Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 21 Februari 1982)
DI jendela itu selalu, ia menatap ke bawah, ke jalanan. Daunan yang gugur beterbangan, beberapa helai di antaranya masuk ke apartemennya lewat jendela. Angin sebetulnya berembus tidak begitu keras, tetapi beberapa helai lagi masih berguling-guling ke arahnya. Ia tersentak ketika beberapa di antaranya mengenai wajahnya.
Ia menatap dan memegang daun itu tanpa perhatian yang terlalu penuh, menoleh dengan pandangan kosong ke jalanan. Beberapa orang memang sedang berjalan di sana, yang satu dengan santai, yang lain bergegas, tapi ia masih saja di jendela itu dengan mata terpaku ke jalanan meski jalan itu sepi-sepi saja.
Jalan itu memang sepi, jalan tak bernama yang tidak terlalu sempit, bahkan terlalu besar untuk sebuah jalan yang pendek dan tak bernama.
Dari bayangannya di kaca jendela, ia melihat paras seperti yang sering tampil dalam majalah wanita. Ia melirik pesawat telepon di samping tempat tidurnya sebentar, lantas kembali memandang ke luar jendela. Angin masih bertiup, langit agak mendung, tapi tidak seperti menjanjikan hujan. Ia tak tahu pasti ini jam berapa, seperti senja, tapi lampu jalanan belum menyala.
Teleponnya tiba-tiba berdering. Dengan cepat ia menyambarnya. Memeluk telepon itu di tempat tidur, bicara dengan seseorang entah di mana, bertukar kata-kata. Lantas ia menyulut rokok, dan puntung-puntung filter berlipstik segera memenuhi asbak di tempat tidurnya.
Ia belum menyalakan lampu kamar ketika lampu jalanan telah menyala, dalam latar belakang langit senja ungu muda. Cahayanya yang lemah masih bisa menerangi wajah sendu perempuan itu. Sembari terlentang, telepon itu bolak-balik dari telinga kiri ke telinga kanan. Ketika ruangan semakin temaram, hanya terlihat bara api rokoknya naik dan turun.
Jalanan itu sesekali dilewati mobil, beberapa orang berjalan kaki, kadang-kadang remaja dengan sepedamotornya meraung selintas. Tiang-tiang listrik termangu sunyi, lampunya dikitari serangga kecil-kecil.
Ketika meletakkan teleponnya ia bergumam.
“Aku disuruh kawin lagi? Hhhhh….”
***
Bel berkeloneng lembut, pertanda seseorang telah berdiri di muka pintu apartemennya. Dengan malas ia bangkit dari ranjang, tanpa menyalakan lampu lebih dulu ia mengintip dari balik pintu, berpikir sejenak, tapi lantas membukanya.
“Oh, kamu ….”
Sambil menyeret kakinya ia menyalakan lampu.
Tak terlalu terang lampu-lampu rumahnya itu, temaram saja. Bahkan lelaki yang datang itu pun hanya tampak sampai batas dada.
“Wah, asap rokoknya ….” kata orang itu sambil mengibas-ibaskan tangan.
Ia tidak menjawab. Ia melepas kimononya di tempat itu juga, terus melangkah ke kamar mandi, kemudian terdengar desis air menyiram lantai.
Lelaki itu membuat campuran dari minuman yang botol-botolnya berjejer di samping rak buku. Lantas menyandarkan tubuhnya yang kelihatan lelah ke sofa, dia memejamkan mata.
Sebentar kemudian dia sudah beranjak, melangkah ke deretan kaset, dan menyetelnya setelah memilih sebentar. Lantas sebuah lagu mengalun.
Dari jendela angin masih berembus perlahan. Lelaki itu mendengar geseran daun palem yang berderet di halaman gedung.
“Tadi istrimu telepon,” ujar perempuan yang kini bersarung handuk dengan dada terbuka dan rambut yang masih basah, “katanya ia bahagia bersamamu.”
“Bahagia?” Lelaki itu tertawa kecil, menenggak sampai gelasnya kosong.
Ia tidak menanggapi. Hanya membuka handuk dan berputar-putar di depan kaca.
“Masih indah, kan?”
Namun segera pula ia menyambar kimononya.
“Setidaknya jika lelaki hanya butuh tubuh saja dari seorang perempuan,” sambungnya.
“Tapi aku bukan lelaki seperti itu.”
Perempuan itu pun mendekat, dan berbisik di telinganya.
“Apakah itu penting, darling? Aku bisa dan mau tidur dengan siapa saja.”
Dalam keremangan, tanpa diketahui seorang pun, wajah lelaki itu menjadi merah. Tak jelas, karena minuman ataukah ucapan perempuan itu.
Di luar, malam sudah lengkap. Di celah daunan palem itu terlihat bulan perak sebesar piring. Lampu jalanan yang cahayanya membias di udara, dan selorot lampu mobil atau motor yang silih berganti di tikungan.
Dua manusia dalam ruangan itu tidak saling bercakap lagi. Lagu dari kaset telah habis dari tadi. Dari luar, tak tampak ada usaha untuk membaliknya, atau mengganti dengan kaset yang lain.
***
Malam nyaris larut ketika pintu apartemen itu terbuka, dan lelaki itu segera lenyap ditelan tangga setelah mengecup pipi perempuan itu, yang setelah menutup kembali pintunya, mengunci, memasang rantai, berlari ke jendela.
Tampak lelaki itu menuruni tangga di lobi apartemen, menoleh ke jendela itu dan melambainya. Lelaki itu masuk mobilnya dan segera menghilang.
Tatapan mata perempuan itu berhenti di tikungan.
Lantas jendela itu ditutupnya.
“Satu malam telah berlalu,” ia berbisik dalam hati, kepada dirinya sendiri, sebelum menyalakan AC dan tidur. Besok pagi ia tidak ingin terlambat masuk kantor. ***
.
.
Jakarta, April 1981
.
Ia dan Jendelanya. Ia dan Jendelanya. Ia dan Jendelanya. Jakarta.
Leave a Reply