Cerpen, Helmy Khan, Suara Merdeka

Lanskap Cinta

Lanskap Cinta - Cerpen Helmy Khan

Lanskap Cinta ilustrasi Nugroho DS/Suara Merdeka

3.3
(4)

Cerpen Helmy Khan (Suara Merdeka, 15 Desember 2022)

EL, dahan pohon mimba ini tak pernah behenti dihempas angin. Berserakan daun-daunnya ke arah engkau lewat dekat jalan ini. Di sinilah aku berlindung. Berlindung dari segala perih yang timbul atas nama cinta.

Tidak perlu engkau tahu siapa aku. Anggaplah aku adalah batang pohon mimba yang patahan rangtingnya selalu mengelupas. Pohon mimba dengan daun berguguran. Pohon mimba yang tak pernah dipetik daunnya untuk pakan ternak. Anggaplah aku pohon mimba dengan segala kesia-siaan rasa pahit pekat melekat.

Namun, dari ketidakberdayaanku selama ini ada secuil rasa yang hingga kini masih tumbuh subur di dadaku. Rasa yang selalu aku biarkan menyala, meski jiwa ini terpisah dari raganya. Aku bersyukur engkau tidak pernah tahu betapa besar cinta ini, dan bahagiaku benar-benar sempurna ketika Izrail mengepakkan sayapnya ketika aku tenggelam di luas samudera.

Dan di sini, di batang pohon mimba yang berserakan patahan rantingnya, aku leluasa mengatakan cinta. Aku tidak perlu ragu lagi pada kata penolakan. Ya, memang seharusnya aku tak perlu takut pada kata-kata itu, karena saat ini aku sudah tidak terikat lagi oleh hukum semacam itu yang berlaku di dunia manusia. Ah… betapa indahnya dunia hantu.

Di balik semua itu, sebenarnya aku merasa malang menjadi hantu di usia yang masih terbilang cukup muda untuk seumuran orang sepertiku. Selain hanya duduk termenung di dahan mimba, hampir setiap hari menjelang petang orang-orang yang melintas di jalan ini aku kerjai.

Tunggang-langgang langkah mereka ketika aku tiupkan sesuatu ke daun telinganya. Ada pula sebagian mereka yang justru malah menyumpahi perbuatanku. Ada pula yang sampai terkencing-kencing menahan rasa takut. Sungguh aku terpingkal-pingkal dibuatnya.

Tapi ada yang berbeda dengan senja sore itu. Saat tak sengaja aku temukan kembali seberkas cinta yang terpancar di wajahmu kembali menerobos kornea mata. Ya, sore itu aku melihatmu melangkah dengan kaki terhuyung mendekap sebuah foto. Meski lemah, langkahmu tetap tegar meningkahi jalan setapak di antara banjaran batu nisan pemakaman ini.

Baca juga  Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis

Melihatmu seperti itu, ingin sekali aku berada di sampingmu. Menyapu selaput matamu yang merah dengan segenap rasa yang tak pernah tersampaikan hingga detik ini.

“Tenanglah kau di sana, sayang,” ucapmu dengan nada pilu.

“Sudahlah. Biarkan Rafi pergi dengan tenang. Yakinlah, di sana dia pasti menanti kita di surga-Nya,” lelaki berbadan tegap dan berkulit kuning itu mendekapmu dalam dada.

Setelah lima tahun berlalu, akhirnya aku tahu bahwa engkau telah menikah dan dikaruniai seorang anak. Sungguh beruntung kau, El. Tidak sepertiku yang justru kesia-siaan terus mendera jalan hidupku.

Perlulah engkau tahu, El. Aku, lelaki yang kau sebut Lintang tidak pernah seindah arti nama itu. Jika aku memang benar-benar Lintang, maka aku adalah Lintang yang malang. Sosok Lintang yang dibuat terhuyung oleh titik ordinat untuk menentukan letak cinta dalam dadamu. Hingga akhirnya rasa ini harus aku telan sendiri dalam duka yang tak berkesudahan hingga kematian.

***

Setelah lepas dari dermaga, pelan-pelan kudayung perahu. Berlayar seorang diri menyisir riak ombak di bawah gerombolan awan putih yang perlahan menutup permukaan bulan sabit. Aku masih tidak mengerti dengan anggapan sinis orang tuamu ketika pertama kali kau perkenalkanku pada ayahmu.

Sungguh jauh dari dugaanku. Kata menghargai dalam nasihat ibu yang selalu dibisikkan kepadaku seperti tidak berlaku dalam keluargamu. Aku seperti melihat lidah api menjilat-jilat kening ayahmu. Menatapku dengan tatapan sinis, penuh curiga dan mencampakkanku tanpa harga.

“Mau dikasih apa anakku kalau nanti menikah denganmu?” kata ayahmu ketus. Lidah api itu semakin membara. “Sejak kapan kamu mengenal dia?”

“Satu bulan yang lalu, Pak,” tegasku pelan.

“Baru kenal satu bulan sudah berani main lamar-lamar. Seharusnya tahu diri!” kata ayahmu merendahkanku.

Bara api telah melalap segala isi dalam tempurung kepala ayahmu. Sehingga ketika asap rokok disemburkan dari bibirnya tampak seperti asap pembakaran.

Baca juga  Kubah Miring

Sejak itu, aku pikir satu-satunya cara untuk meredam percikan api yang perlahan juga terpetik dalam kepalaku adalah dengan cara melaut. Aku percaya, setiap dayungan perahu ini dapat memadamkan gemuruh yang terus bergejolak.

Di tengah laut lepas seperti ini aku bebas mengekspresikan apa saja, termasuk bagaimana aku mendera sakit luka yang terus menganga.

Seorang diri di tengah laut aku melihat kerlipan lampu di dermaga mulai tak terlihat lagi. Hembusan angin sedikit kencang. Setelah sampai di lokasi yang sering diceritakan orang-orang aku melemparkan jala yang kurajut penuh kehati-hatian. Sungguh nasib baik, tiga angkisan jaring berhasil mendapatkan beberapa ikan besar. Ini sungguh malam keberuntungan. Jarang sekali aku dapat tangkapan ikan tuna dan tongkol sebesar lengan tangan orang dewasa.

Tak butuh waktu lama, dua ember dalam perahu telah penuh dengan ikan. Beberapa lagi menggelepar di atas papan. Tangkapan terakhir hanya dapat tiga ekor yang jauh kecil dari angkisan sebelumnya.

Setelah beberapa lama menunggu aku merasa seperti ada yang berbeda. Perlahan sampan kecil yang kubawa melaut bergoyang-goyang. Riak ombak membesar disertai hempasan angin kencang.

Oh, nasib. Aku menduga akan datang badai besar. Benar saja setelah beberapa jauh kumendayung, ombak besar datang menghantam yang mebuat perahuku terombang-ambing.

Setiap detik ombak terasa semakin besar. Beberapa ikan terpental dan hilang ditelan lautan. Aku sudah tidak punya tenaga untuk mendayung lebih cepat lagi. Hingga pada akhirnya aku menyerah pada amukan badai yang datang semakin kejam.

Dan inilah nasibku, El. Berpisah denganmu dengan cara seperti ini tak pernah kubayangkan. Meski demikian, sebelum aku benar-benar tenggelam aku sempat memikirkan selembar surat yang tak pernah kuselesaikan malam itu.

***

Sejak peristiwa kelam itu aku hanya melihat ibu yang setiap Kamis sore datang ke pemakaman ini. Tak ada orang lain, apalagi engkau yang terakhir kali kulihat kau datang memberi salam penghormatan saat prosesi pemakaman. Selebihnya aku tak pernah melihat lagi apalagi kau datang mendoakan.

Baca juga  Rasanya Sudah Seperti Pekerjaan Sampingan

Akhirnya setelah lima tahun berlalu aku bisa melihat wajahmu lagi. Aku sudah sangat suntuk berada di sini. Waktu lima tahun bukan masa yang sebentar, apalagi harus berdamai dengan keadaan dan gangguan para hantu yang sangat usil.

Di sini aku tidak punya siapa-siapa. Aku tak pernah berkenalan apalagi berkawan dengan para hantu yang menghuni ratusan nisan di atas pemakaman ini. Aku lebih suka menyendiri, berdiam diri di ranting pohon mimba sambil sesekali menjahili orang yang melintas di setapak jalan depan pintu pemakaman.

Dan hari ini, setelah lima tahun berlalu akhirnya kau datang untuk mengebumikan anakmu yang masih kecil itu.

“Tenanglah kau di sana, Sayang,” laramu dalam tangis.

Engkau masih larut dalam kesedihan ketika meninggalkan makan anakmu yang basah. Pelan-pelan aku turun dari atas dahan menghampiri anakmu yang duduk termenung dekat nisannya.

Ia terlihat murung dan ketakutan terlihat dari wajahnya yang pasi. Ketika aku melangkah, tiba-tiba ia meraih tanganku.

“Om, bolehkah kita berteman?” Tanyanya dengan nada polos.

Nanar matanya mengingatkanku pada wajahmu yang teduh, mungkin inilah suratan cintaku padamu menemani buah hatimu yang bukan darah dagingku.

“Boleh,” jawabku sambil mengusap kepalanya.

Aku bayangkan kehangatan pelukan seorang anak dari benih cinta kita. Bukan sebaliknya, hasil orang yang kucinta dengan lelaki pilihan orang tuanya. ***

.

.

Helmy Khan lahir di Sumenep, Madura. Menghabiskan pendidikan masa kecilnya di Taufiqur Rahman Longos, menyantri di Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin dan menempuh pendidikan di perguruan tinggi Inkadha Sumenep, Madura. Setelah lama berproses di dunia literasi kini beberapa karyanya telah tayang di media cetak maupun online.

.

Lanskap Cinta. Lanskap Cinta. Lanskap Cinta. Lanskap Cinta. Lanskap Cinta.

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!