Cerpen Mahan Jamil Hiudani (Suara Merdeka, 01 Desember 2022)
BETAPA Naya sering kesal dan ingin marah. Rasanya ia ingin melabrak sepasang suami-istri yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Benar-benar keterlaluan dan sangat tak tahu diri.
Ayah yang sabar hanya sering menjawab pertanyaan Naya, itu pun jika Naya sudah mengulang pertanyaan beberapa kali. Ayah akan selalu mencoba menutupi segala perilaku Bagus dan istrinya, Diana.
“Tak apa, Nay. Mereka juga sering membantu Ayah dan Ibu, kok.”
“Ayah harus mulai tegas. Atau kalau tidak, biar Nay nanti yang bicara pada mereka.”
“Tidak perlu, Nay. Kita doakan mereka nanti bisa berubah.”
“Sampai kapan, Yah. Sampai barang-barang di rumah habis. Begitukah?”
“Ya, tidak seperti itu. Bersabar dan berdoa saja ya.” Itulah kalimat yang akan jadi akhir perbincangan Naya dan Ayah.
Sebagai anak, Naya ingin sebenarnya melihat Ayah dan Ibu bisa santai, tenang dan bahagia. Ayah bisa menikmati masa pensiun dan masa tuanya dengan tidak perlu lagi memikirkan kebutuhan rumah tangga dan tanpa kekurangan apa-apa.
Dulu, saat Naya dan kakak-kakaknya kuliah di luar pulau, betapa Ayah hampir tak pernah punya waktu luang untuk bersantai. Ia menghabiskan waktu untuk bekerja. Sangat besar tanggungan hidup Ayah.
Ibu mengurus rumah dan memang Ayah tidak memperkenankan Ibu bekerja. “Mengurus rumah dan anak-anak saja sudah sangat melelahkan. Itu juga suatu pekerjaan yang sangat berat dan mulia,” begitu kata Ayah membesarkan hati Ibu, yang memaksa untuk bekerja karena tidak tega pada Ayah yang memikirkan dan mencukupi semua kebutuhan rumah tangga.
Naya paham, Ayah menggunakan bahasa yang sangat halus. Ibu adalah seorang perempuan kampung dengan pemikiran sederhana, apalah yang bisa ia kerjakan di luar kecuali mungkin hanya sebagai asisten rumah tangga atau bekerja sebagai pelayan toko.
Itulah setelah lulus perguruan tinggi, Naya dan kakak-kakaknya sangat ingin mandiri dan merantau ke kota besar untuk mencari pekerjaan agar jangan sampai membebani Ayah lagi. Meski nyatanya kehidupan ekonomi Naya dan kakak-kakaknya juga belum mapan benar, namun syukurlah mereka masih bisa dibilang kecukupan untuk sekadar memenuhi kebutuhan harian.
***
Naya berpikir, Ayah dan ibunya kini bisa bersantai. Tapi nyatanya tidak, bahkan tak lebih baik dari masa dahulu. Ini bermula dari kehadiran Bagus dan Diana.
Diana adalah anak Tante Alika, adik ibunya Naya yang telah menjanda. Diana memiliki seorang anak balita. Diana dan Bagus beserta anak mereka menumpang di rumah ayah.
Sejak Tante Alika bercerai dengan suaminya, hidupnya sangat serba kekurangan. Bagus dan Diana juga masih menganggur. Tante Alika lalu menghubungi Ibu dan Ayah Naya untuk bisa menampung Bagus dan Diana serta mencarikan mereka pekerjaan.
Sebagai seorang paman, Ayah tentu tidak tega melihat keponakan istrinya hidup sengasara. Kebetulan mereka hanya tinggal berdua semenjak Naya dan kakak-kakaknya merantau dan berumah tangga.
Naya mendengar kabar itu. Awalnya ia tentu merasa berempati juga dengan nasib tante Alika dan Diana sepupunya. Tentu berat sekali hidup mereka. Meski Naya punya alasan dan riwayat kekesalan tersendiri pada tante dan sepupunya tersebut, tapi ia kesampingkan dulu semua itu.
Ayah lalu mengizinkan mereka bertiga tinggal di rumah. Ayah bahkan mencarikan pekerjaan untuk Bagus. Lelaki itu diterima sebagai supir di sebuah kantor milik teman Ayah. Meski gaji Bagus belum begitu besar, namun ia tidak perlu membayar kontrakan, listrik, atau membeli kuota karena ada jaringan wifi di rumah Ayah. Bagus juga bisa menggunakan sepeda motor Ayah untuk pergi ke kantor atau mobil Ayah jika ingin mengajak Diana dan Zahira, anak mereka, pergi ke mal atau minimarket.
Namun tampaknya Bagus dan Diana menjadi terlena. Semua kebutuhan rumah tangga menjadi tanggungan Ibu. Urusan belanja untuk makan sehari-hari, mereka sepenuhnya bergantung pada Ibu. Begitu juga urusan membeli sabun, detergen, sampo, atau bahkan pasta gigi.
“Coba Ibu bilang pada Tante Alika soal ini,” kata Naya kaget saat mendengar tuturan Ibu meski Ibu telah mencoba bicara hati-hati.
“Ibu merasa tidak enak, Nay. Tantemu itu sendiri masih susah hidupnya, masih menanggung hidup adik-adik Diana pula. Ya sudahlah biar saja.”
“Apa Ibu tak pernah bicara pada Bagus dan Diana?”
“Ya mungkin sekadar menyindir pernah. Tak pernah bicara hal itu secara langsung.”
“Ibu harus sampaikan tegas. Jika perlu Ibu minta agar mereka pindah. Kasihan Ayah.”
“Mereka masih merasa berat jika harus mengontrak sendiri.” Naya pernah memberi saran pada Ibu, jika Bagus dan Diana belum mampu pindah dan tinggal di kontrakan sendiri, namun mereka harus mencukupi kebutuhan hidup harian sendiri.
“Ya rasanya tak enak jika satu rumah ada dua dapur, Nay.” Naya sebenarnya bisa menduga, jika Ibu akan menjawab begitu.
Hal yang tak disukai Naya sesungguhnya adalah karena Bagus dan Diana sangat senang dengan kondisi itu tanpa pernah berpikir ingin mandiri dan dewasa. Mereka benar-benar telah menjadi benalu.
Naya tahu, terkadang Ayah dan Ibu keluar pada akhir pekan untuk sekadar makan. Tentu orang tua Naya akan mengajak Bagus, Diana, dan anaknya. Naya pernah bertanya, apakah Ayah yang membayari semua, dan ibunya diam saja. Itu sudah menjadi jawaban yang nyata.
Suatu kali Naya juga bertanya pada Ayah, apakah Diana dan suaminya mengirimi uang pada Tante Alika dan adik-adiknya setiap bulannya. Seperti biasa orang tua Naya diam saja. Bahkan Ayah telah menjual satu sepeda motor dan laptopnya untuk memenuhi kebutuhan harian. Kekesalan Naya sungguh sampai puncaknya. Bagus dan Diana benar-benar tak punya pikiran dan perasaan.
Naya putuskan harus pulang kampung untuk beberapa waktu. Ia harus membersihkan benalu di rumahnya, agar tak makin meranggas ke mana-mana. Mungkin sikap yang akan ia ambil terasa kejam, tapi ia tahu ini cara terbaik bagi semua. Toh suami Diana sudah bekerja dan mereka harus belajar cara mengatur dan mengelola hidupnya. Naya ingin orang tua dan saudara sepupunya hidup sewajarnya dan bahagia. ***
.
.
Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Alumnus Akademi Bahasa Asing Yogyakarta dan Komunikasi Penyiaran Islam di STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Kepala Sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Tangerang Selatan, dan redpel portal sastra litera.co.id. Buku kumpulan cerpennya: Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021) dan Di Way Kulur, Tak Ada Lagi yang Kucari (2022).
.
Ihwal Sepasang Benalu. Ihwal Sepasang Benalu. Ihwal Sepasang Benalu.
Leave a Reply