Cerpen, Dody Widianto, Radar Kediri

Perkutut

Perkutut - Cerpen Dody Widianto

Perkutut ilustrasi Afrizal Saiful Mahbub/Radar Kediri

4.5
(2)

Cerpen Dody Widianto (Radar Kediri, 11 Desember 2022)

DUA hari yang lalu, burung perkutut milik Rhien tiba-tiba mati. Tanpa memberitahu tanda-tanda burung itu sakit atau apa.

Ibu Rhien ingat betul pesan dari bapaknya dulu, burung perkutut selalu membawa pesan dari alam. Insting dan nalurinya tinggi. Jika ia tiba-tiba sakit, maka pemiliknya bisa ikut sakit. Jika ia merasa kenyang, bahagia, dan berkicau sepanjang hari, maka pemiliknya akan ketiban rezeki. Namun, sungguh ia tak begitu percaya tentang takhayul. Di era serba digital dan anak perempuannya sebentar lagi akan menyandang gelar sarjana muda, ia tak terlalu memusingkan hal itu. Yang ibu Rhien yakini, tak perlu mitos, sasmita, atau kepercayaan apa pun, alam dan jagat raya akan berjalan sesuai jalur takdir rancangan Ilahi.

Di teras rumah, Rhien mengoleksi beragam jenis burung yang ia rawat dalam sangkar. Mulai dari burung love bird, burung murai batu, burung kenari, dan juga satu jenis burung yang kata orang punya kesan magis di dalamnya, burung perkutut. Katanya, tidak sembarang orang bisa memelihara perkutut, salah-salah dalam merawat, bisa menyebabkan hal buruk pada pemiliknya. Burung perkutut itu dulu peninggalan mendiang buyutnya. Di antara semua burung itu, memang burung perkutut hitam itu yang paling ia sayang.

Sebenarnya, ayah Rhien tidak begitu melarang anak perempuannya itu untuk bermain dan memelihara burung jika itu memang sebuah hobi. Toh, hingga akhir semester dan ia sedang menyiapkan tugas akhir, nilai mata kuliahnya cukup bagus dan bisa dibilang sesuai standar kompetensi yang diberikan dosen. Namun, bukan itu yang jadi masalah. Akibat kegemarannya bermain burung, tentu saja ia jadi punya banyak teman lelaki dibanding sahabat perempuan. Hal itulah yang membuat Rhien sering jadi objek ocehan bapaknya jika pulang larut malam. Rhien mengaku baru saja ada pertandingan kicau burung di suatu tempat yang ia tak mau menyebut kepada bapaknya.

Baca juga  KERIS NAGA SILUMAN

“Kamu itu perempuan. Satu-satunya lagi milik bapak. Kalau ada apa-apa bagaimana? Bukan kamu saja yang rugi, bapak sama ibumu juga khawatir kalau ada apa-apa. Bapak tidak melarang hobi kamu, tetapi kamu juga harus tahu diri. Sebelum jam sembilan sudah harus di rumah. Harus diulang berapa kali biar kamu paham?!”

Sudah kebiasaan Rhien, setelah suara sumbang itu terdengar olehnya, ia akan dengan santainya menggantungkan burung aduannya di teras rumahnya. Berjalan ngeloyor begitu saja di depan bapaknya tanpa sepatah kata pun.

Melihat sekilas alis bapaknya yang sedikit terangkat dengan bulatan biji mata semerah buah kersen di depan rumah. Tanpa membalas ucapan bapaknya, ia akan ke dapur, menanyakan ibunya sudah masak apa, seolah di depan tak terjadi apa-apa.

Kebiasaan bapaknya yang sering mengomel ini membuat Rhien jadi menyamakan bapaknya dengan burung kenari miliknya yang paling bawel. Jika bapaknya sedang tidak di rumah, ia akan memanggil burung kenari miliknya itu dengan nama Manan, nama bapaknya. Burung kenari miliknya itu selalu juara satu di berbagai perlombaan. Sudah tak terhitung piagam dan pialanya di kamar.

Bukan tanpa alasan ia selalu membandingkan hal itu. Sebagai Kepala Desa, bapaknya juga punya kelebihan bercakap di depan khalayak. Ia telah dianugerahi piala dan sertifikat lomba pidato di tingkat kabupaten dan provinsi.

Kedua alis Rhien kadang mengerut aneh jika membandingkan dua hal itu. Kok bisa kebetulan sama. Hanya saja, ada satu hal yang mencolok dan berbeda. Jika bapaknya senang makan nasi dan sayur sawi, maka burung kenari milik Rhien hanya makan sawi saja. Tak suka nasi. Tak suka mengomel kepada Rhien.

Baca juga  Itu yang Didengar Buyung

Rhien tak begitu mengerti kenapa bapaknya selalu mengkhawatirkannya. Ia selalu menggaungkan dalam hatinya keras-keras jika ia sudah dewasa. Zaman sudah berganti. Sudah sepatutnya ia diberi kebebasan untuk melalui kehidupannya tanpa ada campur tangan pihak lain. Ia sudah melewati masa remaja ke dewasa. Sudah tahu batasan mana yang benar dan mana yang salah. Ibunya juga selalu menasihatinya, tetapi tidak sekaku bapaknya.

Memang, sepulang dari beradu burung atau sekedar bermain bersama teman-teman lelakinya, raut wajah ibu Rhien selalu mendung. Seolah gumpalan awan hitam menutupi wajah sayunya dan suatu ketika bisa menurunkan hujan lebat dari sudut matanya. Namun, Rhien seolah tak acuh. Ia selalu mengirim pesan dengan siapa ia dan pergi ke mana. Maka, cukuplah banyak kontak telepon dengan nama lelaki di ponsel ibu Rhien.

Kenyataannya, ketakutan orangtua memang selalu beralasan. Akhir hari itu, ketika ibu Rhien terduduk di depan teras dengan raut wajah sendu, sesuram langit senja yang kelabu, ia masih setia menunggu suaminya pulang bekerja dengan perasaan was-was. Terbayang kengerian yang akan dilihatnya jika ia menceritakan satu perihal tentang Rhien dan burung-burungnya.

Dua hari yang lalu, burung perkutut milik Rhien telah mati. Tanpa memberitahu tanda-tanda burung itu sakit atau apa. Ibu Rhien ingat betul pesan dari bapaknya dulu. Sebuah tanda-tanda kemalangan akan terjadi di keluarganya.

“Mau magrib, kok Ibu masih di luar?”

Ia menatap suaminya dengan sendu. Sejujurnya ada bekas basah air mata di pipinya yang sudah ia hapus satu jam yang lalu. Ia beranjak dari kursi di depan teras. Menggandeng tangan suaminya dengan hati-hati. Perlahan masuk ke dalam rumah. Mengajaknya duduk di sofa ruang tamu. Lalu dengan lembut ia bercerita tentang burung-burung yang beterbangan di kepalanya. Walau sejujurnya, sebentar lagi, ia akan tahu wajah murka suaminya.

Baca juga  Selembar Tikar yang Belum Selesai

Di pinggiran ranjang kamarnya, ketika seorang perempuan terduduk dengan raut kusut, tersedu dengan bekas pipi yang basah, bapak Rhien telah berdiri di depan pintu kamarnya. Berkacak pinggang dengan mata menyala. Wajahnya begitu murka melihat anak perempuan satu-satunya yang sedang beranjak dewasa. Ia tahu betul dari mana akar masalah itu bermula. Dalam kerasnya hentakan degup jantung yang sedikit ia tahan, ia melihat burung-burung beterbangan di atas kepala Rhien.

“Tahu rasa ‘kan kamu! Ngeyel! Begini kalau tidak menurut sama orangtua. Masalahnya, kamu sering mainan dengan banyak burung dan bapak tidak tahu, burung sialan mana yang telah membuat kamu bunting!” ***

.

.

Dody Widianto. Penulis lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Singgalang, Haluan, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.

.

.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!