Cerpen Handry TM (Suara Merdeka, 11 Desember 2022)
SEBUAH malam pada akhir tahun 1961. Rumah Tek Siang mulai dikerumuni banyak orang. Ada yang melongok di pintu gerbang, tidak sedikit yang masuk dan langsung duduk di lantai yang dibangun menyerupai kursi panjang. Mereka menunggu penampilan sang primadona.
Rupanya penonton terbagi dalam dua kelas berbeda. Golongan biasa adalah orang-orang kampung dengan pakaian seadanya. Tampak dari wajah mereka yang kurang terlihat bahagia. Untuk mengambil posisi duduk di lantai paling depan pun orang-orang ini tidak bernyali.
Golongan yang satunya tentu sangat istimewa. Terlihat dari cara berdandannya, cara menatap orang-orang sekitar dan dongakan kepala congkaknya. Kelompok ini pasti orang-orang terpandang yang tinggal di seputar Pecinan. Beberapa dari mereka, kental sekali meniru gaya para ningrat Eropa. Mengenakan jas putih, dasi, topi, dan bawahan celana panjang komprang.
Jepitan cerutu tak lupa terselip di antara dua jari tangannya. Dengan logat bicara yang lepas, mereka selalu mengomentari keadaan yang tidak nyaman.
Untuk golongan orang-orang seperti ini, Tek Siang menyambut dengan caranya sendiri. Mereka akan sangat tersanjung jika Tuan besar Perkoempoelan Tjahaja Timoer yang langsung mempersilakan duduk di kursi terpilih.
“Oen Kiat, aha… lama kita tidak bertemu,” Tek Siang penuh basa-basi menyambut juragan paling kaya di kawasan Sebandaran itu.
“Karena kamu tidak pernah lagi mengajakku minum sambil bernyanyi-nyanyi,” tangkis Oen Kiat begitu lihai.
Bisa dibilang, antara Tek Siang dan Oen Kiat, dua sahabat karib pada masa muda. Ketika itu, mereka sama-sama nakal, jagonya main perempuan dan pendekar dalam berjudi. Oen Kiat terhitung anak saudagar penyalur gandum terbesar di kota ini. Jangan dilihat bentuk rumahnya yang kusam dari tampak luarnya. Itu cuma gerbang kecil dari luas tanah orang tuanya yang setengah perkampungan.
Sementara Tek Siang, bisa dibilang pemuda biasa-biasa saja, namun memiliki pergaulan luas di kalangan kelas ternama.
“Kalau kita tidak menjadi tua, niscaya dunia akan rusak oleh tingkah-laku kita,” pancing Oen Kiat sambil menahan gelak.
“Masih kuingat bagaimana caramu merayu perempuan-perempuan Inggris anak sisa Gurkha di Jalan Bodjong saat itu,” seloroh Tek Siang.
“Tapi pengalaman yang katamu dahsyat itu, sekarang telah terkunci rapat sejak owe kawin sama Lena Teng yang gembrot itu…”
“Ha ha ha..!!!!!”
Ledak tawa mereka tidak terbendung lagi. Lantas, masing-masing mengambil tempat duduk yang saling berdekatan.
“Hey, Siang, kamu memainkan musik apa dalam latihan malam ini?”
“Aku istirahat latihan. Besok saja langsung main.”
“Apakah Hong juga tidak ikut latihan?”
Pertanyaan Oen Kiat bisa ditebak ke mana arahnya. Dalam setiap pertunjukan, Oen Kiat termasuk penonton elite yang paling kasar menyapa Giok Hong.
“Latihan. Aku bilang ke Giok Hong, The Oen Kiat akan menyaksikan latihan kita. Maka dari itu, berdandanlah seperti saat kamu di pertunjukan besar.”
“Ha ha ha… Kamu mengolokku, Siang,” tawa Oen Kiat meledak.
Tawa itu surut tiba-tiba. Tek Siang menatap lawan bicaranya dengan tidak ramah.
“Kamu suka sama Giok Hong, Oen?” pertanyaan itu sungguh menyerang.
Oen Kiat agak gelagapan dalam mencari jawab.
“Tentu-tentu owe suka. Suka penampilannya…”
“O.”
“Kenapa? Kamu kurang suka?”
“Bukan begitu. Sebuah kehormatan besar, orkesku ditonton orang paling terpandang di kawasan ini.”
“Ah, kamu terlalu berbasa-basi.”
“Apakah menurutmu aku sedang berbasa-basi?”
Keduanya terdiam. Saling kehilangan kata-kata untuk melanjutkan ledekan yang nyerempet bahaya.
Rupanya Tek Siang tidak begitu suka dengan pancingan-pancingan yang diumpankan sahabatnya.
Bagi Oen Kiat, bisa memancing emosi Tek Siang meluap adalah sasarannya. Cukup lama Oen Kiat jatuh hati pada penampilan Giok Hong. Perempuan muda primadona piaraan Tek Siang itu, kini sedang menjadi gunjingan luar biasa di kalangan warga Gang Pinggir. Dalam setiap pertemuan, bahkan di berbagai perkumpulan bisnis, tidak satu-dua kali saja Oen Kiat mendengar orang-orang bergunjing tentang kecantikannya.
Diam-diam pula, Oen Kiat pernah mengirim surat pada Giok Hong melalui “orang dalam” Perkoempoelan Tjahaja Timoer. Isinya, apa lagi kalau bukan puja-puji dan janji-janji. Mungkin sudah puluhan surat terkirim ke perempuan cantik berkulit putih semu merah jambu itu. Namun tidak satu pun ditanggapi. Bagi seorang perayu ulung sepertinya, apa lagi penyandang sebutan “Laki-laki Hidoeng Belang Sedjati”, perjuangan tidak mungkin berhenti sampai di sini.
“Oen Kiat, kenapa melamun?”
Suara lirih Tek Siang kembali menyentaknya.
Oen Kiat tersenyum, menyembunyikan kegelisahan.
“Sudah tua, Siang. Sering linglung tiba-tiba,” jawabnya dengan bohong.
“Tidak harus menunggu tua, sejak muda dulu kebiasaanmu linglung kerap muncul tiba-tiba. Apalagi kalau dikacaukan oleh godaan asmara.”
Ia pun membalas tatapan Tek Siang dengan segenap ketersinggungan. Tidak lama kemudian sebuah tawa kecil keluar dari bibirnya. Tawa itu kian menjadi, bahkan tergelak kasar tanpa henti.
“Qian ze!!” [1]
“Ha ha ha !!!”
Mereka masih tertawa dan saling menepuk pundak bergantian. Sebuah keakraban yang penuh tipu-daya.
Pada saat pelayan menghampiri keduanya untuk menawarkan minuman ala kadarnya, Tek Siang langsung menyodorkan gelas minuman ke sahabatnya.
“Minum dulu, Kiat.”
“Terima kasih, sahabat lamaku, Tek Siang.”
Keakraban yang pasti dibuat-buat. Tidak banyak yang tahu, kecuali hanya oleh keduanya dan seseorang yang sejak tadi mengintip dari balik gorden jendela kamarnya. Sejak tadi bahkan, Giok Hong mengikuti arah pembicaraan keduanya. Bagaimana tidak cemas kalau Giok Hong sangat paham duduk soal yang sebenarnya. Giok Hong semakin yakin, di antara keduanya sedang terjadi persaingan berat.
Sasaran utama Oen Kiat malam ini hanyalah menyaksikan dirinya berlatih bagi penampilan besok malam. Oen Kiat seperti ingin menagih janji Giok Hong atas satu-satunya balasan dari sekian puluh kali surat yang telah dikirimnya.
“Kalau Koh Kiat berani datang ke rumah Koh Tek Siang di malam latihan, aku akan menyanyi persis di depanmu, membiarkan tanganku kamu pegang agak lama di malam latihan itu,” tulis surat balasan itu.
Giok Hong benar-benar gila. Dia sedang menantang bahaya “angin ribut” yang tidak seorang pun tahu. Kecuali Parjan, tukang sapu rumah besar ini, kurir siluman Oen Kiat—pengantar berlembar-lembar kertas rayuan yang ditujukan untuknya. Tidak seorang pun tahu, karena memang dia tidak memberi tahu siapa pun. Tidak juga Ing Wen, perempuan yang sangat ia percaya untuk urusan hati dan perasaannya.
Yang lebih gila lagi, malam ini Tek Siang malah menunjukkan gengsinya sebagai laki-laki. Ia tampil agak berani di hadapan Oen Kiat, tamu seterunya itu. Gagasan yang sungguh tidak masuk akal. Tidakkah ia berpikir bahwa semua ini justru akan melukai diri sendiri? Jangan-jangan hanya ingin menguji, seberapa jauh Tek Siang sanggup melawan perasaannya sendiri?
Kini, Giok Hong masih mengamati penuh seksama, bagaimana dua orang itu saling bercanda. Sementara penonton lain mulai masuk ke arena latihan. Semakin malam, semakin membanjir. Seperti akan berlangsung pergelaran orkes yang sebenarnya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, awak musik akan memasuki arena. Mereka kelihatan santai, karena bukan yang diumpankan bagi kehadiran Oen Kiat. Bagi Giok Hong pun, latihan malam ini mesti benar-benar istimewa. Harus benar-benar menarik hati Oen Kiat. Karena semakin menjadikan Oen Kiat merindu dendam, akan terasa kerdillah orang itu di depan mata.
Lantas kapankah latihan dimulai? Sebentar lagi.
Tak ada yang tahu, apa yang akan terjadi setelah ini. Yang pasti, Tek Siang langsung memberi aba-aba agar latihan segera dibuka. Benar juga, para awak musik mulai memasuki arena, sementara penonton langsung berhimpit mengambil posisi duduk ke depan.
Pada jarak sekitar tiga meter, antara pemain dan penonton saling berhadapan. Arena rumah konser Tek Siang malam ini sungguh luar biasa. Penuh dikerumuni orang-orang yang selama ini tak pernah menyaksikan pertunjukannya.
Giok Hong pun sejak tadi telah bersiap-siap. Untuk mengusir cemas, berkali-kali ia remas sapu tangannya. Berkali-kali disekanya keringat di tengkuknya. Akankah ia penuhi janji Oen Kiat dengan cara mendekat? Menyanyi mesra di depan cukong gembul tua itu, dan membiarkan tangannya teremas dalam genggaman tangan si tua?
Di meja kecil tidak jauh dari Hong duduk, tergeletak secarik catatan lirik favorit Perkoempoelan Tjahaja Timoer. Lagu “Angin dari Laoetan”, karya sang pemimpin akan segera ia nyanyikan. Ing Wen mendadak masuk ke kamar, mengisyaratkan agar Giok Hong bersiap-siap.
“Koh Siang minta kamu bermain total,” katanya.
Giok Hong memang mengangguk, namun siapa bisa menebak jika hatinya kini sedang sangat hampa?
Andai tidak memenuhi janjinya, si Hidoeng Belang itu pasti akan terus mengejar. Bukan tidak mungkin, terang-terangan akan berkata kepada Tek Siang tentang isi surat balasan Giok Hong yang sangat menantang itu. Tapi tidak, itu tidak boleh terjadi. Giok Hong sudah berketetapan hati melakukan rencana semula. Membiarkan tangannya dipegang kuat dan lama, ketika bernyanyi persis di depan Oen Kiat.
Musik yang terdiri atas alat gesek, tetabuhan etnik China, dan sitar tradisional telah berbunyi. Iramanya ritmis dan saling menimpali. Bagi yang tidak biasa mendengar, irama itu seolah bisa membawanya ke alam yang tidak semestinya. Serupa naviri surga yang menembus lapisan langit teratas. Ratapan syairnya luar biasa lara.
Bersamaan dengan terdengarnya pembuka lagu panjang itu, Giok Hong pun membuka gorden yang memisahkan arena pertunjukan dengan rumah utama. Penonton bertepuk tangan. Para relawan kampung mengatur penonton yang mulai merangsak masuk.
Tek Siang tidak menyia-nyiakan kesempatan dengan mencuri pandang ke arah Oen Kiat. Ah, kian berdegup saja jantung Tek Siang tua saat melihat sahabatnya menatap Giok Hong sang primadona. Tidak berkedip, bahkan sorot matanya seperti kalap. Diam-diam mulai ada kekhawatiran dari Tek Siang, jangan-jangan malam ini Oen Kiat memang sedang kalap.
Ia ingin tidak percaya, tapi yang terjadi memang sesuatu yang sungguh tidak dikehendaki. Di arena latihan, ketika menyanyikan lirik “O, angin dari laoetan/Angin tedoeh angin terbilang/Engkaoe pun koe bajang…,” mata Giok Hong menyambut nakal ke arah Oen Kiat. Giok Hong tidak menatap Tek Siang sama sekali, tidak menggubris si Tuan Besar barang beberapa detik pun.
Inikah pertanda perubahan arah angin asmara? Apa yang Giok Hong inginkan dengan bersikap tidak adil dan menganiaya dirinya? Tek Siang ingin berteriak dalam hati. Sebenarnya ingin melolong seperti serigala liar pada malam hari. Namun semua jeritan itu tidak terucap, terbungkam rapat oleh rasa gengsi dan harga diri.
Itu pun masih belum seberapa. Andai Oen Kiat sesekali saja menyapanya, mengajak menikmati kebahagiaan ketika menatap kecantikan primadonanya, ia pun rela. Tapi tidak sama sekali. Oen Kiat tak menganggap ada orang lain di sampingnya. Meski orang itu adalah Tuan Besar bagi perkumpulan yang sangat terkenal ini. Apalagi gerakan mata Oen Kiat ikut menari ke arah mana Giok Hong mengayunkan kaki.
Sakit hati ini kian memuncak, ketika Tek Siang menghitung-hitung jasa besarnya dalam memerintahkan Giok Hong agar tampil mesra terhadap Oen Kiat. Itu benar-benar jasanya. Akankah Oen Kiat tak berhitung sama sekali?
Ketika Hong terus bernyanyi, laki-laki gembul itu semakin dekat dan terus mendekat. Persis beberapa langkah di depan Giok Hong. Darah Tek Siang pun mendesir kencang.
Tapi gila juga, Giok Hong menyambut godaan itu. Ia juga mendekat, semakin dekat, bibirnya yang bagus setengah membuka ketika menerima selipan angpao dari tangan Oen Kiat. Tangan Giok Hong otomatis berada di genggaman laki-laki itu. Lama dan lama sekali. Siapa tahu Oen Kiat meremasnya beberapa kali, mungkin malah menggenggamnya kokoh sekali?
Tek Siang tidak berani membubarkan genggaman tangan keduanya. Sebenarnya bukan masalah nyali, melainkan soal sopan-santun. Jika hal itu ia lakukan, apa kata orang di sekitar sini? Dirinya akan dicap sebagai tuan rumah yang kekanak-kanakan.
Sayang, tangan Giok Hong hingga kini pun belum terlepas dari tangan Oen Kiat. Malah sebaliknya. Tangan indah itu sekarang pasrah di genggaman tangan Oen Kiat.
Sembari terus bernyanyi. Sembari terus menari.
Situasi semakin tidak terkendali.
Tidak cuma menggenggam tangan, dalam suasana pesta pora, laki-laki yang hampir susah menyangga tubuhnya sendiri itu malah berjoget di tengah arena. Giok Hong masih meladeni, dengan terus menempel gerakan susah si tamu istimewa ini.
“Akoe berlaboeh di hatimoe, akoe maoe/Akoe berserah di tjintamoe, akoe maoe….” Lirik yang terus merajuk, yang menjadikan seluruh awak orkes terpancing untuk bermain lebih gila lagi. Yang di atas itu bagian dari syair “Angin dari Laoetan”. Semuanya terpancing, bahkan penonton pun bertepuk riuh, bunyinya menyerupai ketukan musik bertabuh-tabuh.
Hanya Tek Siang yang duduk dan membisu.
Matanya kosong. Tidak menatap ke pusat tontonan, Giok Hong dan Oen Kiat. Tatapan matanya menyamping, air matanya mengembang bening.
Serta-merta, Tek Siang yang berperawakan pipih itu bangkit penuh amarah. Tiba-tiba menghambur bersama awak musiknya, mengambil rebab China yang sejak tadi seharusnya sudah ia mainkan. Namun cuma teronggok di sudut sepi. Dan… Dan… suara emas Giok Hong yang syahdu itu mendadak ditimpal begitu saja suara rebab oleh gesekan tangannya. Tidak beraturan dan kacau sekali.
Namun bagi yang tidak paham, perpaduan tersebut malah menjadi harmoni luar biasa indah. Suara halus, tari-tarian mabuk, hentakan rebab yang digesek secara murka.
Tahunya para penonton, latihan malam ini sengaja dibikin dahsyat. Buktinya, Perkoempoelan Orkes Tjahaja Timoer tidak seperti berlatih biasa. Di mata mereka, Giok Hong sudah tidak segemetar penampilannya yang pertama. Senyumnya melebar, lirikan matanya berkeliling nakal.
Hanya wajah Tek Siang yang tidak terlihat. Sembari terus memainkan rebab, sengaja membiarkan rambut panjangnya menutupi wajah. Siapa mengira Tek Siang sedang terjungkal kalah? Tidak seorang pun boleh tahu bahwa air mata laki-laki renta itu sedang berderai-derai. Air mata itu sedang bercampur tetesan keringat kemarahannya.
Hingga tiga lagu berikut, Giok Hong benar-benar menunjukkan siapa dirinya. Ia sangat pantas menjadi primadona. Pantas menyandang gelar itu, karena memiliki segala-galanyanya. Suara indah, bentuk tubuh indah, gemulai tangan saat menari di sela-sela lagu yang ia nyanyikan.
“Aku akan kemari lagi besok malam. Aku akan membawa banyak teman,” kata Oen Kiat pada Tek Siang, usai latihan.
“Siang, hebat sekali kowe. Luar biasa punya primadona kempling seperti dheweke,” serunya lagi pada Tek Siang.
Yang diajak bicara cuma manggut-manggut. Senyumnya tipis, tatapannya meredup.
“Telah kamu dapatkan apa yang kamu inginkan malam ini,” desis Tek Siang, ketika mengantar Oen Kiat ke pintu.
“Ini belum seberapa. Owe ingin yang lebih dari ini besok malam,” ia menjawab tak kalah lihai.
Kali ini Tek Siang tidak membalas. Tangannya menjulur ke tangan sahabatnya, mereka bersalaman.
Di mata para awak orkes, malam ini sungguh latihan yang luar biasa. Jarang sekali mereka melihat Giok Hong memiliki jati diri sebesar sekarang. Tidak canggung menari dan bernyanyi lepas sekali. Hong juga mulai berani menyapa penonton istimewa, dengan membiarkan tangannya lunglai di genggaman tangan Oen Kiat.
Tapi bagi sang Pemimpin Besar, malam ini tidak ubahnya sebuah kiamat kecil. Untunglah telah berlalu. Andai dua jam lagi berlangsung seperti ini, hati kecilnya tidak berani menjamin, akan terjadi kiamat tandingan macam apa di pergelaran ini. Namun kiamat besar masih akan berlangsung besok malam, saat konser yang sebenarnya. Apalagi Oen Kiat berjanji hendak membawa serta geng besarnya, ia meminta lebih dari sekadar malam ini.
Meminta lebih seperti apakah yang Oen Kiat maksudkan? Kalau bos penyalur gandum terbesar itu menghendaki, apa pun harus terjadi. Akankah ia berikan Giok Hong pada orang terkaya di lorong Pecinan ini?
“Owe ndak butuh duit besar, Owe sudah kaya,” bisik hatinya diam-diam.
Jika Tek Siang menghendaki, Oen Kiat akan merelakan rumahnya di tepi Kali Koeping menjadi miliknya. Harga itu akan ditukar mahal dengan diserahkannya Giok Hong sebagai gundiknya. Rumah itu tergolong besar. Bisa setengah dari luas rumahnya yang sekarang. Untuk seorang pedagang yang berhitung kasar, merupakan kebodohan besar jika tawaran itu tersia-siakan.
Tapi tidak bagi Tek Siang. Ia masih punya harga diri. Tidak akan membiarkan Giok Hong keluar dari rumah besarnya dengan alasan apa pun. Perempuan muda itu menjadi satu-satunya milik Tek Siang yang paling berharga pada saat ini.
***
SETELAH malam latihan yang penuh malapetaka itu, kamar Giok Hong seperti ruang kuburan yang senyap dan tak berpenghuni. Tengah malam yang biasanya penuh canda dan asyik-masyuk bersama Tek Siang, malam ini serasa sunyi.
Hanya kipas angin besar yang terus berputar pelan dengan gerakan letih. Letak kipas angin itu tepat menggelayut di atap kamar, sejajar vertikal dengan wajahnya di saat berbaring. Di malam-malam seperti ini, biasanya Tek Siang telah menyusul. Namun malam ini tidak ada tanda-tanda. Ini pertanda, Pimpinan Besar Perkoempoelan Tjahaja Timoer sedang tidak menghendaki dirinya.
“Koh Tek Siang adalah seorang kanak-kanak dengan raga yang renta. Pasti ia sedang marah besar, aku harus merajuknya,” bisik Giok Hong dalam hati.
Di sudut kamar ini, terdapat altar kecil untuk sembahyang. Sepetak meja berukuran tidak seberapa, ditata menyerupai tempat sesaji. Menjelang perayaan Imlek seperti sekarang, Giok Hong terbiasa mempersiapkan altar kecil bagi sembahyangan Zao Jun Ye. Patung sang Dewa Dapur diletakkan di tengahnya, di kiri-kanan patung tersebut menempel sepasang lirik yang ditulis di atas kertas merah. Bunyi tulisan itu semacam doa, kalau dibaca akan berbunyi:
“Laporkanlah segala kebaikan kami kepada Tuhan yang Agung di langit. Datangkanlah berkah andai Paduka yang Mulia turun ke bumi.” Tulisan serupa juga ditempel menyilang di atas patung Zao Jun di altar itu.
Giok Hong menyeret langkahnya ke sana. Berdoa sejenak, kemudian berusaha membetulkan letak pakaiannya yang agak kucel. Ia ingin mengetuk pintu kamar Tek Siang di ruang utama. Ia ingin menghiba, ingin meminta maaf terhadap kekurangajaran yang dilakukannya dengan sengaja saat latihan tadi.
Jika menuruti perasaan kanak-kanaknya, Giok Hong tidak ingin meminta maaf. Toh apa yang ia lakukan, semata-mata karena perintah Tek Siang? Tapi ketika hal itu dilakukan sepenuh hati, justru muncul rasa cemburu yang tidak terkendali.
Sambil setengah berjingkat, Giok mengendap-endap menuju kamar Tek Siang. Sebuah kamar yang cukup besar, terletak sangat ke dalam dan susah dilewati orang kebanyakan. Pintunya terhitung tinggi besar. Tidak mungkin mampu membangunkan si Tuan, jika mengetuk pintu hanya dengan tangan biasa.
Untuk urusan itu Giok Hong sudah mengerti caranya. Tek Siang mengajari dengan diam-diam. Lempar saja beberapa batu kecil yang sengaja disediakan pada cawan gerabah di dekat jendela. Lemparkan batu-batu kecil itu ke celah jendela. Batu itu akan terjatuh di lantai dan menimbukan bunyi kecil di kamar Tek Siang. Tanda itulah yang kelak memaksa si Tuan untuk membuka pintu.
Giok Hong kini melakukan cara serupa. Meski kurang yakin kalau malam ini pintu akan dibukakan.
Batu kerikil pertama telah dilempar ke celah jendela dan meluncur ke dalam. Suaranya nyaring dari luar. Lama ditunggu, tidak ada tanda-tanda langkah diseret menuju pintu. Artinya, pintu tidak dibuka.
Kerikil kedua dilempar sudah. Suasana hening dan pintu kamar tetap terkunci.
Dengan pikiran yang mulai kacau dan tidak menentu, Giok Hong pun melempar batu kerikil ketiga, keempat, dan kelima. Ditunggu selang beberapa lama, pintu kamar Tek Siang pun tidak membuka. Hilang kesabaran Giok Hong, ia pun berteriak setengah terisak, memanggili Koh Tek Siang-nya.
“Koh Tek Siaaaaaaaaang…!!!!”
Teriakan histeris itu membentur dinding rumah yang tebal dan tinggi, untuk kemudian memantul balik ke arah Giok Hong sendiri.
“Shenme shi wo de cuu??!! [2] Koh Tek Siang…,” ratapnya serupa lolongan.
Dalam ratap tangis penuh penyesalan, Giok Hong tak henti-henti membenturkan kepalanya sendiri di dinding pintu kamar besar tadi. Benturannya memunculkan suara berdebam. Semakin lama, semakin sering dan semakin keras.
“Koh Tek Siaaang huu… huuu… huu….”
“Ni shangle wo….” [3]
Tangisan itu kian menjadi. Tidak ada kalimat lain kecuali Giok Hong mengucap kalimat lirih ini berkali-kali, “Wo hen boqin, Koh…. Wo hen….” [4]
Namun pintu tetap tidak dibuka. Dalam waktu yang agak panjang, Giok Hong terus menangis, masih membentur-benturkan jidatnya hingga berdarah.
Tek Siang pun bukan tidak mendengar semua ratap tangis Giok Hong.
Di balik pintu, laki-laki tua itu pun mengusap air mata iba. Ingin sekali dibukanya pintu tersebut, lantas membawa masuk Giok Hong ke kamarnya. Namun martabat dirinya sebagai seorang pimpinan melarang keras melemahkan pikiran itu. Giok Hong harus menerima hukuman atas kekurangajarannya.
Tek Siang pun tidak kalah meratap. Dalam bisikan yang tipis sekali, ia terus mendesis dengan kata-kata: “Yunling [5], Hong….” ***
.
.
Catatan:
*Cerpen Angin dari Laoetan merupakan bagian dari novel Kancing yang Terlepas.
*Istilah-istilah:
[1] Qian ze!!: Sialan.
[2] Shenme shi wo de cuu?: Apa salahku?
[3] Ni shangle wo: Kau menyakiti hatiku
[4] Wo hen boqin, Koh…. Wo hen….: Aku minta maaf.
[5] Yunling: Kumaafkan
.
.
—Handry TM, mantan redaktur Sastra-Budaya Suara Merdeka. Tahun 2021 terbit buku kumpulan esainya berjudul “Tuhan Tidak ke Mana” dan novel “Prahara Gang Pinggir” (Bahaa Jawa).
.
Angin dari Laoetan. Angin dari Laoetan. Angin dari Laoetan. Angin dari Laoetan. Angin dari Laoetan. Angin dari Laoetan.
Leave a Reply