Cerpen Rizqi Turama (Jawa Pos, 10 Desember 2022)
“ALANGKAH lucunya rumah kita tenggelam di tempat yang disebut orang ‘Bukit Besar’, sementara mereka yang menetap di ‘Rawa Bebek’ aman-aman saja ketika hujan menghantam.”
Istriku mencerocos senewen. Aku diam. Dia berlebihan, tentu saja. Pertama, meskipun disebut “Bukit”, tempat ini sama sekali tidak menyerupai bukit yang menjulang. Tinggi tempat ini tak berbeda jauh dengan “Rawa Bebek”. Kedua, rumah kami tidak tenggelam. Air pun tidak ada yang berhasil menerobos masuk. Betul jalan di depan rumah sudah digenangi air setinggi lutut orang dewasa. Betul pula jika ia bilang air tinggal dua jari lagi dari pintu depan, tapi tak tepat kalau dia bilang rumah kami tenggelam. Apalagi hujan sudah reda. Sekarang kami sudah mulai bisa merasa lega dan menunggu air surut.
Kondisi yang berbeda dialami oleh tetangga di depan sana. Sekitar dua puluh meter dari teras tempat kami berdiri sekarang, Pak Harso menatap air yang masuk rumahnya. Dia pasti sedang bingsal—bingung dan kesal. Lelaki itu menoleh ke arahku dan istri. Ia kemudian berteriak, “Sepuluh tahun aku tinggal di kompleks ini. Baru kali ini banjir masuk rumah.”
“Ya. Hujan kali ini memang luar biasa, deras dan lama,” sahutku dalam teriakan yang tak kalah keras.
Pak Harso menggeleng-gelengkan kepala. Istriku melengos dan berjalan masuk rumah sembari kembali mencerocos, “Sudah berani rupanya kau menyalahkan hujan, Bang. Macam kaum Nabi Nuh saja kau sekarang.”
“Hei,” balasku. “Kaum Nabi Nuh tak mau naik ke bukit sebelum hujan turun. Aku sudah mengajakmu tinggal di ‘Bukit Besar’ bahkan sebelum musim hujan datang.”
“Aku masih tak begitu yakin dengan alasanmu mengajakku pindah ke sini. Apakah karena lokasinya dekat dengan kantormu atau karena tempat ini mengingatkanmu pada kampung tempat mantan kekasihmu dulu tinggal?”
“Sungguh! Pembicaraan tentang mantan kekasih bukan topik yang tepat di waktu seperti ini.”
“Kau memang tak pernah mau membahasnya, Bang. Tak pernah ada waktu yang tepat untuk membahas mantan kekasih meskipun aku tak pernah tahu kau sudah benar-benar melupakannya atau belum.”
“Ayolah. Anak kita sudah empat tahun dan kau masih ragu padaku?”
***
Sekitar lima tahun lalu aku memang sering membahas soal mantan kekasih kepada seorang teman akrab di kantor. Wajah, senyum, hingga bibir mantanku yang selalu menyampaikan sesuatu secara ceplas-ceplos merupakan hal-hal yang selalu kututurkan. Satu hal yang tak kuduga adalah temanku di kantor yang jadi tempat curhat tersebut punya adik perempuan yang kemudian menjadi istriku. Beberapa cerita soal mantan pasti telah sampai ke telinga adiknya.
“Dia adikku, bukan mantan kekasihmu,” ujar si kakak di hari pernikahanku.
Ia juga seperti tersadar bahwa adiknya begitu mirip dengan deskripsi soal mantan kekasih yang sering kuceritakan. Temanku itu bahkan merasa perlu menambahkan bahwa ia bingung kemiripan itu terjadi karena memang aku tak bisa melupakan sang mantan atau karena tipe perempuan yang kusuka ya begitu-begitu saja.
Hal tersebut kulupakan seiring surat pindah tugas yang aku dapat. Dari tanah rantau di Kalimantan, aku disuruh kembali ke tanah lahir di Sumatera. Karena memang tugasku erat kaitannya dengan sungai dan tanah, aku langsung mengamati kedua hal tersebut dan menyadari bahwa kota kelahiranku telah berubah jauh.
Semasa aku kuliah dulu, Sungai Musi punya ratusan anak yang mengular ke berbagai arah. Sekarang anak-anak sungai tersebut telah menghilang lebih dari separonya dan diganti oleh ruko-ruko, perumahan, dan jalan. Anak-anak Musi yang tersisa pun banyak yang hidup dalam derita: menjadi kecil, keruh, dan dangkal.
Kehidupan lebih baik saat dulu sungai-sungai masih mengalir sesuai bentukan alaminya. Saat aku sampaikan hal itu kepada istri—di awal kepindahan kami dari Kalimantan—tanpa kuduga ia menyahut, “Hidup harus berjalan, Bang. Kau tak bisa hidup terus dalam kenangan dan menganggap masa lalu selalu lebih bagus daripada masa kini. Nikmati saja yang ada.”
***
Banjir sudah semakin surut, tetapi belum ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Istriku duduk di samping anak kami sembari menonton televisi yang menayangkan berita-berita terkini. Sebuah tontonan yang amat jarang—untuk tak menyebut “tak pernah”—disaksikan di rumah ini.
Hujan deras disertai angin kencang dan petir sejak menjelang subuh hingga duhur tadi rupanya memang memberi banyak efek, selain banjir tentunya. Sinyal internet melemah, begitu juga dengan layanan televisi kabel berlangganan. Anak kami akhirnya tak bisa menonton film kartun favoritnya. Terpaksalah ia menonton berita bersama ibunya seperti sekarang.
Karena tak ada pilihan lain, aku pun ikut nimbrung mereka. Pembawa acara mengabarkan seorang wanita meninggal karena tercebur dalam got. Ia tak melihat keberadaan got tersebut akibat banjir. Arus yang deras membuatnya tak berkutik dan kehabisan napas. Di tempat lain seorang lelaki paro baya meninggal tersambar aliran listrik. Tampaknya ada kabel yang terbuka dan listrik mengalir di air yang banjir.
Channel kuganti dan berita lain tampil. Orang-orang menikmati banjir dengan cara mereka sendiri. Ada yang mengunggah status berisi video anak-anak kecil berenang riang di tengah air berwarna cokelat. Sampah-sampah melintas begitu saja dan mereka tak peduli, tetap sibuk berenang seolah-olah itu adalah momen berenang gratis yang tak akan datang saat hujan berikutnya kembali bertandang. Beberapa emak-emak bahkan menulis besar-besar di status mereka “Waterboom Gratis”.
Tombol remote kutekan dan channel kembali berganti. Beritanya kali ini menampilkan sang wali kota. Di kantornya yang kering, bersih, aman, rapi, dan indah ia menyatakan bahwa pemerintah kota sudah berusaha maksimal untuk mencegah banjir, tetapi cuaca ekstrem dan curah hujan yang lebih tinggi daripada biasanya merupakan hal-hal yang tak bisa ia kendalikan. Televisi kumatikan.
Anakku tidak protes. Ia berjalan kulu-kilir tak keruan. Kelihatan betul sedang ingin membunuh rasa bosan, tapi tak tahu bagaimana. Ia melongok ke arah teras. Banjir masih lumayan tinggi.
***
“Bagaimana mau menikmati apa yang ada kalau kota ini akan tenggelam,” begitu kataku pada istri saat kami baru pindah ke sini tiga tahun lalu. “Sungai dan rawa ditimbun tanpa pembuatan saluran air yang mencukupi. Saat ini saja beberapa titik dipastikan banjir tak peduli sekecil apa pun hujannya, apalagi sepuluh tahun yang akan datang.”
“Kau kan salah satu orang yang berpengaruh di pembangunan-penimbunan itu, Bang. Artinya kau bisa mencegah sesuatu yang lebih buruk untuk terjadi, bukan?” sahutnya nyaris tanpa menoleh padaku yang terenyak. Barang-barang yang dikirim dari Kalimantan barusan sampai dan kami sedang sibuk memindah-masukkannya ke rumah.
“Kalau aku seberpengaruh itu, tentu kita jadi orang yang betul-betul kaya sekarang. Nyatanya aku cuma salah satu kaki tangan perusahaan.”
“Tapi kau tetap punya pengaruh, Bang.”
“Mungkin.”
Istriku membalas dengan senyum yang artinya tak kumengerti. Lalu kami lanjut mengangkut-angkut barang pindahan yang sebenarnya tak seberapa banyak.
Saat itulah Pak Harso datang untuk basa-basi. Aku terperanjat sebab tetangga baru itu adalah tetangga mantan kekasihku dulu. Wajah dan perawakannya nyaris tak berubah sama sekali. Aku sempat cemas ia mengenaliku, tapi sepertinya kumis, jenggot, dan perutku yang tumbuh subur membuatnya tak mengingatku.
Ia lalu sibuk bercerita bahwa sebelum jadi kompleks, tempat ini adalah rawa yang dipenuhi rumah panggung. Lalu datanglah developer dan pembangunan dilaksanakan. Rawa ditimbun dan perumahan ditegakkan. Semua penghuni kampung pindah, kecuali dia dan Pak Afri. Untuk kali kedua, aku terperanjat. Pak Afri adalah nama ayah mantan kekasihku.
“Tapi mereka juga sudah pindah ke Jakarta sejak tiga tahun lalu,” ujar Pak Harso. “Kalian adalah orang kedua yang menempati rumahnya setelah rumah ini dijual.”
Aku belum sempat bereaksi apa pun saat Pak Harso melanjutkan, “Tenang saja. Di sini aman. Banjir juga tidak pernah masuk rumah meskipun ini dulunya rawa yang ditimbun.”
“Iya, Pak. Aku yakin suamiku sudah memperhitungkan semuanya saat pindah ke sini. Semuanya,” istriku memberi jeda sejenak. “Ke mana tadi pemilik pertama rumah ini pindah?”
“Ke Jakarta.”
“Oh,” pungkas istriku sambil menyipitkan mata.
***
Anakku masih menatap banjir yang perlahan surut ketika berujar, “Yah, aku tak pernah buang sampah sembarangan. Kenapa masih banjir juga? Boleh aku berenang? Seperti yang ada di berita tadi?”
Istriku langsung menyambar pertanyaan itu dengan jawaban tegas: tidak. Perempuan itu pun melanjutkan, “Kau memang tak pernah buang sampah sembarangan, tapi beberapa orang telah sembarangan menimbun rawa dan sungai dengan tanah.”
“Hei, dia baru empat tahun,” sergahku.
“Dia sudah empat tahun.”
“Kalau sudah tahu bakal banjir, kenapa rawa masih ditimbun?” anakku menyela.
“Demi uang yang tak seberapa, tentunya.”
Aku mendelikkan mata ke arah istri.
“Betul, kan?”
“Apa maumu?”
“Jelas. Pindah,” sahut istriku.
“Ke mana? Ke Rawa Bebek? Tahun depan rawa-rawa di daerah sana juga akan ditimbun. Banjir juga akan merembet ke sana. Kita tinggikan saja rumah ini. Biayanya tidak sebesar pindah ke kompleks mewah yang benar-benar bebas banjir,” usulku untuk sekadar menutup mulutnya.
“Kenapa kau berkeras tinggal di sini, Bang? Apakah karena di kompleks kecil yang semua orang tak terlalu kenal satu sama lain ini, kau tak akan dicurigai sebagai salah seorang yang bertanggung jawab untuk hampir semua penimbunan rawa yang menyebabkan banjir di sepenjuru kota selama tiga tahun belakangan? Atau ada sesuatu dari masa lalu yang tak ingin kaubiarkan tenggelam di bukit ini?”
Aku tak siap dengan pertanyaan itu dan tanpa diduga, anak kami ikut memberi usul, “Ayah, kalau sepenjuru kota ini akan kena banjir, kita pindah ke luar kota saja.”
“Ke mana?”
“Jakarta,” katanya mantap. Istriku menyipitkan mata.
Wah. ***
.
.
Bukit Besar, 29 Januari-27 Mei 2022
RIZQI TURAMA. Dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sriwijaya. Aktif di Sanggar EKS dan Komunitas Kota Kata Palembang.
Tenggelam di Bukit. Tenggelam di Bukit. Tenggelam di Bukit.
Leave a Reply