Cerpen, Ni Komang Ariani, Nova

Kantor

Kantor - Cerpen Ni Komang Ariani

Kantor ilustrasi Aries Tanjung/Nova

4
(1)

Cerpen Ni Komang Ariani (Nova 1356/XXVI 17-23 Februari 2014)

APAKAH sebuah pekerjaan bisa membunuhmu?

Kantor adalah tempat yang aku datangi setiap hari namun tempat itu seperti menelanku bulat-bulat. Menghancurkan aku pelan-pelan dan sekarang aku telah menjadi pecahan-pecahan kecil yang berhamburan. Ini bukan aku yang datang pertama kali ke kantor ini dengan wajah sumringah dan semangat yang menyala-nyala. Bertahun-tahun kemudian, aku merasa diriku yang sebenarnya sudah habis.

Yang datang pagi dan pulang sore hari itu hanyalah robot, mahluk yang sudah kehilangan jiwanya. Anehnya setiap hari aku merasa bertemu dengan robot-robot yang sama pada halte-halte bis yang aku lewati, pada jalan raya tempat aku menyeberang, di supermarket tempat aku belanja. Di antara kumpulan robot-robot itu, jarang sekali yang tampak sebagai manusia. Mungkin karena itulah, aku tidak lagi memerdulikan tentang jiwaku yang sudah dirampas. Aku menganggap itu biasa. Biasa karena itu terjadi pada semua orang.

Gedung mentereng ini membuat keberadaanku sempurna. Lukisan-lukisan mahal tergantung di dinding, menunjukkan selera tinggi pembelinya. Setiap saat ada janitor yang hilir mudik untuk membersihkan beberapa titik noda yang terlihat, padahal lantai gedung itu sudah begitu mengkilat seakan kau bisa berkaca di sana.

Pada detik berikutnya akan terlihat hilir mudik karyawan-karyawan berpakaian rapi dan wangi. Beberapa kejapan berikutnya, para karyawan keren itu akan terlihat asyik dengan laptop mereka yang tipis, proyektor, presentasi, percakapan istilah-istilah teknis. Semua terlihat sangat canggih dan memukau.

Hanya ketika suasana hening ketika semua orang sudah pulang dan aku masih bengong di hadapan laptopku, aku tidak memisahkan diriku yang sebenarnya dengan seseorang yang bukan aku. Ruhku kembali ke dalam ragaku dan aku menjadi aku yang sebenarnya.

Aku bukanlah perempuan itu yang terlihat begitu kuat di setiap rapat dengan setiap kalimat yang kuucapkan menyihir semua orang dan membuat mereka terpesona. Aku bukanlah perempuan itu, yang pada kesempatan tepat, akan membuat trik-trik untuk menjatuhkan nama atasanku, bila perlu menyebarluaskan isu yang kukarang dengan cerdiknya.

Aku yang sebenarnya adalah perempuan sederhana yang menginginkan hal-hal baik saja. Maafkanlah aku yang terpaksa melakukan hal-hal seperti itu, karena dengan cara itulah aku bisa sampai pada gaya hidupku yang sekarang. Terus-terang saja, aku terlanjur menyukainya. Terlanjur mencandu padanya. Apa jadinya jika aku harus kehilangannya?

Aku perempuan itu, yang sering dilihat orang di sinetron-sinetron. Bertubuh ramping, berkulit mengkilat dan rambut panjang yang tergerai ke pinggang. Belakangan aku tidak pernah lagi makan di rumah. Aku makin gemar berburu makanan enak dari foodcourt ke foodcourt. Menghabiskan sore minum kopi latte dan sepotong croissant bercita rasa keju.

Baca juga  Kali Pertama Aku Menangis

Bila aku masuk ke dalam bis yang aku tumpangi, orang-orang memandangiku seperti melihat hantu. Bintang sinetron mana nih yang masuk ke dalam bis. Beberapa sahabatku yang masih tinggal di kota kecil berulang kali memujiku foto profil facebook-ku yang keren. Aku si gadis kota kecil tidak mungkin menjadi sekeren itu di Jakarta. Setelah itu akan mengalir chatingan tentang gaya hidupku di Jakarta.

“Kamu keren banget Salwa? Kerja apa sih sekarang!”

“Aku executive secretary.”

“Sekretaris kan, kok sekretaris bisa keren ya.”

“Aku bosnya sekretaris. Sekretaris yang jabatannya yang paling atas.”

“Sekretaris itu sebagian besar pekerjaannya mencatat dan administratif kan? Apa menariknya pekerjaanmu?”

“Aku sekretaris yang istimewa. Aku adalah pembisik para direktur dan manajer perusahaan tentang apa yang harus mereka lakukan. Aku lebih berkuasa dari seorang direktur, karena setiap ia membuat kebijakan, ia akan bertanya padaku.”

“Wah hebat banget dong kamu. Pantes kamu kelihatan keren banget.”

Aku hanya tersenyum dalam hati mendengar pujian itu. Setelah itu akan mengirim tiga tanda smile kepada teman sekelasku di kampung itu, pertanda aku sangat gembira dan juga sangat menikmati hidupku. Benarkah aku segembira itu?

***

Setiap jam lima sore aku dicekam ketakutan pada keheningan. Keheningan selalu membuatku mengingat siapa diriku. Beban pekerjaanku belakangan kian bertambah dan menuntut konsentrasiku secara penuh.

Aku sering melewati malam-malam di saat aku sulit memejamkan mata. Aku sering melewati hari-hari di saat makanan terasa tawar. Aku sering melewati pagi dengan mual dan muntah di kamar mandi. Berbagai gejala penyakit datang dan pergi silih berganti. Tapi apa boleh buat, itu harga yang harus aku bayar.

Aku selalu berpikir seharusnya kedokteran modern menemukan suatu jenis vitamin yang bisa memompa energi seseorang menjadi dua kali lipat lebih banyak. Aku memerlukan vitamin itu sekarang juga. Mungkin ada teman-teman yang tahu tentang vitamin sejenis itu.

Ono rego ono rupo, kata sebuah pepatah Jawa. Itu pertukaran yang pantas dengan semua kemewahan yang aku miliki sekarang. Mudah-mudahan itu pun pertukaran yang pantas untuk beberapa gejala penyakit yang sering aku rasakan, seperti migren, maag, vertigo, gastritis, atau entah apa lagi yang disebutkan dokter. Kantorku mengganti seluruh biaya perawatanku ke dokter-dokter itu. Jadi ya, memang tidak ada yang perlu dikuatirkan.

Baca juga  Jembatan Charles dan Cerita Pendek tentang Senja

Mungkin ini bukan pilihan hidup yang terlalu buruk. Semua orang melakukannya. Bahkan ini sudah menjadi gejala umum yang bernama kesuksesan. Menjadi setengah manusia dan setengah robot. Atau setengah manusia, setengah zombie.

Kedua orang tuaku melihatku sebagai putri mereka yang sukses dan membanggakan. Mengapa tidak boleh menikmati kesuksesanku yang dikagumi orang itu? Pagi akan bertemu pagi. Malam juga akan bertemu malam. Hari akan berganti dengan cepat, dan aku akan melupakannya.

***

Hari keempat belas. Di toilet restoran cepat saji, tempat aku menyantap sarapan pagi, aku memperhatikan bayanganku di cermin. Memandangi pinggangku yang ramping dan berbalut dress kuning polos. Perempuan itu sempurna. Bayangan itu menunjukkan kesuksesan.

Ketika aku melirik wajah yang terpantul di sana. Aku menghindar untuk berlama-lama memandang tatapan perempuan itu. Hanya mata itu yang jujur menjelaskan siapa perempuan di hadapanku sesungguhnya. Aku tersengat habis. Tidak berani mempercayainya. Bergegas aku pergi, sebelum mata itu memengaruhiku lagi.

Setengah menggigil aku memasuki ruanganku, ruangan bosku tepatnya. Masih ada dua jam sebelum laki-laki berperut buncit itu datang. Kubuka horden, membiarkan cahaya matahari leluasa masuk melewati jendela lebar di ruangan itu. Dari kaca lebar itu, aku bisa memandang gedung-gedung bertingkat atau lalu lalang orang-orang di jalan. Seperti menonton drama kehidupan. Mengharapkan sebuah cerita dramatis yang membuat aku merasa lebih baik.

Setelah itu aku akan memanjakan mataku dengan memandang langit lepas. Memandang langit lepas beberapa saat selalu membuat aku merasa lebih baik. Melupakan sejenak rasa meriang yang membuat aku agak gemetar sejak pagi tadi. Perempuan canggih sepertiku tidak mungkin menjadi lemah dan tak berdaya.

Langkah-langkah berat menuju ruangan membuat aku gentar sesaat. Sekejapan berikutnya aku sudah menegakkan bahuku dan melatih senyuman di lekuk bibirku. Aku kembali menjadi perempuan itu. Aku yang bukan aku.

Ketika jam makan siang tiba, aku menarik nafas lega. Bergegas aku menuju lift, untuk naik ke lantai lima, ke food court, seperti tawanan yang mencoba kabur dari penjara. Di sana aku berpapasan dengan perempuan-perempuan cantik, memakai blazer mahal yang bisa aku intip mereknya. Aku adalah bagian dari mereka. Aku menelan ludah yang terasa pahit. Riska teman sekantorku menepuk bahuku dengan gembira. Membuat jantungku hampir copot.

“Hei… kok bengong kayak orang linglung gitu sih? Ngeliat aku seperti ngeliat hantu.”

Aku hanya tersenyum tipis. “Aku lagi nggak enak badan.”

Riska memandangku sekilas. “Ya kamu memang kelihatan agak pucat. Sakit apa, Wa?”

Baca juga  Amnesti

Aku hanya menggeleng perlahan. “Mungkin cuma kecapekan. Mau makan apa kamu, Ris?”

“Aku lagi pengen makan burger keju kesukaan kita itu. Kamu mau?”

“Boleh juga deh.” Kataku lirih seperti tidak terdengar. Sudah sepekan ini makanan terasa hambar.

“Kamu kok pucat banget sih, Salwa? Tumben ketemu kamu, karena biasanya kamu sibuk meeting ke luar kantor.”

“Ya, Ris. Sudah dua minggu badanku terasa nggak enak. Tapi kerjaan tidak bisa ditinggalkan.”

“Ya minta ijin dong, nggak masuk. Namanya juga sakit.”

Aku hanya memandang lesu wajah Riska. Sejak kapankah aku tak diijinkan sakit, seolah aku bukan lagi manusia. Aku malah mencandu padanya. Aku mencandui jiwaku yang dirampas. Burger keju yang biasanya beraroma sedap itu gagal menerbitkan selera pada lidahku yang terasa semakin tawar.

“Hai Salwa, ayo dimakan burger-nya. Kok malah bengong?”

“Salwa kamu kenapa? Ayo cerita dong. Wajahmu putih seperti nggak ada darah. Mungkin kita harus ke dokter. Kamu harus periksakan kesehatanmu. Ayo jangan didiamkan. Nanti bahaya lho.”

Aku menjawab pertanyaan Riska dengan air mata yang mengalir dari kedua kelopak mataku. Pertahananku bobol. Apakah ruh robot itu sudah pergi?

“Lho kok malah nangis sih. Ada apa sebenarnya? Cerita dong ke aku. Tidak perlu sungkan.”

Entah mengapa aku tidak sanggup memberikan satu pun jawaban kepada Riska atau orang-orang lainnya yang kemudian mengajukan pertanyaan yang sama. Aku hanya menjawabnya dengan air mata yang mengalir sunyi melewati pipiku.

Pertanyaan-pertanyaan Riska membuat aku tersadar bahwa aku telah membiarkan diriku tertelan bulat-bulat dan dihancurkan pelan-pelan. Membiarkan diriku sendiri habis dan menjadi tumbal.

Pada detik itu juga aku memutuskan membawa tubuhku pergi. Berharap jiwaku masih melekat di sana. Aku mengambil tasku dan berlari menuju lift terdekat. Terdengar sayup-sayup suara Riska memanggilku. Tapi aku tidak menghiraukannya. Aku bahkan tidak menoleh sedikitpun.

Nafasku memburu. Jantungku berdetak kencang menunggu lift yang tidak juga membuka. Ketika lift mendaratkan aku di lantai terbawah, aku merasakan kelegaan yang hebat. Apalagi ketika cuping hidungku mencium bau matahari dan melihat angkot biru melintas di depanku. Aku memanggilnya tanpa pikir panjang. Aku tidak bisa berhenti tersenyum sepanjang perjalanan. ***

.

Kantor. Kantor. Kantor. Kantor. Kantor,

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!