Cerpen Adhimas Prasetyo (Suara Merdeka, 08 Desember 2022)
SUARA keletak rokok dan lagu The Beatles mengingatkanku akan Lia. Lia adalah perempuan yang kehadirannya tidak mencolok. Maksudku tidak mencolok karena saat berkumpul dengan banyak orang, ia tidak banyak bicara dan tidak juga pendiam. Seolah kehadirannya adalah hal yang wajar.
Dari penampilannya, hal yang paling mencolok adalah bentuk hidungnya yang mungil seperti jambu air. Rambutnya agak bergelombang sebahu dengan poni terbelah, kulitnya berwana putih pucat, sedangkan tubuhnya bisa dibilang kurus. Ia biasa mengenakan baju dengan lengan tanggung berwarna cerah dan celana jeans ketat.
Hal lain yang bisa kuingat adalah senyumnya. Aku pernah mengatakan kepadanya bahwa senyumnya itu seperti angin. Awalnya aku tak tahu dari mana perumpamaan itu kudapatkan. Hingga pada satu waktu setelah aku dan Lia berpisah, aku mengingat metafora itu kudapatkan dari lirik lagu The Beatles, Julia. Singkatnya, Lia mungkin bukanlah tipe perempuan yang membuat seseorang jatuh hati pada pandangan pertama.
Kopi kalengan dingin kutenggak lagi. Cuma aku sendiri di teras minimarket. Beginilah malam yang sumuk kulewatkan sambil memutar-mutar memori tentang Lia.
Sewaktu kuliah, Lia dan aku beberapa kali berada di kelas yang sama. Bisa dibilang, aku memiliki hubungan yang agak rumit dengannya. Pertemuan pertama kami adalah saat masa orientasi kampus. Aku berpapasan dengannya di lorong sebuah gedung selepas kegiatan orientasi selesai. Kami sama-sama canggung untuk saling menyapa, hingga kami cuma berdiam diri pada beberapa detik. Begitulah, Lia menjadi seseorang yang mengisi pikiranku selama masa-masa kuliah, bukan karena penampilannya, tetapi karena momen saat kami pertama kali bertemu.
Perlu diketahui, saat itu aku memiliki hubungan dengan perempuan lain yang telah berjalan selama hampir satu tahun. Kami menjalani hubungan jarak jauh karena memilih kampus yang berbeda. Ia mengambil kuliah kedokteran di satu kampus ternama, sedangkan aku mengambil jurusan sastra di kota yang berjauhan dengan kampusnya. Awalnya kami masih menjaga komunikasi, tapi selang beberapa bulan sedari awal perkuliahan, komunikasi itu semakin jarang, hingga berakhir begitu saja. Aku mendapati bahwa ia telah memblokir semua akun media sosialku.
Kembali kepada Lia, ia mengambil jurusan yang sama denganku. Pada semester awal, aku mengobrol dengannya sebatas keperluan perkuliahan. Aku kira Lia telah melupakan pertemuan pertama kami. Barangkali memang pertemuan itu bukanlah hal yang spesial, hal yang pantas untuk diromantisasikan.
Kedekatan kami bermula pada suatu sore, saat aku mendapatinya sedang membaca buku di sekitar area parkir, di bawah lampu penerang. Sore itu kampus sudah sepi, aku menghampiri Lia yang sedang menunduk pada bukunya. Lia menyadari kehadiranku. Setelah negosiasi misterius, ia mengerti kehendakku dan mengizinkanku untuk duduk di sebelahnya dengan anggukan pelan kepadaku. Singkatnya, diawali oleh kejadian itu, akhirnya kami sering menghabiskan waktu pada hari-hari setelahnya.
Belakangan Lia mengatakan kepadaku bahwa ia senang ditemani saat ia membaca buku, karena yang kulakukan hanyalah merokok dan sesekali memutar lagu dari ponsel dengan volume rendah. Bahkan kadang aku hanya merokok sambil mendengar suara keletak dari puntung rokokku.
Lia adalah seorang pembaca yang rakus, meskipun di kelas maupun di klub sastra kampus Lia jarang sekali berbicara. Ia membaca karena ia suka, itulah yang kusimpulkan setelah lebih jauh mengenalnya. Dari Lia aku mendapatkan banyak referensi bacaan. Dari banyak bacaannya, Lia menggemari karya-karya penulis Jepang seperti Akutagawa, Kawabata, Natsume Soseki, dan penulis yang paling disukainya adalah Haruki Murakami. Karena Lia, aku ikut gandrung dengan karya dari penulis-penulis Jepang. Meskipun Lia senang membaca buku, ia tidak berminat untuk menjadi seorang penulis, setidaknya itu anggapanku, sebab aku hampir tidak pernah membaca karyanya.
“Aku enggak suka Beatles, itu lagu Beatles kan?” Satu waktu Lia berkata sambil menutup bukunya, saat itu ia mendapatiku memutar lagu If I Fell dari ponsel. “Mereka kayak sekumpulan cowok tengil norak, apalagi dengan kostum-kostum yang tak kalah noraknya.”
Aku cuma tertawa ringan mendengar perkataannya. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Lia. Di sekitaran area parkir ini, aku mengenal Lia yang banyak berbicara, tidak seperti Lia di dalam kelas atau di klub sastra.
“Aku tahu banyak tentang Beatles dari karya-karya Murakami,” lanjut Lia. “Terakhir aku baca cerpen With The Beatles, itu dari album mereka kan? Protagonisnya bilang, ia mendengar Beatles cuma sebagai latar, karena waktu itu hampir semua radio memutarnya. Kamu sendiri kenapa suka Beatles?”
Aku lupa persisnya jawabanku dari pertanyaan Lia itu. Aku mendengar The Beatles karena aku cuma suka mendengarkan musik. Semasa SMA aku pernah membentuk grup band. Di band itu aku berperan sebagai gitaris dan vokalis sekaligus. Kami sering memainkan lagu-lagu The Beatles yang chord-nya mudah. Saat masuk ke jenjang kampus, aku harus meninggalkan mimpi untuk menjadi seorang pemain band. Pada akhirnya, mimpi itu berganti untuk menjadi seorang penulis. Kedua mimpi itu sama kekanakannya. Sebab kini aku menyadari bahwa aku hanya akan menjadi penulis medioker.
Kebiasaan duduk di area parkir itu berlangsung barangkali selama beberapa bulan. Lia menunduk sambil membaca buku, sedang aku mendengar lagu dan bunyi keletak rokokku, setelahnya kami mengobrol sambil meminum kopi kalengan dingin yang kadang sengaja kubelikan untuknya. Kami berbicara tentang Lennon yang menjadi personel favoritku, Yoko yang dihujat karena dianggap menghancurkan Beatles, Murakami yang menulis tanpa kerangka cerita, dan hal-hal sepele lain seperti gosip yang beredar di kelas dan di klub sastra. Kadang aku juga memberikan cerpenku dan meminta saran darinya.
Dalam kisaran waktu yang cuma beberapa bulan itu, aku dan Lia sering menghabiskan waktu berdua, termasuk saat kami berada di kelas. Teman-teman lain mengira kami memiliki hubungan spesial. Aku tak memusingkan anggapan mereka, sebab aku menyadari bahwa aku semakin menyukainya.
Hingga pada satu malam, aku tak bisa menahan diri untuk menciumnya saat Lia belum sempat membuka buku di genggamannya. Area parkir kala itu sepi. Aku merasa bahwa Lia tidak menolak ciumanku. Aku tidak ingat persis kejadian setelahnya, atau tepatnya aku tidak ingin mengingat kejadian setelahnya. Apa yang kuingat adalah malam itu aku dipenuhi rasa sesal.
Setelah malam itu, pertemuan di area parkir itu berakhir sudah. Lia seakan berusaha menghindar dariku, meski kami berada di kelas yang sama. Tinggallah aku dengan rasa bersalah yang menyakitkan.
Pada masa pertengahan perkuliahan, aku coba mengalihkan pikiranku dengan banyak membaca buku dan menulis. Hingga satu cerpenku akhirnya menembus satu koran nasional. Begitulah mimpi kekanakanku untuk menjadi seorang penulis bermula. Aku akhirnya tidak lagi berusaha untuk mendekati Lia. Ia memiliki dunianya sendiri, dan aku tidak ada di dalamnya.
Pertemuan terakhirku dengan Lia berada pada satu malam pada akhir masa kuliah. Aku menerima sebuah pesan singkat dari Lia, ia memintaku untuk pergi ke area parkir saat itu juga. Di sana, aku mendapati Lia tanpa buku bacaan seperti dahulu, ia cuma menyediakan dua buah kopi kalengan dingin.
Pada malam itu ia mengenakan terusan panjang, tidak seperti biasanya. Lia tersenyum melihatku, tapi senyuman itu terasa tidak cocok dengan raut wajahnya. Beberapa menit berlalu tanpa percakapan. Penyesalan keduaku adalah karena tidak mengucapkan maaf pada pertemuan itu, barangkali rasa bersalah yang begitu kuat menahanku untuk mengucapkan itu. Saat aku hendak mengambil sebatang rokok dari saku celana, Lia memelukku. Aku merasakan lelehan air mata yang hangat pada pundakku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Selang beberapa menit saat tangisan pertamanya pecah, Lia menatapku dengan senyum yang sama, senyum yang tidak cocok dengan raut wajahnya. Saat itu, aku mengatakan kepadanya bahwa senyumnya itu seperti angin. Ia tertawa pelan mendengar kalimat pertamaku. Aku tidak ingin memaksanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Lia mengusap sisa air di sekitaran mata dengan punggung tangan. Akhirnya ia mulai berbicara, tapi aku sama sekali tidak menangkap apa yang dibicarakannya. Awalnya terdengar suara yang serak dan terpatah-patah, tetapi semakin lama suaranya semakin jelas dan lancar. Ia berbicara tentang banyak hal, meski separuh kata-katanya terdengar seperti tanpa arti, dan Lia tak memberikanku kesempatan untuk menanggapinya.
Ia sempat memberikan ucapan selamat atas cerpen-cerpenku yang dimuat di koran nasional. Ia bilang bahwa ia membaca seluruh cerpenku dan ia menyukainya. Aku yakin, ia menyadari bahwa cerpen yang kutulis itu mirip dengan karya-karya Murakami. Pada satu kesempatan lain, ia mengatakan bahwa sebenarnya ia mencintaiku, kalimat itu terdengar pelan tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Monolognya berhenti saat titik-titik hujan mulai turun.
Aku menyetujui untuk segera pergi ke kosnya sebelum hujan menjadi deras. Baru kali itu aku masuk ke kamar kosnya, ia langsung merebah dengan posisi menyamping di atas kasur. Aku merebah di sampingnya. Kami saling bertukar tatap. Ia berkata kepadaku lagi bahwa ia mencintaiku, dan memohon kepadaku agar tidak meninggalkannya. Pada beberapa menit kemudian aku sadar bahwa ia mulai terlelap.
Aku bisa mengingat suara dengkurnya yang lembut, kantung matanya yang sembab, dan posisi tidurnya yang meringkuk. Gerimis telah berhenti, dan kupikir tidak seharusnya aku bermalam di kamarnya. Saat itu, aku menahan keinginan untuk mencium bibirnya lagi, sebab aku masih mengingat rasa bersalah atas ciuman pertamaku dengannya. Akhirnya aku memutuskan untuk menulis sebuah pesan pamit di sebuah kertas. Kertas itu kuselipkan di sebuah buku yang berada di samping kasurnya.
Lia terbangun dan bertanya ke mana saat mendapatiku membuka pintu. Aku menjelaskan bahwa aku harus pamit karena satu-dua alasan. Malam itu, Lia tidak mencegahku untuk pulang. Saat aku sedang mengenakan sepatu, ia sempat berkata kepadaku, sebuah permintaan terakhirnya yang hingga hari ini belum kulakukan, tulis aku seperti satu tokoh perempuan dalam karya Murakami. Maka inilah penyesalan ketigaku, penyesalan terakhirku terhadap Lia, aku seharusnya tidak pergi.
Setelah malam itu, Lia pergi begitu saja, pergi untuk kedua kalinya. Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya, baik di kelas maupun di lingkungan kampus, bahkan ia tidak lagi berada di kosnya. Nomor ponselnya tidak lagi aktif. Kuliahnya pun ditinggalkan begitu saja. Aku cuma tahu satu-dua rumor yang beredar tentang kepergiannya, rumor yang membuat dadaku sakit. ***
.
.
—Adhimas Prasetyo. Menulis dan membuat ilustrasi. Karya-karyanya telah dimuat di media cetak dan daring. Buku puisinya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung.
.
.
Leave a Reply