Cerpen Silvester Petara Hurit (Kompas, 11 Desember 2022)
HUJAN datang lebih awal. Setelah harga kopra jatuh dari 10 ribu menjadi 4 ribu rupiah per kilo, setelah bunga mente mengering sebelum sempat melahirkan buah, setelah buah kelapa pecah dan jatuh sebelum sempat menjadi muda.
Hujan lebat sudah hampir seminggu, tapi di rumah, kantor, dan tempat ibadah orang- orang mengeluh panas. Keringat bikin pakaian dalam lebih cepat lembab dan basah.
Panas kali ini rasanya bukan panas biasa. Lebih gerah dari hawa persetubuhan antara pria dan wanita yang gemar gonta-ganti pasangan.
Dari mana hawa panas ini bermula? Awalnya dari seorang calon kepala desa yang bernama Miten. Tujuh tahun silam, Miten pulang dari Jakarta. Di hadapan seluruh masyarakat dia bicara tentang keinginannya untuk mengabdi dan melayani.
“Sungguh saya tak tenang tidur, tak enak makan melihat beratnya hidup saudara-saudari, orangtua, dan semua kakak-adik di tanah kelahiranku ini. Maka, saya pulang untuk bikin harga mente lebih baik, harga kelapa dan kopra lebih pantas!”
Cara bicaranya menggugah dan meyakinkan warga desa. Bagi warga desa yang polos-polos itu, semua omongan Miten diterima bulat-bulat. Bermodal mobil pinjaman dari Baba Cung pemilik gudang mente di Larantuka, Miten semakin meyakinkan warga desa bahwa ia memang sudah selesai dengan urusan perut.
“Goe gelekat noon onok matak, soga naran lewotana: Saya mengabdi dengan hati nurani, mengangkat nama kampung halaman”.
Miten tahu bagaimana harus menyentuh warga dengan bahasa mereka sendiri. Kalimat terakhirnya bersarang di hati warga. Agar semakin meyakinkan, ia menyampaikan niatnya untuk Gere Rera Wulan: sebuah ritual masuk rumah adat untuk mohon restu dan kekuatan Rera Wulan Tana Ekan.
Ketika mantra dirapalkan oleh maran alat, seperti magnet yang menarik serbuk besi, kekuatan alam dari jagat kampung berpendar mengelilingi Miten. Menggetarkan seluruh sel tubuhnya, membangkitkan simpul-simpul energi yang tertidur. Seperti mobil yang lama parkir dihidupkan semuanya aktif dan menarik energi serupa sehingga semakin kuat.
Hawa panas bermula dari sana. Ketika keinginan terbesar meraup banyak uang dan menikmati kesenangan hidup yang dibungkusnya pecah dan meluber tersirap getaran tersebut. Hawanya membubung ke angkasa jadi awan kelam dan menarik awan serupa datang memenuhi langit-langit kampung. Seperti pohon, awan kelam itu serupa daun yang kian rimbun dan dirinya adalah batang yang terus menjulurkan akar-akarnya.
Seminggu setelah dilantik menjadi kepala desa, ia merekrut sepupunya menjadi ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Tiga bulan kemudian ia mendepak bendahara desa dan menggantinya dengan istri ketua tim suksesnya.
Mente dan kopra wajib dijual kepada bumdes dengan alasan menambah pendapatan desa. Kerja sama apik bumdes dengan Baba Cung benar-benar menguntungkan Kades Miten. Kalau ada pesaing lain datang, mereka membeli kopra dan mente dengan harga jauh lebih tinggi. Alhasil para pesaing tersebut mundur satu-satu. Jadilah mereka pemain tunggal. Sesukanya menurunkan harga dengan alasan gudang penuh dan sebagainya.
Baba Cung menguasai kontainer tol laut berkat kontribusinya sebagai penyandang dana terbesar dari pemilukada yang lalu. Dia bermain untuk 3 pasangan calon. Prinsipnya tabur di awal. Tuainya selama 5 tahun. Jauh lebih besar untungnya. Lima tahun berikut baru bermain lagi. Bagi Baba Cung, tak perlu jadi bupati atau anggota DPRD. Yang penting bisa mengendalikan bupati dan pejabat-pejabat daerah yang mata duitan itu.
Kades Miten terus berupaya menambah kekayaannya. Ia mulai meminjamkan uang dengan bunga 20 persen per bulan kepada warganya yang punya kebutuhan mendadak. Karena harga kopra dan mente selalu jatuh, mereka tak mampu mengembalikannya. Sedangkan nilainya terus bertambah akibat bunga. Ketika sang kades merasa mereka tak lagi mampu mengembalikan, ia mengajukan runding. Dengan menambah sejumlah uang, ia meminta tanah atau kebun milik warga. Tetua adat diundangnya untuk bikin ritual adat pengesahan pindah kepemilikan. Biasanya ia menyiapkan amplop yang cukup tebal sehingga mereka selalu siap melayani apa yang dimauinya.
Bermodal jabatan kepala desa dan kongsi bisnis dengan Baba Cung, Kades Miten tampil sebagai orang kuat baru. Lima tahun menjadi kepala desa, tanahnya terus bertambah. Ia mulai bermain sebagai penyandang dana mendukung pasangan calon di pemilukada kali ini. Rumah barunya di kota jadi sekretariat bagi pasangan calon (paslon) A, rukonya ia relakan untuk posko pemenangan paslon B, salah satu mobilnya dipakai sebagai kendaraan operasional paslon C. Kades Miten semakin terhubung dengan sejumlah pejabat, anggota DPRD, orang-orang dari partai politik di kabupaten, provinsi maupun pusat.
Kades Miten semakin yakin tak ada lagi yang berani bersaing dengan dirinya pada pemilihan kepala desa (pilkades) 7 bulan mendatang. Apalagi setelah Markus mantan aktivis mahasiswa keok dibikinnya. Markus adalah lulusan dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Undana Kupang. Pulang kampung dan mulai mengkritisi kepemimpinan Kades Miten yang tak pro warga desa. Warga mulai menaruh harapan padanya. Ia juga mengkritik Pastor Paroki yang menurutnya tak bisa menyerukan suara kenabian dan cenderung cari aman.
Kades Miten menyusupkan orangnya ke dalam lingkaran orang dekat Markus. Sungguh jadi ancaman jika Markus dibiarkan. Maka Kades mendatangkan seorang perempuan penghuni salah satu lokalisasi di salah satu kota besar. Ia dibayar mahal untuk mendekati Markus. Bermodal cantik, berlaku santun, halus dan baik, ia tak sulit menggaet hati Markus. Mereka berpacaran. Berlibur ke Kupang dan menginap di sebuah hotel.
Beberapa hari setelah liburan tersebut, pacar Markus menghilang dan mengganti semua nomor kontaknya. Bersamaan dengan itu video vulgar mereka beredar. Pastor Paroki mengutuk tindakan tak terpuji itu saat kotbah misa hari Minggu di Gereja, pun dalam kegiatan pembinaan iman remaja dan orang muda Katolik.
Kades Miten bahkan sudah mempersiapkan orang-orangnya memengaruhi tetua adat bahwa Markus telah bikin malu kampung. Ia harus dipanggil, diadili dan diganjar denda adat yang berat. Sejak saat itu, Markus tak muncul lagi di kampung.
Pastor Paroki malam-malam datang ke rumah Kades Miten dan menyatakan dukungan kepadanya. Kades Miten kemudian memesan patung Bunda Maria dan membiayai pembangunan gua untuk pentakhtaannya. Saat peresmian, Kades Miten disambut dengan sapaan adat, pengalungan selendang, pengguntingan pita dan tari-tarian.
Pastor Paroki mengajak umat berterima kasih. Bahwa Tuhan bekerja melalui Kades Miten sehingga akhirnya mereka boleh memiliki gua Maria tempat umat sekalian bisa datang berdoa, berkeluh-kesah kepada Bunda Maria.
“Kita butuh tokoh-tokoh yang peduli dan suka berbagi seperti Bapak Kepala Desa kita ini. Tuhan menggandakan segala amal baiknya”.
***
Hasrat Kades Miten untuk terus berkuasa menjelma getaran yang makin hari makin kuat dan bikin gerah. Jagung, ketela, padi dan tanaman pangan lain tak bisa tumbuh dengan baik. Bahkan persetubuhan pasangan baru gagal menghasilkan buah keturunan di satu tahun terakhir.
Hawa panas bikin Bapak Langit murung, Ibu Tanah bersedih. Para leluhur bersusah hati. Sedang umat di lingkungan komunitas basis sedang giat-giatnya berlatih koor untuk rangkaian perayaan Natal dan Tahun Baru yang tinggal hitungan hari. Anak-anak muda mulai berkumpul mendesain pohon natal dari bahan-bahan yang paling unik untuk dipajang di pertigaaan jalan dan tempat-tempat strategis dalam kampung.
Semakin dekat Natal, suasana makin semarak. Anak-anak mulai merengek minta uang supaya dibelikan petasan dan kembang api. Siapa punya petasan yang bunyinya paling besar dan kembang apinya melambung tinggi serta menyebarkan pijaran-pijaran yang paling luas dan lama akan jadi perbincangan paling seru di kalangan anak-anak dan remaja. Kades Miten lebih sibuk lagi. Mempersiapkan open house di hari Natal dengan bir, babi panggang dan sekian jamuan. Juga pidato dan pesta kembang api di malam pergantian tahun.
Dua hari sebelum perayaan malam Natal hujan turun lebih lebat dari biasanya. Saat geladi koor perayaan malam Natal di Gereja, tiba-tiba terdengar gemuruh dari gunung menyerupai suara helikopter. Seketika lampu padam. Semua panik dan berhamburan.
Suasana mencekam. Suara tangisan dan teriak minta tolong terdengar dari arah rumah-rumah yang berada dekat di bawah kaki gunung. Tapi, tak ada yang berani keluar rumah karena hujan sangat lebat sepanjang malam. Jarak pandang tak lebih dari satu meter.
Pagi-pagi warga menuju tempat kejadian. Beberapa rumah tertimbun longsor dan tiga RT tersapu banjir. Pastor Paroki datang ke lokasi. Di depan rumah orang tua Markus yang seluruhnya tertimbun longsor sambil geleng-geleng kepala, ia mengatakan kepada sejumlah warga bahwa ini pelajaran dari Tuhan akibat anak muda yang tak lagi menjaga pergaulan.
Kades Miten datang dan berbincang-bincang dengan Pastor Paroki. Melihat warga yang makin banyak berkerumun, dengan suara dibuat lebih keras ia bilang kepada aparat desanya:
“Datakan semua kerugian dan segera laporkan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah!”
Setelah memberi amanat kepada komandan linmas untuk memimpin pencarian korban, Kades Miten berbuat seolah ada yang sangat krusial yang harus segera ia bicarakan dengan Pastor Paroki.
Di ruang kerja Pastor Paroki, mereka bicara lebih rapat pagi itu. Kades Miten sepakat dengan Pastor Paroki bahwa setelah sarapan mereka langsung pergi ke kota buka rekening donasi bagi korban bencana.
“Keramik rumah pastoran sudah waktunya diganti.”
“Sekalian saya mau mempercantik wajah kantor desa.”
Aroma roti bakar menguar bersama kopi rempah dan asap rokok. ***
.
.
Lewotala, Flores Timur, Awal November 2022
.
Daftar istilah:
Rera Wulan Tana Ekan: Tuhan dalam agama Lokal Suku Lamaholot
Maran alat: Pendaras mantra/doa dalam ritus adat Suku Lamaholot
.
.
Silvester Petara Hurit. Alumnus Jurusan Teater STSI Bandung (ISBI sekarang). Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan iklim teater dan sastra di Flores Timur, NTT.
Henryette Louise, lahir di Blitar, Jawa Timur, 22 Juli 1980. Karya-karyanya syarat imajinasi, baik imajinasi yang mengadakan apa-apa yang tak pernah ada maupun merembeskan kenyataan ke dalam imajinasi yang terepresentasikan secara visual dalam drawing, lukisan, patung, instalasi ataupun sketsanya dalam berbagai media. Sekarang dia banyak berkarya di Studio Lokositato, Cileunyi, Kabupaten Bandung.
.
Hawa Panas. Hawa Panas. Hawa Panas.
3,291 total views, 1 views today
Edy Soge Ef Er
Cerpen ini punya “pathos” yang kuat. Emosi saya sedikit menyala dengan sikap dan intrik kades Miten, juga mereka yang dapat pengaruhnya, pastor paroki dll.
Hawa Panas. Judul yang metaforis. Melukiskan epithumia – hasrat akan uang dan kekuasaan. Itu merugikan banyak orang. Nalar tradisional (mistis dan mitologis) terang dalam ilustrasi cerpen itu bahwa langit dan bumi beri bencana: hujan petir tanah longsor terjadi karena keangkuhan manusia atau kesalahan moral yang telah dibuat.
Sisi lain, judul itu juga menyimpan intuisi esoterik, bahwa ada istiadat atau kekuatan magis dapat memberi pengaruh bagi tubuh juga alam semesta. Mantra bisa menghidupkan energi purbakala.
***
Ada juga konteks denotatif bahwa hawa panas menunjukkan corak iklim atau cuaca yang sedang dialami. Hari-hari ini, petani Flores Timur mengeluh karena gairah langit belum memancarkan hujan yg limpah. Panas terik langit Flotim sangat meresahkan benih-benih ladang.
Cerpen itu adalah juga curhat sosial tentang suasana sosio-kultural, sosio-politik, sosio-religius (orang Flores Timur).
Nah, pada ranah ekstrinsik ini saya membaca kritik sosial cerpen ini. Cerpen ini punya “logos”.
1. Hawa panas nafsu kekuasaan dan politik adalah: UANG. Korupsi ada tidak hanya di dalam politik, tetapi juga di dalam Gereja (baca penokohan pastor paroki). Gereja sebagai institusi sekuler (yang ada dlm dunia dan punya ciri keduniawian) retan juga terhadap hipokrisi dan korupsi.
2. Uang itu simbol besar umat manusia tentang relasi. Uang mempersatukan. Justru karena kekuatan simbolis ini ia diperalat untuk meruntuhkan nalar kritis dan spritualitas. Di hadapan uang, proposisi logis hampir tidak perlu, apalagi intensi ayat suci.
3. Pemimpin politik dan pemimpin Gereja dalam karier politik dan panggilan profetis mereka dapat berbuat salah. Mereka melayani kepentingan diri sendiri, dan tidak berpihak pada kebaikan bersama (bonum communae).
3. Hawa panas tidak hanya peristiwa alam, tetapi juga panorama kultural. Hawa panas alam itu natural. Hawa panas kultural itu konstruksi sosial. Yang diberikan alam, tak bisa dielak, toh bisa disiasati. Teknologi dan IPTEK membantu itu; ada irigasi, sumur bor, PAM, dll. Yang dibentuk oleh kebudayaan tidak semuanya benar dan belum tentu proporsional. Sikap kritis terhadap budaya, khususnya feodalisme dan fanatisme mesti dihidupkan. Tokoh siapa dalam cerpen itu yang mewakili sikap ini?
4. Pelajaran reflektif dan sosial dari cerpen itu. Hidup yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab membawa malapetaka untuk diri sendiri dan orang lain. Kades Miten terus membawa hawa panas dalam dirinya dan tentunya ia akan terbakar oleh arogansinya sendiri. Pemimpin politik dan pemimpin Gereja adalah pelayanan masyarakat dan umat. Otoritas itu tentu punya konsekuensi ekonomi finansial (pejabat gereja tidak punya gaji tapi bukan tidak bekerja tanpa uang). Cukuplah dengan gaji atau uang saku. Jangan seraka!
***
Cerpen ini mengalir dengan satu nada – nada sumbang hidup moral Kades Miten. Tidak ada “counter thought” dari tokoh lain sebagai oposisi terhadap Miten. Budaya hasut-menghasut lebih cepat mempersatukan. Lalu pembaca mau belajar dari siapa? Tidak ada kisah yang benar-benar selesai, tetapi kisah yang melegakan dan mengajak berpikir seolah menaruh kita pada akhir yang memukau. Cerpen “Hawa Panas” seperti asyik di permukaan ruang intrik kekuasaan, dan nasib si tuan masih seperti terus diirawat, tuan masih seorang penguasa yang akan terus berbohong.