Cerpen Arianto Adipurwanto (Jawa Pos, 17 Desember 2022)
HANYA dua hal yang bisa membuat Maridep berbicara panjang lebar. Menyangkut dua hal itu kata-kata darinya serupa biji-biji kopi yang terlalu matang, digerakkan sedikit saja langsung jatuh berguguran.
Pertama, ia akan sanggup meladeni siapa pun bila perlu selama tujuh hari tujuh malam untuk membicarakan tentang ilmu kesaktian. Kedua, ia akan dengan semangat membicarakan segala hal yang telah lalu. Dan siapa pun tidak ada yang sanggup menghentikannya ketika ia berbicara tentang orang-orang sakti di masa lalunya. Hanya ketika membicarakan dua hal itulah ia terlihat hidup.
Jika di rumah hanya ada dia bersama anak dan istrinya, ia akan duduk di berugak, bersandar di tiang, dan memandang jauh ke depan dengan tatapan kosong. Ia terlihat seperti menunggu sesuatu terjadi dan ia akan bisa memulai bercerita tentang sesuatu itu.
Malam ini, setelah menuntaskan makan malam, mereka bertiga duduk di berugak. Maridep seperti biasa bersandar di tiang dan menghadap halaman rumahnya. Dari dahan pohon jambu di belakang rumahnya, terdengar bunyi berisik ayam-ayam berebut dahan tempat tidur. Di kejauhan terdengar suara orang berteriak. Tidak jelas siapa yang berteriak. Mungkin ada orang berkelahi seperti dugaan istrinya, Gecinep, atau mungkin juga ada orang yang meninggal keluarganya seperti dugaan anaknya, Sekerto. Mereka berdua tidak tahu sama sekali apa dugaan Maridep tentang hal itu. Maridep hanya duduk, bersandar di tiang.
Terdengar suara lolongan anjing dari puncak Mur Monjet. Gecinep berkata, “Ada jin lewat.” Ia bersemangat dan sangat berharap Maridep akan menanggapi, tetapi tidak sama sekali. “Arwah orang yang mati itu mungkin,” kata Sekerto. Maridep tetap diam. Mendadak suara lolongan anjing itu lenyap. Suasana menjadi sepi. Senyap. Hanya jari-jari Sekerto yang mengetuk-ngetuk lasah.
Tiba-tiba ada yang jatuh di halaman, persis di depan Maridep. Ia terkesiap seperti terbangun dari tidur yang sangat panjang. Begitu saja ia turun menuju halaman, di situlah, tergeletak tepat di depannya bangkai seekor burung. Berwarna hitam. Ia mengangkat bangkai burung itu dan membawanya ke berugak, mendekatkannya ke lampu teplok, memerika, apakah ada luka tembak atau apa pun. Tidak ada. Mati tanpa ada tanda-tanda penyebabnya sedikit pun. Lalu ia kembali ke tempat ia memungut bangkai burung itu, mendongak, mencari tempat burung itu berada sebelumnya, tetapi tidak ada apa-apa, tidak ada dahan pohon. Seolah bukan rumahnya sendiri, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan yang ada hanya pohon jambu di belakang rumahnya. Tidak mungkin burung ini dari sana, katanya pelan.
Istri dan anaknya memandang tegang. Gelagat Maridep membuat mereka takut. Mereka merasa tengah menerima kiriman sihir dari orang selaq yang mungkin saja ingin membinasakan mereka. Sekerto masih berusaha menghubungkan beberapa hal itu: orang yang berteriak, lolongan anjing, dan kemudian burung yang jatuh di halaman mereka, dan sampailah ia pada sebuah kesimpulan, Maridep harus mengubur burung itu secepatnya karena sesuatu yang buruk pasti melekat di helai-helai burung itu. Ia hendak menyampaikan kesimpulan yang sangat ia yakini kebenarannya itu, tetapi Maridep lebih dulu bersuara.
“Kiriman arwah kakekmu,” kata Maridep kepada Sekerto. “Arwah ayah yang kirim,” katanya kepada Gecinep.
Gecinep menampakkan wajah bingung. Wajahnya yang tegang sekarang tampak kosong. Mertuanya telah meninggal bertahun-tahun lalu. Celurit menancap di kepalanya. Beberapa orang menduga ia ditetak oleh penunggu hutan karena ia menebang pohon yang berpenunggu. Salah seorang dukun yang dipercaya mengetahui tentang apa pun yang terjadi di dunia ini berkata ia dibunuh oleh dirinya sendiri. Sedang beberapa cerita lain menyebutkan ia telah dibunuh oleh seseorang yang ingin merebut lahan miliknya. Maridep sendiri diam-diam percaya ayahnya tidak mati. Ia yakin suatu hari ayahnya akan muncul di tempat yang tidak diduga-duga tanpa ada bekas luka sedikit pun di kepalanya.
Kepercayaan itu masih terus hidup dalam diri Maridep. Ia sering kali duduk di berugak, hingga tengah malam, dan merasa ayahnya akan pulang. Ia sering kali menyiapkan tuak dan makanan yang enak-enak di berugak semata-mata untuk ayahnya. Namun ayahnya tak kunjung menampakkan diri.
Kemudian, seorang diri, ia akan menghabiskan tuak dan makanan-makanan enak itu hingga ia benar-benar mabuk. Ketika mabuk pun, ia tidak banyak berbicara.
Saat tiba-tiba seekor burung yang telah mati jatuh begitu saja di halaman rumahnya, seperti sebongkah batu, Maridep benar-benar merasakan kehadiran ayahnya. Ia memeriksa bangkai burung itu, mencari bekas luka, sengatan, atau bekas peluru, tetapi tidak ada apa pun. Ia memeriksa paruhnya, mengendusnya, mungkin saja burung itu memakan serangga mematikan, tetapi tidak ada tanda-tanda sedikit pun.
“Kakekmu orang sakti,” kata Maridep kepada anaknya. Sekerto tidak menanggapi, bingung harus berkata apa.
“Dulu dia sering pergi taruhan burung dara, dan tiba-tiba ada saja burung dara yang jatuh di rumah. Semuanya sudah mati,” lanjut Maridep.
Gecinep ingin bicara, tetapi Maridep mendahului.
“Dulu pas saya kecil, saya ndak pernah susah masalah makan. Ayah saja yang pergi cari makan. Tiba-tiba ada yang jatuh. Gini dah.”
Ia menjulurkan bangkai burung itu ke anaknya, tetapi saat anaknya hendak mengambil burung itu ia menarik tangannya dan memeriksa burung itu lagi.
“Benar dah. Dia yang kirim burung ini. Saya tahu, dia orang sakti, dia ndak mungkin dibunuh. Saya sudah tahu. Saya kasih tahu orang-orang itu dulu. Mereka ndak percaya. Bukan ayah saya yang mati itu. Dia ndak mungkin bisa dibunuh. Sama siapa pun. Boro-boro, dangkong, atau siapa pun.”
Ia mengoceh. Gecinep dan Sekerto diam. Mereka tahu, Maridep tidak akan bisa dihentikan.
Terdengar lolongan anjing lagi dari Mur Monjet. Sekarang terdengar seperti dua ekor anjing. Gecinep memiringkan kepalanya, dengan begitu ia bisa mendengar dengan lebih baik. Sekerto juga melakukan hal yang sama.
Maridep masih memeriksa bangkai burung yang ada di tangannya. Mulutnya celimutan. Tidak ada yang tahu apa yang ia rapalkan. Apakah ia membaca mantra, membisikkan pertanyaan kepada burung itu di mana ayahnya berada, atau hal-hal lain yang hanya dirinya yang tahu.
“Tunggu di sini. Saya mau cari ayahmu.” Maridep berkata tiba-tiba.
Gecinep berusaha menghentikan. “Dia sudah lama mati. Jelas-jelas dia yang mati itu. Burung itu mungkin makan belalang beracun tadi. Diam-diam di rumah.” Ia setengah membentak.
Sekerto juga berusaha menghentikan ayahnya dengan mengulangi kata-kata ibunya. Sekerto belum lahir ketika kakeknya meninggal, tetapi ia berkata tentang kematian kakeknya seolah-olah ia telah lahir saat itu dan ikut mengusung bangkai kakeknya dari hutan, dengan celurit masih menancap di kepalanya, dan hanya dibungkus dengan terpal lusuh.
“Dia ada di sekitar sini. Dia sakti, dia ndak bisa mati.” Maridep masuk ke rumah, masih memegangi bangkai burung, dan keluar membawa keris.
“Keris ini berbunyi kalau ada pemiliknya di dekatnya. Ayah saya punya keris ini.” Ia menyodorkan keris yang telah diselimuti sarang laba-laba dan tampak dibalut debu tebal. Ia terbatuk-batuk sebentar dan kembali berkata, “Saya mau cari ayah saya. Dia belum mati. Pasti.”
Gecinep terus berusaha menghentikan Maridep. Sekerto juga terus berusaha membantu ibunya. Sekerto diam-diam takut ayahnya akan mengalami hal yang sama sebagaimana yang menimpa kakeknya. Namun kata-kata penuh kecemasan yang mereka lontarkan tidak digubris. Maridep terus berkata tentang betapa sakti ayahnya di masa lalu seolah-olah kata-kata keluar sendiri dari kepalanya, tanpa bisa ia tahan.
“Diam di rumah,” Gecinep membentak. Ia juga takut akan terjadi hal serupa kepada suaminya. Namun Maridep bersikukuh. “Ini tanda ayah masih hidup,” katanya sambil menjulurkan bangkai burung di tangan kirinya. Dua helai bulu burung terlepas dan melayang jatuh.
Pada saat Maridep hendak pergi, tiba-tiba terdengar sesuatu jatuh di halaman. Tiga beruntun. Gecinep cepat turun dari berugak. Sekerto juga. Ia bahkan meloncat dan mendahului Maridep.
“Ada tiga ekor bangkai burung,” kata Sekerto. Maridep berdiri di dekatnya. Sekerto menyerahkan tiga bangkai burung itu dan mendongak, mencari asal muasalnya, tetapi tidak ada petunjuk apa pun. Hanya ada bintang berkelip-kelip.
“Dia sudah yang kirim burung ini. Saya tahu. Tunggu di rumah, saya mau cari dia,” ujar Maridep.
Tiba-tiba ada yang jatuh lagi. Ngerapak. Banyak. Persis di samping mereka. Berkat sinar lampu dari berugak, Sekerto bisa melihat di sekelilingnya berserakan sesuatu berwarna hitam. Seperti bongkah-bongkah batu. Bangkai-bangkai burung.
Gecinep yang tidak ikut ke halaman, melainkan hanya berdiri di dekat berugak, langsung menjerit. Ketakutan. Dari mana datangnya, teriaknya. Mungkin karena mendengar jeritannya, dari puncak Mur Monjet terdengar lolongan anjing.
Maridep menunduk, mengumpulkan bangkai-bangkai burung itu. Sekerto juga membantu. Selama memungut itu, Maridep terus berkata kalau ayahnya sangat sakti, dan tidak akan bisa dibunuh oleh siapa pun, bahkan oleh dirinya sendiri. Sedang Gecinep, melihat tangan anak dan suaminya telah penuh, ia cepat mengambil bakul besar dan melemparkannya ke halaman. Ia tidak berani keluar dari naungan atap, seolah bangkai burung akan membuat kepalanya bocor.
Belum seluruhnya dipungut, bangkai burung yang baru berjatuhan lagi. Kali ini lebih banyak. Seperti hujan. Maridep berteriak menyuruh anaknya segera ke berugak. Sekerto melepas bangkai-bangkai burung di tangannya dan berlari.
Maridep mendongak dan tidak ada lagi bintang-bintang. Langit gelap pekat. Bangkai burung berjatuhan dari tempat yang tidak ia ketahui. Lolongan anjing masih terdengar. Jauh. Dekat. Jauh. Dekat.
“Dari mana bangkai burung ini?” Sekerto ketakutan. Suaranya bergetar.
“Ya, dari mana?” Gecinep tidak kalah takutnya. Ia bahkan menangis.
Sementara mereka bertanya, di atap berugak, atap rumah, terdengar suara berisik bangkai burung yang berjatuhan seperti bongkahan batu ditumpahkan dari langit. Maridep melihat ke halaman, dan sekarang seluruh halamannya dipenuhi bangkai burung.
“Dari mana burung ini?” Sekerto berteriak.
Maridep terdiam. Ada kecemasan di wajahnya. Di tangan kirinya masih ada seekor bangkai burung.
“Dari mana?” Gecinep bertanya lagi. Mendesak. Membentak. Namun Maridep tetap tidak berbicara.
Maridep tetap diam. Untuk kali pertama, ilmu kesaktian dan segala cerita dari masa lalu lenyap dari kepalanya. ***
.
.
ARIANTO ADIPURWANTO. Lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993, tetapi di KTP tertera 31 Desember 1992. Kumpulan cerpennya yang berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019.
.
Burung-Burung Mati. Burung-Burung Mati. Burung-Burung Mati. Burung-Burung Mati. Burung-Burung Mati. Burung-Burung Mati.
Rml
Inti cerita yang ingin disampaikan apa? Sekadar “hujan burung” tanpa sebab-sebab yang terkait di dalam cerita? Nda jelas! 0!