Cerpen Rara Yangsen (Republika, 11 Desember 2022)
WAJAHKU bersih dan terang. Aku belum berias. Hari ini umurku tepat mencapai tiga puluh tujuh tahun. Dan kabarnya, mereka akan merayakan peringatan usiaku di sebuah hotel. Mereka, bukan aku. Aku tak pernah peduli dan berniat merayakan hari ulang tahun, apalagi secara mewah seperti itu.
Sore ini, aku masih menunggumu di tempat yang sama. Sebelum berangkat ke hotel yang telah dipilih oleh saudara, sepupu, dan sahabat-sahabatku, aku telah pamit duluan dengan alasan akan menyusul ke sana.
Setelah sepuluh tahun berpisah selepas sekolah lanjutan tingkat atas, kamu tiba dengan sepeda motor yang tidak berbeda ketika pertama kali aku mengenalmu. Raut wajahmu masih sama, ketika kita melayat ke salah seorang teman sekelas yang meninggal dunia dua tahun lalu. Sudah enam orang teman sekelas yang mendahului menghadap Tuhan, dan pertemuan ini lebih dari enam kali saat kita melayat ke masing-masing rumah teman itu, bersama. Kita tak pernah berhenti saling mengontak.
Tanpa terasa kita sudah berumur, sebagian teman kelas kita sudah ada yang menjadi bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan ada yang sudah menjadi kakek-nenek. Kanang dan Rannu, misalnya, sudah bercucu satu. Mereka menikah seusai ujian akhir sekolah. Di dalam kelas, mereka dikenal sebagai siswa teladan. Mungkin karena sama-sama mencolok, mereka akhirnya dekat dan selalu bersama. Tiap pagi, Rannu dibonceng Kanang ke sekolah dengan sepedanya. Saat pulang sekolah, Kanang kadang-kadang mengajak Rannu singgah sebentar di kantin Bu Nini’ untuk sekadar mengobrol atau mengerjakan tugas bersama. Ibu Kanang, Hj Endah, tahu hal itu. Tiba-tiba saja, Kanang disuruh menikah dengan Rannu karena tak ingin malu dengan orang-orang di kampung.
“Ibuku takut kita berzinah,” kata Kanang ke Rannu.
Keluarga Rannu tak bisa menolak keluarga besar Kanang yang sudah datang di rumahnya. Apalagi, ini sudah ketiga kalinya tamu seperti itu datang untuk melamar Rannu.
“Kau mau jadi perawan tua?” bentak Ibu Rannu.
“Tapi aku masih ingin lanjut sekolah, Bu.”
“Kalau kau menikah dengannya, dia akan membantu uang kuliahmu dan kau akan tinggal di kota. Kau tahu kan, ibu tidak punya apa-apa Rannu.”
Di usianya yang masih belia seperti itu, Rannu gelagapan tak berdaya.
Aku menyandarkan helm di kepalaku ke bahumu. Kemarin, ketika aku mengatakan bahwa hari ini aku ulang tahun, kamu terlihat biasa-biasa saja. Paginya, kamu hanya mengirim pesan ingin mengajakku makan sop saudara di salah satu warung. Katamu, kita juga bisa sekalian reuni. Sebelum ke sana, kamu mengajakku ke rumah Sayu, teman angkatan yang berbeda kelas dengan kita.
Di kampung kita memang perkataan orang tua tak boleh dibantah. Kalau dibantah, sumpah serapah akan menyertai ke mana pun kaki melangkah. Di kampung kita, perjodohan adalah hal yang biasa. Seperti juga kisah Lia Sayu, sepupu dua kalimu itu.
Sayu, begitu panggilannya, adalah anak perempuan tercantik di kelasnya pada zaman itu. Matanya bulat, alisnya tebal, hidungnya mancung, mirip peranakan Arab. Awalnya, diam-diam, Pak Liwang, guru olahraga, memendam rasa padanya. Lalu, terang-terangan, Pak Liwang hendak menjadikan Sayu menjadi istri keduanya.
Aku ingat sekali, sebagai sepupu yang juga akrab dengannya, kamu tak setuju. Kamu lalu membantu Sayu pergi dari rumah dan menyembunyikannya di rumah kerabatmu yang lain. Entah apa alasanmu waktu itu kepada kerabatmu, tetapi Sayu ternyata lebih takut dengan ancaman ibunya.
Tiga hari setelah sembunyi, ia pulang, lebih tepatnya, kerabatmu membawanya pulang, dan mereka lalu menyetujui pinangan Pak Liwang. Kini, Sayu sudah janda tiga anak. Apa yang terjadi? Pak Liwang menalak Sayu tepat usia pernikahan mereka yang kelima tahun, pas Sayu hamil lima bulan anak mereka yang ketiga.
“Pak Liwang ingin menikah lagi, sama siswanya. Saya tak ingin dipoligami.” Begitu tutur Sayu kepadamu, katamu. Pak Liwang lalu mengembalikan Sayu ke rumah orang tuanya dengan alasan Sayu susah diatur dan tidak menurut.
Tiga puluh menit di perjalanan kita benar-benar dimuntahkan di tempat yang berbeda. Aku merasakan tulang punggungmu sedikit menenggang, lalu kamu purapura meluruskan punggung tanpa sepatah kata. Aku memindahkan tanganku ke belakang, tepat ketika ban motor kita masuk ke dalam lubang.
Seorang nenek yang berjalan di sebelah kiri kaget bukan main, karena suara klakson yang tak sengaja kau pencet. Nenek itu memegang dadanya lalu menatapku dengan sinis seolah mengira aku orang yang tak punya perasaan. Aku menundukkan kepala begitu ringkas, mewakili permintaan maaf kita, lalu melemparkan pandanganku ke depan. Dari sudut mata aku bisa melihat kepalanya yang mengikuti arah kita berjalan sampai ia tidak kelihatan lagi di tikungan.
Sebuah tanah lapang terbentang luas di depan kita. Sepertinya jalan beraspal sudah jauh. Kita masuk ke dalam salah satu gang di salah satu sudut lapangan itu, lalu tembus ke dalam sebuah area pekuburan. Jumlah nisan di area kuburan itu tak banyak. Bisa dihitung jari. Di ujung pekuburan, berdiri spanduk bertulis “Tanah ini milik Karaeng Kassi’”. Spanduk itu menjadi penentu arah untuk belok kiri, lalu kita tiba di kompleks rumah berpetak.
Hanya ada satu blok perumahan di sana. Di depan perumahan itu, terpasang sebuah spanduk ukuran 2×2 di dinding tugu: “Kos ini miliki Juragan Kassi” disertai nomor HP yang terpanjang di bawah tulisan itu. Kita tiba di salah satu rumah yang berada di tengah-tengah, di sana Sayu tinggal. Sayu menawarkan kita masuk ke dalam rumahnya, lalu ia membuat teh.
Aku ingat persis ringkas pembicaraan kita dengannya sebelum kita akhirnya pamit. Tentang anaknya yang pertama yang sudah ikut suaminya ke Jawa, mereka menikah sebelum anaknya itu lulus SMA. Anak keduanya, sudah ia ungsikan ke salah satu panti pusat kota. Dan sekarang, Sayu tinggal berdua dengan anaknya yang ketiga, membantu Sayu menjual cakar di Pasar Panampu’.
Kamu kini lebih lihai mengemudikan motormu yang melaju dengan cepat keluar-masuk gang yang berliku. Aku tak pernah datang di tempat ini sebelumnya, tetapi aku yakin ini bukan jalan yang kita lalui tadi. Awan mulai mendung dan kita terperangkap di gang sempit yang hanya bisa dilalui motor.
Di sisi kananku, terbentang kanal kecokelatan yang kadang menyempit lalu melebar lalu menyempit lagi. Eceng gondok tumbuh subuh di permukaan kanal itu, menyebar, seolah tak membiarkan sinar matahari menembusnya. Di antara daun eceng gondok itu, terselip beberapa bungkus mi instan yang ujungnya timbul ke permukaan air.
Setahuku, kamu tidak melanjutkan kuliah ketika lulus SMA. Kamu lebih memilih ikut mamamu yang tinggal di Malaysia setelah tiga tahun tinggal di rumah kerabat ibumu waktu itu. Bapakmu sudah lama meninggal, sewaktu kamu masih berusia tujuh tahun. Sekarang kamu kerja serabutan. Tapi kamu memilih itu bukan karena terpaksa.
Air hujan menetes, mengalir turun dari pelipis lalu ke pipi. Perutmu berbunyi karena lapar, dan perutku sudah kembung karena tak diisi.
“Bagaimana yah kabar Rannu dan Kanang?”
“Kita menuju tempatnya, sekarang.”
“Maksudmu?”
“Iya, mereka yang jual sop saudara.”
Motor semakin melaju cepat, disertai rintik yang semakin banyak. Celanaku mulai basah kuyup. Sebelum hujan tumpah lebih lebat, kita sudah tiba di warung sop saudara yang kamu maksud milik Rannu dan Kanang itu. Belum juga kita masuk, tiba-tiba, suara teriak memekik dari pintu yang bersampingan dengan warung itu, lebih keras dari suara petir.
Rannu keluar dari sana bersimbah darah, sambil menimang anaknya yang masih bayi, disusul kedua anaknya. Ia berlari ke arahku dan aku spontan memeluknya. Tak berselang lama, Kanang keluar dari pintu. Ia membawa pisau. Kualihkan pandanganku ke Rannu dan melihat bekas kebiruan di lengan dan bagian tubuhnya yang lain. Di tengah derasnya hujan, aku yakin, tidak ada perayaan ulang tahun atau makan sop saudara, hari ini. ***
.
.
Rara Yangsen, alumni Pascasarjana FIB, Unhas, Makassar. Sekarang aktif sebagai dosen dan menetap di Makassar.
.
Tidak Ada Perayaan Hari Ini. Tidak Ada Perayaan Hari Ini.
Leave a Reply