Cerpen, Kompas, Seno Gumira Ajidarma

Khayalan dari Tepi Kolam Renang

Khayalan dari Tepi Kolam Renang - Cerpen Seno Gumira Ajidarma
4
(2)

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 28 Maret 1982)

…. I wanna wake up in the city that doesn’t sleep…..

JIKA perempuan itu menyanyikan lagu “New York, New York”, itu berarti hatinya sedang gembira. Namun lelaki itu cukup punya banyak alasan untuk tidak terlalu gembira. Perempuan itu pasti akan keluar lagi malam ini. Tak penting ke mana, yang jelas baru akan pulang setelah terdengar suara azan subuh. Lelaki itu sering terbangun larut malam, melirik jam, dan sambil memejamkan mata kembali ia tahu pasti perempuan itu belum pulang.

Betapa pun, lelaki itu merasa seharusnyalah ia tidak keberatan. Perempuan itu sudah berterus terang bahwa hidup bersamanya adalah membingungkan, dan sudah waktunya dia mencari dirinya sendiri.

“Bagaimana? Sudah ketemu?” Kadang-kadang saja ia bertanya.

“Apanya?”

“Dirimu sendiri….”

“Berengsek! Kenapa tidak kamu urus saja dirimu sendiri!”

Nah, bukankah ini rumit?

Di tepi kolam renang, ia pun mengembara dalam dunia tak berbatas, sehingga terbayang olehnya bibir, hidung, dan mata seorang perempuan yang sudah semestinyalah indah. Anehnya, kenapa ia harus membayangkan perempuan itu sebagai janda muda yang kesepian?

Mungkin karena malu sendiri, ia segera membayangkan pertemuan dengan seorang penganggur muda yang gelisah, seorang sopir bis kota yang telah menyetir selama limabelas tahun dan tak pernah serempetan satu mili pun, maupun anak kecil yang pergi dari rumahnya membawa pistol mainan, tersesat, tapi tidak menangis. Ia membayangkan pistolnya itu berisi peluru, dan anak itu telah menembak seorang anak lain yang digandeng ibunya.

Sampai di sini arus lamunannya terhenti, dan berputar kembali kepada perempuan yang telah ditinggalkannya. Ya, perempuan dengan bibir, hidung, mata yang semestinyalah indah tadi, kini lengkap dengan seluruh tubuhnya. Lantas, ajaib, perempuan itu mewujud di hadapannya, sedang meluruskan kakinya di tepi kolam renang itu, bikininya yang merah tampak menyolok pada kulitnya yang putih.

Baca juga  Lima-Satu-Tujuh

Dengan kaca mata hitamnya yang besar perempuan itu terkapar bermandi matahari sore. Ia mencoba membayangkan berbagai hal tentang diri perempuan itu.

Mungkin ia tidak berasal dari kota ini, mungkin anak kedua seorang pensiunan bupati yang korup, dan kemungkinan besar sudah keliling dunia. Mungkin sudah punya anak tiga dan sedang menjalani masa berpisah dengan suaminya untuk bercerai. Kini dengan uangnya yang banyak itu, entah dari mana, perempuan itu berkeliling ke mana saja menghibur diri. Mungkin tak ada perlunya benar perempuan itu masuk ke hotel ini. Mungkin ia hanya pindah-pindah saja dari hotel yang satu ke hotel yang lain.

Kemudian perempuan itu bangkit dan berjalan melewatinya. Begitu dekat sehingga ia bisa menatap bulu-bulu halus di kuduknya yang putih, bekas luka dipahanya, dan tahi lalat di atas pusarnya. Sisa air di tubuhnya meluncur turun ke paha dan betisnya, ke lekukan pada mata kakinya, dan mendadak saja ia telah menyapa.

“Miss…”

Perempuan itu menoleh, dan ia tak bisa menafsirkan apa-apa dari kacamata hitam besar yang menutup mata itu.

“Maaf, apakah kita pernah ketemu?”

Perempuan itu membuka kacamatanya. Matanya tajam, tetapi cekung, seperti kurang tidur. Bibirnya tipis, rambutnya pendek, dan tidak usah diragukan lagi memang cantik.

“Siapa ya, rasanya saya sudah lupa.”

“Kita ketemu di Manila, masih ingat?”

Petualangan kecilnya segera kandas. Ia belum pernah ke Manila, begitu pula perempuan itu.

***

Pesawat telepon di dekat kursinya berdering. Mula-mula ia tidak mendengarnya. Namun ketika perempuan dengan bikini merah itu ternyata masih tidur meluruskan kakinya di sana, barulah ia sadar betapa lamunannya sudah terlalu bulat.

Telepon itu berdering-dering memanggil.

Baca juga  Tentang Seorang yang Membunuh Keadilan di Penjaga Konstitusi

“Ya, hallo?”

“Aku!”

“Nah! Sudah ketemu?”

“Apanya?”

Lho! Dirimu sendiri, kan?”

“Berengsek lu! Mana uangnya?”

“Beres.”

“Apanya yang beres?”

“Ini, uangnya sudah ada, tapi ambil sendiri dong.”

“Antarkan kemari.”

Nggak. Kamu yang ke sini.”

“Aku sibuk latihan, pemainnya nggak ada yang becus, masak ’New York, New York’ saja dari tadi nggak bisa!”

“Jam berapa pun kutunggu. Ini, kan, untuk kontrak rumah kamu, bukan kita.”

“Pokoknya kutunggu jam 6 di Java!”

Klak!

Hubungan terputus. Lelaki itu termangu. Ia teringat seorang perempuan lain yang lebih ramah.

Lantas angin bertiup pelan-pelan membawa langit Jakarta yang kelam. Di belakang hotel ini terdapat kampung yang busuk seperti sampah.

Byur!

Perempuan itu terjun dari papan atas, mencipratkan air kepadanya. Jadi ini bukan lamunan. Perempuan itu muncul dari dalam air dengan wajah minta maaf, tapi terus asyik kembali dengan gaya punggungnya.

Waktu kecil dulu ia suka mandi di kali, di dekat kuburan Tionghoa. Satu per satu teman-temannya akan melompat dari atas lereng, terjun ke bawah. Ia senang sekali terlentang di bagian yang dangkal dan jernih, merasakan air mengalir di atas tubuhnya. Kadang-kadang ia memisahkan diri dari mereka, dan ketika senja turun orang seringkali mengira ia diculik gendruwo di dekat pohon pisang. Waktu itu ia sudah bisa tertawa dalam hati, ia menjauh dari mereka supaya bisa tidur-tiduran di padang rumput kecil memandang burung elang yang berputar-putar di udara. Ia saksikan betapa anggun elang itu meluncur tanpa mengepakkan sayapnya.

Di tepi kolam renang, kini tubuhnya menggeletak lemas di kursi tempat orang biasanya bersantai. Dirinya memberontak, lepas dari tubuhnya, melayang ke luar dalam bayang-bayang senja yang gemerlapan. Sepotong cahaya mengurai kabut, selembar daun di tepi aspal, asap polusi membubung di Jakarta.

Baca juga  Bunga Kamboja dan Kucing Mati

Jam berapa sekarang? Ia menengok arloji. Begitulah waktu berlalu.

Ia harus segera menyerahkan uang kontrak rumah, lantas segera pulang. Sekarang lelaki itu harus menjadi ibu bagi anaknya. ***

.

.

Jakarta, Februari 1982

.

Khayalan dari Tepi Kolam Renang. Khayalan dari Tepi Kolam Renang.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d