Cerpen Guntur Alam (Nova 1354/XXVI 03-09 Februari 2014)
DI belakang rumah kami, ada sebatang pohon sawo yang tak bahagia.
Pohon sawo itu dibeli dan ditanam ibu jauh sebelum aku lahir. Buahnya kecil-kecil tapi manis dan aku suka. Sayangnya, sejak ibu mengatakan pohon sawo itu tak bahagia, aku mulai tak suka memakan buahnya. Dan sekarang benar-benar berhenti memakannya, jadi buah-buahnya yang masak gugur begitu saja, menguarkan baunya yang manis dan segerombolan kelelawar datang saban malamnya.
Aku ingat, pertama kali ibu mengatakan sebatang pohon sawo itu tak bahagia, waktu usiaku dua belas tahun dan ibu mulai sering menghabiskan berbatang-batang rokok, botol bir kemudian vodka, dan pada malam-malam tertentu yang terasa mencekam, ibu akan memainkan piano tua di ruang tamu dengan instrumen sedih, menyayat, dan bahkan jauh lebih pilu daripada nyanyian kehilangan di rumah duka.
Aku ingin bertanya, kenapa ibu begitu berubah? Terutama sejak ayah memutuskan tak tinggal bersama kami lagi. Tapi niat itu urung kulakukan. Aku tahu ibu sedih dan sangatlah sukar memahami kesedihan itu.
Bila aku terjaga di tengah malam karena denting piano ibu yang menyayat itu, aku hanya bisa mengintipnya dari balik tirai pintu depan yang warna merah marunnya sudah luntur oleh musim. Selain denting piano itu, kadang-kadang aku terjaga karena mendengar jeritan perempuan yang begitu menderita, seperti teriakan para roh di dasar neraka yang menyebut nama kekasihnya yang berkhianat.
Dan satu hari, dua hari, tiga hari, berhari-hari terus terlewati di rumah kami. Sementara pohon sawo di belakang rumah itu terus tumbuh. Dia masih berbuah. Lebat. Hanya saja, dia tetap tak bahagia, kata ibu.
***
IBU suka sekali menghabiskan waktu berjam-jam dengan memandang pohon sawo itu dari balik jendela. Kadang ibu juga sering melihat segerombol semut hitam yang berbaris rapi dan berjalan dari dapur kami (seperti) ke arah pohon sawo itu, selama berjam-jam. Seolah itu tontonan yang sangat menarik baginya. Dan dia kerap berkata begini.
“Semut-semut ini akan berjalan jauh dari sini ke batang sawo itu, kemudian lenyap di dalam lorong-lorong yang gelap dan jauh di antara akar-akar pohon. Sangat sulit untuk dijangkau dan disentuh.”
Aku tak paham apa yang ibu bicarakan. Tapi aku suka mendengarnya—tepatnya memaksa suka. Bila aku mengajak ibu bercerita, kisah kami sering tak saling bertemu. Dia bermonolog sendiri dan aku pun bermonolog sendiri. Kami asyik dengan cerita masing-masing.
“Tadi di sekolah, aku nonton film porno dari hape temanku, Bu,” mata ibu tak beriak, dia tak peduli. Jika saja pengakuan ini diucapkan anak laki-laki lain pada ibunya, mungkin ibunya akan terperanjat, serangan jantung, dan akan memarahinya habis-habisan. Tapi ibu tak melakukannya.
“Setelahnya, kami onani di toilet sekolah. Rasanya ganjil sekali. Tapi setiap anak laki-laki pasti pernah onani, itu kata temanku. Jadi aku ikut saja.”
Ibu masih senyap. Matanya melayang jauh ke arah pohon sawo di belakang rumah kami. Pohon yang kata ibu tak pernah bahagia itu.
“Aku juga mulai merokok,” aku melanjutkan cerita. “Rasanya aneh. Kami merokok diam-diam di toilet juga, bermain kucing-kucingan dengan guru.”
Ibu masih tak bersuara.
“Oya, aku lupa. Aku ada cerita lucu tentang temanku yang mengajak nonton film porno dan onani di toilet sekolah itu,” aku membetulkan letak dudukku, di depan ibu.
“Malam Minggu kemarin, kami janji bertemu dengan teman-teman di tempat nongkrong dan dia janji akan datang dengan pacar barunya. Tapi ternyata dia datang sendiri.”
Ibu mengerjap. Tapi matanya tetap lurus menatap halaman belakang rumah kami, tentu retinanya melewati rumput, dan berakhir di batang pohon sawo yang tak bahagia itu.
“Ketika ditanya teman-teman ke mana pacarnya, dia menjawab enteng. Barusan pacarku nelpon, taxi yang dia tumpanginya kecelakaan, dia terluka parah dan masuk IGD. Mungkin malah sedang sekarat sekarang. Jadi aku datang sendiri.”
Kutahan senyum, aku teringat ekspresi teman-temanku malam itu.
“Seorang temanku berkata dengan kaget, pacarmu kecelakaan, masuk IGD, dan sekarat tapi kamu di sini? Temanku itu menjawab enteng, aku hanya bercanda. Lalu dia tergelak.”
Aku tertawa. Tapi ibu tetap diam.
“Kami putus, kata temanku. Dia tak mau kucium. Jadi kuputuskan saja. Toh, masih banyak yang mau jadi pacarku.”
Ibu masih memandang pohon sawo yang tak bahagia itu.
“Kalau aku punya pacar, ibu tak masalah, kan?” aku bertanya hati-hati. Aku tahu ibu tak akan menjawab apa-apa. “Aku bukan ingin menciumnya, Bu. Aku ingin mengajaknya bercerita dengan ibu, biar ibu tak kesepian.”
Perlahan aku melihat retina ibu berkaca-kaca. Lalu tak tahu mengapa ibu menangis tersedu-sedu, kemudian dia meraung-raung. Kubiarkan saja. Aku tak ingin mengekang perasaannya. Mungkin ibu akan bahagia bila menjerit dan menangis. Setelah puas, dia akan berhenti sendiri. Dan kutinggalkan ibu, sendirian, dengan tangisnya.
Lalu, aku mendengar ibu menyebut-nyebut nama seseorang yang sudah lama sekali tak kusebut. Dan dia juga meracau tentang susahnya menanam pohon sawo yang bisa bahagia.
***
HARI-hari bergerak seperti dikejar setan. Almanak menggugurkan angka-angka yang kedaluwarsa. Tapi pohon sawo di belakang rumah kami itu tak pernah menunjukkan tanda-tanda akan bahagia. Semua berubah. Tapi tidak dengan pohon sawo itu dan ibu.
Teman-temanku juga berubah. Ada yang ganti pacar baru, ada yang patah hati, dan ada pula yang mulai frustrasi menghadapi Ujian Akhir Nasional nanti. Bahkan kucing Persia berbulu warna emas yang kubeli sebagai hadiah ulang tahun ibu beberapa tahun lalu juga berubah. Dia melahirkan tiga anak kemarin malam, di atas ranjang ibu.
Waktu aku membelinya dia masih sangat kecil, mungkin baru beberapa bulan. Sayangnya dia sepertinya menikah dengan kucing kampung. Dia melahirkan tanpa didampingi suaminya. Tragis, anak-anak kucing yang lucu itu langsung menjadi yatim. Hidup memang terkadang rumit dan sulit kumengerti. Seperti orang-orang di luar sana. Termasuk ayahku.
Ah, sudah berapa lama aku tak menyebut namanya? Walau aku masih sering mendengar ibu menjerit malam-malam, menggaungkan namanya dalam luka yang teramat menyiksa.
Tadi siang, dia datang ke sekolahku. Sebuah kejutan yang luar biasa. Dia jauh berubah. Seperti orang-orang lainnya. Dan dia juga mengatakan aku berubah. Sudah besar dan tampan. Sayangnya ibu tidak berubah sejak beberapa tahun terakhir.
Heemm, dia pasti akan mengatakan ibu berubah jauh. Dulu ibu ceria dan sangat cantik, lalu dia pergi, dan ibu mulai berubah, versinya.
Aku ingin menceritakan tentang ibu. Tapi laki-laki itu terus mengoceh, dan begitu sibuk melirik jarum jam di tangannya yang terlihat akan berlari. Berkali-kali pula dia mengecek hapenya karena lampu benda itu berkedip-kedip terus. Dua-tiga kali dia juga menerima telepon dalam pertemuan singkat kami itu. Lalu dia pamit setelah bertanya, apakah kiriman uangnya selalu datang dan cukup? Aku hanya mengangguk. Dan dia menutup perjumpaan kaku kami itu dengan mengatakan, jika dia baru saja mengisi rekeningku lagi.
Saat melihat ibu di rumah, aku ingin sekali mengisahkan pertemuanku dengan laki-laki yang dulu kusebut ayah itu. Tapi aku tak tahu harus memulai dari mana. Terlebih ketika aku menemukan hal tak terduga dari ibu.
Dia tiba-tiba berubah. Berubah yang tak kuduga.
Mula-mula, aku menemukan meja makan kami yang dingin selama bertahun-tahun itu menjadi hangat dengan mangkuk berisi sup panas, nasi hangat, dan lauk-pauk yang aku tak tahu dari mana asalnya. Lalu, kudapati ibu tengah sibuk di dapur, memasak. Dia tersenyum menatapku. Tak bicara. Aneh sekali. Aku sampai tertegun dibuatnya.
“Apa ibu baik-baik saja?”
“Seperti yang kamu lihat.”
Ibu mengangkat ayam goreng yang baunya sangat menggugah, lalu meletakannya dalam piring. Dia melepas celemek, mencuci tangannya.
“Gantilah bajumu. Kita makan. Sudah lama sekali kita tidak makan bersama.”
Aku mengangguk dan seperti terhipnosis, aku melangkah ke kamarku. Mengganti baju dengan pikiran yang demikian sesak. Apa yang terjadi?
Aku makan dengan lahap sekali, juga ibu. Bahkan kami berdua seperti kesurupan, seolah sudah tak makan bertahun-tahun, semua hidangan itu tandas. Sup ibu kering tak bersisa, termasuk ayam gorengnya hanya meninggalkan tulang-belulang, membuat kucing Persia kami merengut, merajuk.
Usai makan, ibu segera mengangkat semua piring kotor dan mencucinya. Dia tak henti tersenyum. Walau terasa aneh tapi aku sangat bahagia. Bahagia yang ganjil.
“Kita main poker atau uno, sudah lama kan nggak main?” ucap ibu tiba-tiba, saat aku menatapnya sedang sibuk membilas piring di bawah kranan air.
Aku mengangguk.
“Belilah kartu remi,” perintah ibu.
Aku mengangguk lagi dan melesat pergi untuk membeli kartu remi. Pikiranku makin sesak.
Ibu masih piawai dalam bermain poker. Aku beberapa kali kalah. Awalnya aku mengajak taruhan siapa yang kalah akan dibedaki atau wajahnya dijepit dengan jepitan baju. Tapi menurut ibu taruhannya terlalu kecil.
“Siapa yang kalah harus meminum segelas bir atau vodka, berani?” tawarnya.
Dan aku sepakat untuk segelas bir. Perutku terasa kembung karenanya.
Dan ketika kami puas bermain, malam hampir datang menyapu sisa-sisa cahaya matahari senja, mendadak ibu mengambil tanganku.
“Ada yang ingin ibu tunjukkan,” ucapnya.
Aku mengikuti langkahnya, ke teras belakang. Lalu ibu menyibak gorden jendela.
Aku ternganga.
“Ke mana pohon sawo kita?”
“Sudah ditebang,” jawab ibu enteng. “Ibu meminta tolong satpam perumahan mencari pemotongnya. Saat kamu sekolah, dia ditebang dan dibuang.”
“Kenapa?” aku tak mengerti.
“Kasihan. Dia tak bahagia. Untuk apa hidup tak bahagia. Lebih baik dia ditebang.”
Aku terdiam. Banyak hal yang tak kumengerti, ternyata.
***
DAN besok pagi, aku terkejut ketika menemukan ibu sudah kaku di atas ranjangnya. Di lantai, aku menemukan botol obat tidur. Kosong. ***
.
Sebatang Pohon yang Tak Bahagia. Sebatang Pohon yang Tak Bahagia. Nova.
Leave a Reply