Cerpen Iin Farliani (Republika, 04 Desember 2022)
“AKHIR-AKHIR ini, laki-laki itu cukup sering memotong rambutnya. Tumbuh, potong lagi. Tumbuh, potong lagi. Hubungan kami tidak dekat tapi aku mengenalnya sebagai rekan kerja,” ucap Sentot sambil menunjuk ke arah laki-laki muda yang sedang duduk sendirian di kursi paling pinggir dari barisan depan.
Win melihat ke arah laki-laki itu. Di panggung, seorang perempuan muda sedang membacakan puisi, dan laki-laki muda itu dengan khidmat mendengarkan pembacaan puisi.
“Apakah ia memotong rambutnya tiap tiga bulan?” tanya Win.
“Aku tidak tahu apakah tiga bulan sekali. Tapi yang jelas, tiap kali ia memotong rambut, setelah itu kesan yang ditimbulkan begitu berbeda.”
Win cukup sering melihat laki-laki itu di gedung kesenian. Laki-laki itu terkadang membantu aktor-aktor yang akan pentas, mengantar kostum pertunjukan, memasang lampu panggung, atau duduk di belakang sound engineer.
“Dan perempuan itu, bukankah mantan istrinya?” Win bertanya lagi sambil menunjuk perempuan muda yang sedang membaca puisi. Win dan Sentot duduk di barisan kursi yang dibariskan di halaman. Mereka berada di kursi paling belakang. Dari tempat mereka cukup mudah untuk mengawasi laki-laki dengan rambut yang telah dicukur itu.
“Benar. Bagaimana kau bisa tahu itu mantan istrinya?”
“Mereka pasangan yang cukup terkenal di kalangan seniman. Aku pernah melihat mereka beberapa kali di konser musik saat mereka masih suami-istri. Waktu itu rambut si laki-laki sudah panjang sebahu. Dan si istri panjang rambutnya kira-kira melewati bahu. Istrinya bergurau, mereka akan berkompetisi, siapa nanti yang rambutnya paling panjang? Dan istrinya mengatakan, melihat rambut suaminya setiap hari membuat ia merasa seperti dilangkahi. Ia benar-benar takut disaingi kalau soal rambut,” jawab Win.
Sentot mengangguk, “Dan sekarang ia tidak perlu merasa disaingi. Mantan suaminya menggunting rambut gondrongnya. Rambutnya kini cukup pendek. Dulu ia tampak urakan. Sekarang ia menjadi lebih bersih dan rapi. Eh, lebih berwibawa juga. Teman-teman perempuan banyak mendekatinya. Itu bagus. Ia akan cepat mendapat pengganti,” ucap Sentot.
Terdengar suara melengking dari mikrofon yang digerakkan oleh kru acara. Pembacaan puisi telah usai.
“Ah, tidak. Sepertinya laki-laki itu masih menginginkan mantan istrinya. Ini hanya intuisiku. Intuisi perempuan,” ujar Win yang suaranya segera ditingkahi bunyi melengking mikrofon.
“Apa katamu tadi?” tanya Sentot mendekatkan telinganya ke dekat Win.
“Intuisi perempuan. Tadi kaukatakan tiap kali laki-laki itu memotong rambutnya, tiap kali itu pula kesan yang ditimbulkan darinya berubah.”
“Benar. Ia seperti menjadi orang lain dengan pribadi yang berbeda.”
“Begitulah. Aku juga melihatnya seperti itu. Kau tahu, ia seperti memotong rambutnya dengan sengaja untuk menarik perhatian mantan istrinya. Ia tahu hal itu akan menimbulkan kesan lain, dan si mantan istri pasti bertanya-tanya apa gerangan yang membuat laki-laki itu memotong rambut gondrongnya. Laki-laki itu pasti mengalami sesuatu yang berat, mungkin diakibatkan oleh perpisahan mereka. Memotong rambut sama dengan membuang sial seperti yang diungkapkan orang-orang dulu.”
“Kalau begitu mantan istrinya tidak merasakan kesedihan yang sama? Kau lihat potongan rambutnya masih sama.” Sentot menunjuk dengan dagunya yang terangkat ke depan. Rambut perempuan yang mereka bicarakan panjangnya melewati bahu, hampir sepunggung.
“Aku tidak bilang mantan istrinya tidak merasakan kesedihan yang sama. Aku hanya mengira ada kemungkinan laki-laki itu memotong rambut gondrongnya untuk menarik lagi perhatian si perempuan.”
Percakapan diakhiri tiba-tiba ketika Sentot harus kembali pergi ke halaman berumput yang berada di belakang aula pertunjukan untuk melanjutkan latihan teater bersama anak-anak didiknya. Dia memberitahu agar Win menunggunya kembali. Festival kesenian itu masih akan berlangsung sampai malam.
Win pergi ke kamar mandi. Dia membasuh muka di wastafel, melihat ke arah cermin, dan mengamati bayangan dirinya. Dia melihat potongan rambutnya yang kini pendek sebatas telinga. Kadang ada timbul penyesalan bila memperhatikan potongan baru rambutnya yang terasa tidak cocok dengan pipinya yang kian tembam. Hal itu membuatnya merasa lebih buruk lagi. Win mengacak-acak rambutnya.
“Apa yang kaulakukan? Apa yang terjadi pada dirimu? Mengapa orang cenderung memotong rambut ketika mengalami kesusahan?” gumam Win sambil masih terus memperhatikan dirinya di cermin.
Win teringat pengalaman masa kecilnya ketika ayahnya menyuruh berdiri di beranda. Ayahnya mengeluarkan sisir dan silet dan mulai menipiskan rambutnya. Ayahnya memberitahu kalau cara itu cukup manjur untuk menghilangkan kutu-kutu.
“Rambut yang tebal adalah sarang kutu. Dengan menipiskan rambutmu, kutu-kutu akan lari. Mereka tidak punya lagi tempat sembunyi. Coba kau lihat kutu-kutu itu!” seru ayahnya.
Win hanya terdiam menunduk melihat gumpalan-gumpalan rambut yang menumpuk di kakinya. Sementara tangan Ayah terus bergerak dengan silet dan sisirnya, terdengar bunyi “sreeettt….sreeettt…sreeettt” dari silet dan sisir yang bergerak bersama-sama.
Ketika pekerjaan itu selesai, dengan hati-hati Win meraba rambutnya. Saat itu, rambutnya terasa begitu tipis dan amat kasar serta patah-patah. Meraba rambut barunya seperti meraba guratan-guratan yang ada di batang pohon.
Dengan cepat dia berseru, “Ibu! Ibu!” Air matanya mengalir deras.
Tiba-tiba seseorang masuk menoleh ke arah Win yang matanya sedang berkaca-kaca. Ia perempuan muda yang tadi membaca puisi di panggung. Ia menunjukkan raut terkejut ketika melihat mata Win yang merah dan sedikit bengkak. Pandangan mereka saling bertubrukan di cermin.
Perempuan itu mengeluarkan bedak dan lipstik dari tas kecilnya lalu ia mulai memoles bibirnya.
“Kau tidak apa-apa? Silakan lanjutkan menangisnya. Kamar mandi memang tempat yang nyaman untuk menangis, ya?” ucap perempuan itu sambil menepuk-nepuk pipinya dengan spons bedak.
Win hanya tersenyum. Dia membasuh wajahnya lagi.
“Potongan rambut yang cantik,” ucap si perempuan. Ia segera membereskan perlengkapan riasnya dan pergi dari sana setelah sekali lagi tersenyum kepada Win.
Beberapa saat kemudian, Win duduk kembali di antara kursi-kursi yang berderet di halaman. Sentot melambai dari kejauhan. Win melambai pula. Sentot duduk di dekatnya.
“Ternyata kau benar, Win. Intuisimu memang tajam,” ucap Sentot sambil menyerahkan kopi dalam gelas kertas. Win menerima gelas kopi itu. Terasa hangat dalam genggaman. Sesudah itu dia bertanya, “Benar apanya?”
“Mantan pasangan yang kita bicarakan tadi. Laki-laki itu memang mencukur rambut gondrongnya untuk menarik perhatian mantan istrinya. Mereka tadi sempat mengobrol di aula pertunjukan.”
Win memperhatikan dengan penuh perhatian.
“Jadi, di sela-sela diskusi tadi, si laki-laki bertanya kepada si perempuan soal penampilan barunya. Tapi si perempuan hanya menatap heran. Katanya, ia memang sedikit terkejut melihat perubahan potongan rambut si laki-laki. Tapi ia berkata tidak terlalu ada perbedaan yang mencolok sebelum dan sesudah si laki-laki memangkas rambut. Katanya, saat inilah yang lebih baik karena rambut gondrong laki-laki itu dulu sangat mengerikan. Mekar seperti singa.”
“Lantas apa lagi yang mereka bicarakan?”
“Itu saja. Semua yang mendengar tertawa. Bahkan ada yang berujar, ‘Kasihan sekali. Sekarang pasti kau menyesal menggunting rambut gondrongmu yang telah kau pelihara bertahun-tahun.’ Ternyata si perempuan baru menyadari perubahan si laki-laki ketika laki-laki itu meminta pendapat tentang potongan rambut barunya. Sebelumnya, bahkan si perempuan tidak sadar kalau si laki-laki tidak berambut gondrong lagi.”
“Berarti si perempuan sudah tidak peduli lagi pada mantan suaminya hingga perubahan mencolok seperti itu pun tidak ia perhatikan,” gumam Win lebih kepada dirinya sendiri.
Win dan Sentot kini beranjak dari kursi menuju ruang tunggu pertunjukan. Mereka berbaris bersama orang-orang yang sedang mengantre untuk masuk ke gedung pertunjukan. Sebentar lagi pementasan teater akan dimulai. Ketika mereka mengisi daftar tamu, sebagian orang melihat ke arah mereka.
“Pasangan yang bahagia. Pasangan yang serasi,” ucap seorang remaja perempuan yang bertugas menunggu daftar tamu.
Win memikirkan potongan rambutnya. Sentot tidak mengatakan apa pun yang berhubungan dengan potongan rambutnya. Bagus atau tidak, ia bahkan belum berkomentar tentang itu. Ia juga tidak menanyakan alasan Win memotong rambut panjang yang telah dirawat bertahun-tahun. Ia sama dengan perempuan pembaca puisi tadi. Tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang luar biasa untuk ditanggapi.
Orang-orang yang mengenal Sentot dan Win masih menganggap mereka pasangan yang serasi di malam itu. Mereka sudah lama berpisah dan tidak ada yang menyadarinya karena mereka memutuskan untuk tetap bergaul sebagai teman baik. ***
.
.
Iin Farliani, penulis buku kumpulan cerita pendek berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019) dan kumpulan puisi berjudul Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (2022). Lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram. Sejak 2013 aktif berkegiatan sastra di Komunitas Akarpohon. Tahun 2020 terpilih sebagai salah satu Emerging Writer dalam Makassar International Writers Festival (MIWF). Tahun 2022 terpilih sebagai salah satu Emerging Writer Indonesia dalam Ubud Writers & Readers Festival (UWRF).
.
Yang Selalu Memotong Rambutnya. Yang Selalu Memotong Rambutnya. Yang Selalu Memotong Rambutnya. Yang Selalu Memotong Rambutnya.
TS
Bagus sekali Ka Iin.