Cerpen Dadang Ari Murtono (Kaltim Post, 11 Desember 2022)
“JANGAN disentuh,” kata perempuan itu. Dan si lelaki mundur selangkah.
“Ini hanya kalung,” kata si lelaki kemudian. “Memangnya apa yang akan terjadi kalau aku menyentuh kalung ini?”
“Kau akan kembali hidup,” jawab si perempuan. “Dan kita sama-sama tahu jika itu tidak benar.”
Namun, si lelaki kembali menjulurkan tangan. Lantas menyentuh kalung itu. “Lihat,” kata si lelaki. “Tidak ada yang terjadi.”
Si perempuan tampak kesal. Wajahnya merengut dan ia meremas-remas tangan sendiri. “Lelaki tua terkutuk itu!” gerutunya. “Ia menipuku.”
“Lelaki tua yang mana?” tanya si lelaki.
“Lelaki tua yang menjual kalung itu,” jawab si perempuan. “Yang mana lagi? Rp 2 juta. Gila, dia menjual sampah itu Rp 2 juta. Dan itu uang tabunganku.”
“Kau menabung?” si lelaki terkejut. “Aku tak pernah tahu kau menabung.”
“Kau memang tak pernah tahu apapun,” jawab si perempuan. “Lebih tepatnya, kau tak pernah mau tahu apapun tentangku.”
“Itu tidak benar,” si lelaki tampak kesal. “Kau tahu kau tidak benar. Aku tahu segalanya tentang kau. Aku bahkan tahu siapa Usman Alimi.”
Si perempuan terperangah. “Kau tahu siapa Usman Alimi?”
Si lelaki membanting pantatnya di ujung tempat tidur. “Aku tak ingin membahasnya,” katanya. “Seharusnya aku tak perlu mengatakannya. Namun, ya, aku tahu siapa dia. Aku selalu berusaha melupakannya.”
Si perempuan duduk di samping si lelaki. Ia menunduk. “Maafkan aku,” katanya, “aku sedang mabuk waktu itu.”
“Dan kau mengulanginya,” jawab si lelaki. Matanya menerawang jauh. “Dua atau tiga kali.”
“Tiga kali,” kata si perempuan. “Kau benar. Aku tiga kali tidur dengannya. Kukira kau tidak tahu. Namun setelah itu aku menyesal dan kami memutuskan berpisah. Kami tidak pernah lagi bertemu. Ngomong-ngomong, dari mana kau tahu itu?”
“Aku tahu,” kata si lelaki. “Kita berbagi jiwa yang sama. Kau ingat, kita pernah berkata masing-masing kita menyimpan separuh hati masing-masing yang lain. Kukira itu bukan hanya gombalan.”
“Ya,” jawab si perempuan. “Itu bukan hanya gombalan. Namun tetap saja rasanya tidak masuk akal kau mengetahui perselingkuhanku dengan cara semacam itu. Maksudku, hanya dengan kita sama-sama mengatakan jika kita menyimpan separuh hati masing-masing.”
Si lelaki menundukkan kepala. “Aku membayar seseorang,” katanya. “Untuk membuntutimu.”
“Kau melakukannya?” si perempuan menatap si lelaki tajam.
“Sebab waktu itu,” kata si lelaki, “kau tidak mau kusentuh. Seminggu, lebih tepatnya. Dan pada waktu itulah aku mulai mencari seorang detektif swasta. Ia memberitahuku semua. Termasuk bahwa kalian, maksudku kau dan Usman Alimi, berpisah. Karena itu aku berpikir persoalannya sudah selesai dan aku mengurungkan niat menceraikanmu.”
“Kau berpikir menceraikanku?” si perempuan menjerit.
Si perempuan kemudian bangkit dan berjalan mendekati jendela. “Namun secara umum,” katanya, “kehidupan kita luar biasa dan baik-baik belaka.”
“Luar biasa baik,” jawab si lelaki. “Kecuali urusan anak-anak.”
“Mereka juga baik,” kata si perempuan. “Tidak ada yang salah dengan mereka menurutku. Kita membesarkannya dengan baik dan mereka menemukan jalan sendiri-sendiri. Ngomong-ngomong, apa yang sedang mereka kerjakan sekarang ya?”
“Kita membesarkan mereka dengan buruk,” jawab si lelaki. “Jika tidak, mereka pasti sudah berada di sini. Kau tahu itu. Kau tak perlu menghibur dirimu sendiri. Dan saat ini, aku berani bertaruh mereka sedang bersenang-senang dengan keluarga mereka sendiri. Mereka melupakan kita.”
Si perempuan mendesah. “Setidaknya,” katanya, “kita sudah berusaha membesarkan mereka sebaik-baiknya. Mereka dapat pekerjaan layak dan sepertinya hidup lebih layak ketimbang kita. Kau betul sudah menelepon mereka, bukan?”
“Masing-masing empat kali,” jawab si lelaki. “Dan tidak ada yang mengangkat. Dan sekarang, sudah sangat terlambat untuk kembali menelepon. Kita tidak bisa menelepon lagi.”
“Mungkin mereka sibuk,” ujar si perempuan.”
“Empat kali telepon untuk masing-masing dari mereka dalam jangka waktu lima hari,” sahut si lelaki ketus. “Menurutmu sesibuk apa mereka selama lima hari hingga bahkan mereka tak menelepon balik? Bahkan presiden saja tidak sesibuk mereka.”
Si perempuan tertawa. “Yang lucu adalah,” katanya kemudian, “jika salah satu anak-anak kita itu Jokowi, maka ia pasti akan menelepon balik. Menjadi presiden justru sama sekali tidak sibuk. Ia tidak pernah mengurusi rakyatnya, bukan?”
Si lelaki melotot. “Jangan sembarangan,” katanya. “Kau bisa ditangkap polisi. Atau setidaknya, orang-orang di medsos akan menyerangmu akibat perkataanmu itu. Kau boleh ngomong apapun, namun tidak tentang presiden.”
“Maksudmu,” koreksi si perempuan, “hal-hal buruk tentang presiden, ‘kan?”
Si lelaki mendengus.
“Bagaimana pun,” kata si perempuan setelah diam beberapa saat, “mereka tidak akan bisa menangkap kita. Kita sudah mati.”
“Aku benci kau mengingatkanku hal itu,” jawab si lelaki.
“Namun memang begitulah kenyataannya.”
“Sudah berapa lama ya?” si lelaki bertanya.
“Jangan tolol,” sahut si perempuan. “Kau mati, bukan menjadi pikun. Dan kau tak pernah pikun. Kita baru mati dua hari.”
“Seperti sudah bertahun-tahun.”
“Jangan mendramatisasi.”
“Menurutmu,” kata si lelaki, “kapan seseorang akan menemukan kita?”
“Mungkin tidak akan pernah,” jawab si perempuan. “Mungkin jasad kita akan membusuk. Dan tidak akan ada yang menemukannya. Mungkin bertahun-tahun dari hari ini, ketika bahkan tulang belulang kita sudah hancur, baru ada seseorang yang mengetuk pintu rumah kita, lantas karena tidak mendapatkan jawaban, memaksa masuk, dan tidak menemukan apa-apa selain kesunyian.”
“Dan sarang laba-laba,” kata si lelaki.
“Dan kecoak.”
“Aku berharap anak-anak itu akan datang,” kata si lelaki. “Meskipun kita tidak membesarkannya dengan baik, meskipun mereka tidak mengangkat telepon ketika kita sama-sama sakit, dan tetap saja tidak datang setelah kita sama-sama mati.”
“Aku tidak keberatan mereka tidak datang,” kata si perempuan. “Mereka sudah hidup dengan baik, seperti kataku. Dan itu sudah cukup bagiku. Aku tidak mengharapkan hal lain.”
Si lelaki mendengus.
“Kau tahu apa yang kusyukuri?” si lelaki tiba-tiba bertanya.
“Apa?”
“Bahwa kita mati bersama-sama,” jawab si lelaki. “Dan bahwa kita tetap bersama setelah mati. Seperti sekarang.”
Si perempuan tersenyum. Kemudian mereka berpelukan.
“Aku mencintaimu,” bisik si perempuan.
“Aku tahu,” kata si lelaki. “Aku tahu.” ***
.
.
DADANG ARI MURTONO. Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku terbarunya, Cara Kerja Ingatan, merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Dia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.
.
Sepasang Orang Mati. Sepasang Orang Mati. Sepasang Orang Mati. Sepasang Orang Mati.
Leave a Reply