Cerpen Adam Yudhistira (Media Indonesia, 11 Desember 2022)
DI tepi sungai Batang Asai yang mengering, perempuan muda itu mengisi air ke dalam bambu. Sesekali ia menatap langit. Cahaya matahari merah redup berkeridip, membuat sepasang mata mungilnya menyipit. Ia terdiam. Langit tak pernah semenakutkan ini; muram dan menghitam. Ada ngeri mendenyut di ulu hati, seolah firasat jika sesuatu yang buruk akan terjadi.
Entah apa pasalnya, tahun ini hujan lama tak bertandang, musim kemarau terasa panjang. Daun-daun kelelahan, buah-buah muda tak sanggup lagi bertahan, luruh ke tanah bergiliran. Selasar hutan berselimutkan debu dan kabut asap. Kabut asap terbang ke angkasa, membuat langit berubah warna.
“Menalo, ayo lekas! Anakmu sudah merajuk!”
Satu teriakan ketus membuyar lamunan perempuan muda itu. “Iya, Induk. Aku sudah selesai,” jawabnya sembari berdiri lalu melangkah terburu-buru.
Perempuan setengah baya yang tadi menyeru, tegak di samping bocah lelaki tak berbaju. Bocah itu mengentak-entakkan kakinya di atas batu. Perempuan muda bernama Menalo itu tersenyum. Linggi, anak semata wayangnya, merajuk. Dengan sigap, ia menyambar pinggang anaknya dan membuat bocah itu terpekik kegirangan.
Sejak rimba Menti Ngalembo kedatangan orang terang, banyak keluarga Suku Anak Dalam terusir. Pekat asap pembakaran dan raung mesin penebangan membuat mereka gelisah. Raungan itu bahkan mampu mengalahkan geraman Dewa Merego—dewa penguasa hutan yang paling mereka takuti.
Semua petaka itu dimulai berbulan-bulan lalu. Saat itu asap pekat datang menyebar racun, satu persatu anak-anak meninggal akibat sesak napas dan demam yang berkepanjangan. Rusa, kijang, napo-napo, dan binatang buruan lain turut menghilang, dihalau asap yang mengejat batang tenggorokan.
Saat situasi semakin sulit, Temenggung Tarib akhirnya mengambil keputusan; mereka harus melangun. Lelaki tua itu berkata jika mereka harus meninggalkan sesudongan kalau tidak ingin mendapat celaka.
Saat dingin fajar mencucuk jangat, selepas gelap disibak matahari yang merah terbungkus asap, semuanya berkemas. Menalo, Linggi, dan Induk turut serta dalam keputusan itu. Mustahil bertahan sementara yang lain pergi.
Menalo benar-benar benci orang terang. Orang terang sudah berkali-kali membuat petaka dalam hidupnya. Namun, di antara semua petaka itu, ada petaka lain yang dirasakan langsung oleh Menalo. Petaka yang menerbitkan gores luka yang kian purna di dadanya.
Sebenarnya, Menalo tak sudi mengenang luka-lukanya. Ia menaruh sumpah pada hari saat lelaki itu menyulam cinta di kalbunya. Namun, ia berupaya melupakan kenangan serupa baning bertemu durian. Sekeras apa pun usahanya, ia tidak akan sanggup merenggut kenangan yang bersemayam di kepalanya.
“Kita ini berbeda, tak mungkin hidup bersama.”
“Kenapa?”
“Induk melarangku dekat-dekat denganmu.”
“Aku akan menghadap Induk untuk memintamu jadi istriku!”
Menalo ternganga. Lidahnya dibungkam rasa tidak percaya, tetapi di sisi lain, ia tak menemukan keraguan di mata lelaki itu. Menalo bahagia mendengarnya, tapi di saat yang sama, ia merasa rapuh. Sejak kematian Bak, seluruh keputusan hidupnya berada di tangan Induk dan mengingat kerasnya hati Induk, ia tak yakin lelaki itu sanggup menundukkannya.
Induk tidak pernah menyukai orang terang. Duri-duri pasti akan dibentangkannya untuk menjegal niat mereka hidup bersama. Bagaimanapun, tidak pernah terjadi sebelumnya, seorang gadis rimba dinikahi orang terang. Mungkin adat akan menabukan pernikahan itu dan menciptakan jurang pemisah untuk cinta mereka berdua.
Seperti duga Menalo, tidak mudah melembutkan hati Induk. Hati perempuan tua itu liat bagai jalinan akar beringin. Namun, lelaki itu tak menyerah. Berbilang bulan ia berjuang melunakkan hati Induk. Ia menyatu dalam kehidupan Suku Anak Dalam sebagai relawan. Lelaki itu mengajari anak-anak membaca dan menulis, mengajari cara mencintai alam dengan ilmu pengetahuan. Hal itulah yang membuat cinta di hati Menalo semakin dalam.
Sayangnya, kegigihan itu tak membuat Induk tersentuh. Tidak sedikit pun. Induk justru memilih jalan pemungkas. Ia menemui Temenggung Tarib dan memberitahukan niat orang terang itu meminang Menalo.
Dalam keyakinan tua yang dipelihara, temenggung dianggap perwakilan dewa yang mampu melihat masa depan. Induk berharap jawaban Temenggung Tarib akan membuat lelaki itu pergi dari kehidupan mereka selamanya. Namun, jawaban Temenggung Tarib mengejutkan. Lelaki renta yang paling dihormati itu mengatakan Induk tidak boleh melarang pernikahan mereka. Pernikahan Menalo telah direstui para dewa. Alasan itu membuat Induk kecewa dan menumpahkan amarahnya pada Menalo dan putranya.
Saat pernikahan itu digelar, Temenggung Tarib menjadi perantara dewa yang menikahkan Menalo dan orang terang. Proses pernikahan itu berlangsung sederhana, hanya membenturkan kepala kedua mempelai sebanyak tujuh kali dan pernikahan itu pun dianggap sah. Menalo dan suaminya mulai melakoni babak baru di dalam rimba.
Awalnya, biduk rumah tangga mereka berlayar mulus tanpa kendala. Namun, seperti cacian Induk; orang terang tak ubahnya hantu rimba. Wajah asli mereka serupa raksasa yang bertaring sepanjang sendayang. Tabiat mereka tak mudah diterka. Induk pun benar, belum genap satu tahun berlayar, biduk rumah tangga Menalo mulai bergoncang.
“Hidupku bukan di sini,” kata lelaki itu pada suatu pagi. “Jika kau mau, turutilah aku. Kita hidup dan melanjutkan rumah tangga kita di luar rimba.”
Menalo tidak mampu menjawab permintaan itu. Lidahnya mengeras seperti batu. Ia tidak percaya apa yang didengarnya. Menalo tidak mengerti kenapa mudah sekali sumpah itu diludahi. Berpuluh-puluh kali lelaki itu membujuk dan merayu, Menalo tetap membisu. Hingga di satu titik, akhirnya ia memberikan jawaban.
“Aku tak bisa meninggalkan rimba. Hidupku ada di sini. Jika kau memaksa, sama saja kau berharap aku mati.”
Lelaki itu paham. Tidak ada peluang membujuk Menalo. Istrinya ialah perempuan yang lahir dari rahim rimba dan diasuh hutan belantara. Hari itu ia pergi meninggalkan Menalo. Sebelum benar-benar pergi, lelaki itu mengucapkan janji bahwa ia akan kembali. Namun, Menalo sudah telanjur luka dan janji itu tidak akan pernah mampu menyembuhkannya.
***
Temenggung Tarib memandu kelompok kecil itu menyelinap ke dalam sisa-sisa rimba Menti Ngelembo. Melewati sungai-sungai yang mulai mengering. Menerabas padang ilalang yang kuning, meretas belukar, berpegangan pada akar-akar pohon yang sudah sekarat, hingga tidak terasa langkah kaki mereka tiba di atas bukit yang gersang.
Menalo berdiri, matanya menerawang ke bawah bukit. Ia melihat kabut asap membubung di antara puing-puing pohon yang bergelimpangan. Sesudongan telah musnah. Ada lubang yang mengembang di dada Menalo. Tidak ada yang tersisa. Jika lelaki itu datang, tentu ia tak akan bisa menemukannya. Memang, diam-diam Menalo masih sering berharap lelaki itu datang menepati janjinya—setidaknya dengan begitu Linggi bisa melihat wajah bapaknya.
Menalo menatap langit. Tidak ada kelabu yang menjanjikan hujan. Air di dalam tabung bambu yang ia bawa telah tandas. Sekali lagi Menalo berharap pada langit, tetapi langit masih menyembunyikan hujan. Apa pun yang dilihatnya, ke mana pun ia melepaskan pandangannya, langit dan rimba telah pekat oleh asap yang sewarna daging kelapa.
“Anakmu bertuah, Menalo,” kata Temenggung Tarib pada ujung-ujung hari sebelum ia melahirkan Linggi.
Menalo mengingat kembali percakapan mereka tiga tahun yang lalu. “Ia kelak akan menjadi penyelamatmu.”
Lain kata Temenggung Tarib, lain pula kata Induk. “Tak perlu kau risau. Sudah tabiat orang terang, setelah madumu habis, kau dibuang. Jangan pernah kau menyesalinya. Aku telah mengingatkanmu saat itu.”
Menalo tak bisa membantah. Lelaki itu memang telah menjerumuskannya pada ceruk kesedihan. Menalo tak mampu mempertahankan rumah tangganya. Dalam adat yang dijunjung setinggi bintang, pernikahan merupakan jalan yang harus dilewati sampai ke perhentian bernama kematian. Namun, jangankan kematian, sebelum kelahiran anak pertama mereka, lelaki itu telah mengingkari sumpahnya. Lelaki itu bahkan tidak pernah tahu jika sebelum pergi, rahim Menalo telah terisi.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan. Tempat ini bukan tempat yang tepat untuk memulai kehidupan!”
Teriakan Temenggung Tarib itu tidak didengar Menalo. Ia larut dalam pikirannya sendiri. Kesedihan mungkin memang mampu membuat telinga menjadi tuli. Dalam dekapannya, Linggi terlelap. Tetes air mata Menalo jatuh di pipi anaknya. Dengan ujung telunjuk, ia menghapus air bening itu dan saat mengangkat kepala, Menalo tersadar, tempat itu sudah sepi.
Pikiran kusut telah menjerat kaki Menalo. Sedari awal ia merasa tidak pernah jauh dari kelompoknya. Kenyataannya, kini ia terpancang sendiri di tengah semak belukar. Lututnya gemetar. Induk telah meninggalkannya.
Menalo tidak tahu mengapa Induk meninggalkannya seorang diri. Mungkin sisa kemarahan dan kekecewaan itu masih bersemayam. Menalo menghela napas dalam-dalam, meredam gerimis yang bersiap turun di matanya.
Menalo mengayun langkah, tapi ia tidak tahu harus ke mana. Panas menyengat sekujur tubuh hingga kepala. Dengan mengatupkan geraham menahan pusing, Menalo berhenti sejenak. Ia menghimpun kekuatan yang tersisa, tapi sia-sia. Kesanggupannya bertahan mungkin telah sampai pada batasnya.
Tubuh perempuan muda itu limbung dan nyaris tersungkur. Ia cepat berpegangan pada pokok kayu. Guncangan itu membuat Linggi terjaga dan mulai menangis. Menalo bersandar di sepenggal pohon tumbang. Matanya terasa berat, tetapi ia tidak mau memejam. Ia tahu, Linggi membutuhkan setiap detik dari hidupnya.
Menalo mengusap kepala Linggi dan berharap anak itu menjadi tenang. Sementara itu, di saat yang sama, rasa kantuk hebat menyerangnya. Ia berjuang melawan, tetapi kantuk itu kian lama kian berkuasa. Sesaat sebelum matanya betul-betul tertutup, Menalo melihat sesosok lelaki tergesa menghampirinya, merengkuh tubuh anaknya. Wajah lelaki itu begitu jauh dari matanya sekaligus begitu dekat di hatinya. Menalo tersenyum bersamaan dengan gelap menyergapnya. ***
.
.
Catatan:
Temenggung, sebutan untuk kepala Suku Anak Dalam.
Induk, Ibu.
Bak, ayah.
Napo-napo, kelinci hutan.
Dewa Merego, sebutan untuk dewa penjaga yang berwujud seekor harimau. Masyarakat Suku Anak Dalam meyakini bahwa harimau ialah jelmaan dewa penjaga.
Melangun, tradisi berpindah tempat jika ada anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal.
Orang terang, istilah Suku Anak Dalam untuk orang asing atau orang dari luar suku mereka.
Baning, kura-kura hutan.
Sendayang, pelepah daun kelapa.
Sesudongan, tempat tinggal Suku Anak Dalam.
Bertuah, bernasib mujur. ***
Adam Yudhistira saat ini bermukim di Muara Enim, Sumatra Selatan. Cerita pendek, cerita anak, esai, puisi, dan ulasan buku yang ditulisnya telah tersiar di berbagai media massa. Selain menggeluti aktivitas bersastra, ia juga berbahagia mengelola taman baca untuk anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Buku kumpulan cerpennya, Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (basabasi, 2017).
.
Pemenang III Sayembara Cerpen Media Indonesia 2022.
.
Melangun Luka. Melangun Luka. Melangun Luka. Melangun Luka. Melangun Luka. Melangun Luka.
Leave a Reply