ucapku.
“Indonesia..?!” Paman Charles tertegun. Ada jeda tanpa suara. Sebelum akhirnya Paman Charles mendekap erat tubuhku. “Bocah, kau saudaraku!”
“Sebagai penanda kau saudaraku, kita minum bersama,” Paman Charles memesan dua kaleng bir.
Hanya enam lagu aku nikmati. Paman Charles mengajak meninggalkan kafe. Melewati 57th street Central Park, taman kota nan luas tujuan kami. Ada bangku kosong. Kami daratkan tubuh.
“Di sini tenang, kita bisa bercerita tentang Indonesia,” ucap Paman Charles.
Dikeluarkan telepon selulernya. “Dari tahun 1966 hingga 1969 aku tinggal di sini,” Paman Charles menunjukkan peta sebuah kota di Jawa. Kota di mana dulu aku kuliah, Yogyakarta. “Di Jogja aku mengerjakan proyek kantor-kantor pemerintahan.”
“Kok bisa mengerjakan aneka proyek di Jogja?” aku bertanya.
“Indonesia chaos waktu itu. Penguasa anyar menjalin kerja sama dengan Amerika yang melawan komunis. Aku dikirim oleh negaraku.”
“Kalau lihat penampilan Paman Charles, menurutku di Jogja tidak hanya mengerjakan proyek-proyek pembangunan,” aku tatap wajah Paman Charles.
Dia tertawa menyeringai. Lalu bibirnya mendekat ke telingaku. Berbisik lirih, “CIA.”
Aku yang kemudian menyeringai. Keadaan politik di negaraku yang tiada kejelasan, mengundang agen rahasia Amerika untuk berkarya di Jogja.
“Ikut memberantas simpatisan?” aku bertanya tentang pembantaian kaum merah.
“Itu masa lalu,” Paman Charles tak berminat bercerita tentang sejarah kelam negeriku. “Aku lanjutkan ceritaku. Sebagai pengawas proyek, aku perlu penerjemah bahasa. Ada mahasiswi dari UGM menjadi penerjemahku. Usianya dua puluh satu tahun. Aku sendiri dua puluh enam tahun.”
“As Tears Go By,” aku menyebut lagu Rolling Stones.
“Kok?” Paman Charles bingung dengan perkataanku.
“Ketika Paman Charles menyanyikan lagu As Tears Go By kelihatan sekali auranya.”
“Ya… ya… begitulah. Itu lagu yang membuat aku meneteskan air mata. Teringat dia. Gadis asli Jogja yang meluluh-lantakkan gelora cintaku.”
Kembali Paman Charles membuka telepon selulernya. Kali ini menunjukkan foto lawas tahun 1969. “Kamu pasti tahu di mana lokasi foto ini.”
“Gedung Agung, istana negara,” aku mengamati foto itu.
Paman Charles memperbesar objek foto. Tiga orang berdiri dengan latar Gedung Agung. “Paling kiri, jendral negerimu. Tokoh intelijen yang bekerja sama dengan diriku. Yang di tengah aku. Kamu lihat gadis cantik yang aku gandeng tangannya? Dia, As Tears Go By-nya.” Objek foto diperbesar fokus pada gadis itu. Memang gadis ayu khas orang Jawa.
“Nomer teleponmu? Aku kirim foto ini.”
Lalu arsip foto pindah ke ponselku.
Pertemuan awal dengan Paman Charles ternyata berbuntut panjang. Sabtu esok harinya aku disuruh main ke tempat tinggalnya, Brooklyn Apartment. Paman Charles tinggal sendirian. Ada satu keponakannya yang tinggal di blok berbeda.
“Sampai umur enam puluh aku bekerja di kantor pemerintah. Setelah pensiun, delapan tahun bekerja di berbagai kantor swasta yang bergerak di sektor keamanan. Setelahnya menjadi penganggur sejati,” cerita Paman Charles.
“Istri?” akhirnya aku bertanya yang sebenarnya berada pada wilayah sensitif.
Paman Charles mengambil napas. “Pekerjaanku menelusup dari satu negara ke negara lain. Justru aku tidak bisa menelusup ke hati perempuan. Gadis Jogja itu penyebabnya. Tiga tahun begitu dekat, lalu aku lamar. Ayahnya veteran perang. Kulit putih sepertiku, tidak peduli berasal dari mana, tak lebih dianggap kaum penjajah. Lamaranku ditentang habis. Aku pulang ke Amerika dengan kegetiran. Kegetiran yang ternyata berlangsung sangat lama. Aku hidup sendiri.”
***
Serangan pandemi gelombang kedua meluluh-lantakkan rencanaku. Aku menikah dengan Kirana pada Februari 2020. Enam bulan setelah menikah, perusahaan menawarkan untuk bekerja di kantor pusatnya, New York. Kirana akan menyusul pada Desember 2020. Ternyata mulai November 2020 Amerika membatasi kedatangan orang dari negara lain.
Apri 2021 Kirana baru menyusulku. Aku ceritakan pada Kirana sebulan terakhir aku berteman dengan Paman Charles. Sebagai bentuk perkenalan dengan istriku, Paman Charles aku undang ke flatku.
“Mana Kirana? Aku bawakan bunga untuknya,” tanya Paman Charles ketika tiba di flatku. Dari balik kamar muncul istriku.
“Kamu….” tiba-tiba terjadi perubahan mencolok pada Paman Charles. Wajahnya memucat. Napasnya tersengal. Bunga di tangannya nyaris jatuh.
“Paman Charles?” kupegang tubuhnya. Aku tuntun, ia duduk di sofa. Istriku mengambil secangkir teh hangat. Paman Charles meminum teh hangat. Mengatur napasnya.
“Sakit?” kutanya padanya.
Paman Charles menggeleng lemah. Istriku tampak kikuk dengan peristiwa yang tiba-tiba terjadi.
Kedatangan Paman Charles di flatku tidak lebih setengah jam. Setelah napasnya teratur, dia berpamitan. Sejam berikut, ketika sudah tiba di rumahnya Paman Charles menelepon. Meminta maaf karena hanya sebentar di flatku. Pertemuan dengan istriku membuat kesadarannya menguap. Tak siap dengan pertemuan. Kata Paman Charles, sosok istriku mirip dengan gadis Jogja yang terakhir bertemu dengannya lima puluh dua tahun lalu.
Hari berikut, tanpa memberitahu terlebih dahulu, bersama Kirana aku berkunjung ke apartemen Paman Charles. Yang terjadi, pertemuan begitu kaku. Paman Charles yang biasanya banyak cerita, tiba-tiba tergagap-gagap. Ada banyak kebingungan menyergap pikiran Paman Charles.
“Agung, maaf aku harus pergi. Tidak bisa menerima dirimu berlama-lama,” ucapnya ke arahku. Lalu Paman Charles mendekat ke Kirana. “Senang kamu mampir ke rumahku.” Dicium lembut pipi Kirana.
Kedatangan Kirana ditambah kesibukan kantor yang meninggi, membuat dua minggu ini aku tidak mengontak Paman Charles. Minggu siang baru aku menyempatkan menelepon Paman Charles. Berulang-ulang kutelepon tiada diangkat. Takut ada sesuatu terjadi, kutelepon keponakannya. Kabar tidak baik aku peroleh. Delapan hari terakhir kondisi Paman Charles drop. Tubuh bugarnya loyo. Kesadarannya naik-turun. Akhirnya dua hari lalu Paman Charles dilarikan ke rumah sakit.
Kuajak Kirana meluncur ke rumah sakit Veteran Brooklyn New York. Kami tuju lantai lima, tempat Paman Charles dirawat.
“Aku menunggu di sini saja, tidak nyaman lihat orang sakit,” ucap Kirana.
Kutinggalkan Kirana di ruang tunggu. Aku tuju kamar inap nomer 504. Paman Charles tertidur. Ada selang tertancap di tangan kanannya. Napasnya teratur pelan. Aku elus pelan tangan kiri Paman Charles. Pelan-pelan, Paman Charles membuka mata.
“Cepat sehat, Paman,” ucapku.
“Kirana?” tanyanya lirih.
“Menunggu di luar. Tidak nyaman melihat orang sakit,” aku menjelaskan.
Paman Charles mengangguk. Hanya sedikit kosa kata yang kami bicarakan. Tak lebih dari dua puluh menit, aku berpamitan.
***
“Kondisinya lemah. Berbanding terbalik ketika pertama berjumpa denganku yang bugar prima. Perlu istirahat di rumah sakit,” kataku kepada Kirana ketika kami meninggalkan lantai lima rumah sakit. Tiba di lantai dasar rumah sakit, Kirana berucap, “Boleh lihat foto Paman Charles dengan kekasihnya dari Jogja?”
Aku kais ponselku dari kantong celana. Kuserahkan pada Kirana ponsel yang ada foto Paman Charles bersama kekasihnya.
“Di rumah Nenek juga ada foto ini,” kata Kirana pelan.
“Jadi?!” kutatap tajam wajah Kirana.
“Kekasih Paman Charles itu Nenek!” Kirana menyerahkan ponsel kepadaku. ***
.
.
—AM Lilik Agung, trainer dan pendamping SDM. Menulis 17 buku bisnis (manajemen) dan 4 buku fiksi. Buku kumpulan cerpen terbarunya, Manusia Urban (Penerbit Elexmedia Komputindo, Maret 2021).
.
Ada Asmara di Jogja. Ada Asmara di Jogja. Ada Asmara di Jogja. Ada Asmara di Jogja.
Leave a Reply