Cerpen, Mufti Wibowo, Suara Merdeka

Hadiah Natal dari Buenos Aires

Hadiah Natal dari Buenos Aires - Cerpen Mufti Wibowo

Hadiah Natal dari Buenos Aires ilustrasi Suara Merdeka

4
(4)

Cerpen Mufti Wibowo (Suara Merdeka, 18 Desember 2022)

JAM-JAM menjelang Natal, badai salju melintasi pantai barat ke arah timur laut. Badai itu baru benar-benar mereda kurang dari empat jam sebelum laga boxing day dihelat. Badai terburuk dalam sepuluh tahun terakhir di Manchester itu rupanya tak sanggup menyapu kesedihan berlabirin dari matanya yang kecokelatan. Kesedihan itu seperti cacar yang pernah membunuh ribuan orang di Amerika ratusan tahun lalu. Dia juga lelaki yang terlahir di ujung Amerika paling selatan.

Natal benar-benar mencapai suhu terendahnya di Manchester. Tapi, otot-otot kekar di tubuhnya terasa kebas, tak merasakan dinginnya. Dari mulut jendela rumahnya yang belum juga dibuka sejak langit Manchester pertama sekali menurunkan salju pertengahan November, ia melihat dengan tatapan nanar ranting-ranting gundul yang bergoyang lemah, sebab dibebani es yang seolah-olah menunggu dengan gusar datangnya musim semi sebelum memutuskan mencair—padahal musim dingin baru saja dimulai kemarin.

Seminggu setelah salju pertama mengakhiri musim gugur yang terasa singkat, dia menjadi lelaki yang diakrabi kesialan. Satu demi satu kesialan itu datang kepadanya seperti karib. Dia berurusan dengan polisi karena berkendara dalam keadaan setengah mabuk. Semua orang tahu, dia senang berpesta dan memacu adrenalin di jalanan kota dengan mobil-mobil mahalnya yang lebih taat aturan hukum—pajak.

Belum lama kemudian, dalam kurun sepekan, dia dua kali terlambat tiba di sesi latihan. Akibatnya, Tuan Catalan memarkirnya untuk menghangatkan bangku cadangan. Padahal, sebelum diumumkan daftar starting line-up, dia telanjur berjanji kepada anak perempuannya akan mencetak gol di laga akhir pekan sebagai hadiah ulang tahun keempatnya. Dia bahkan telah menyiapkan selebrasi khusus untuk putrinya itu. Ya, kita tahu, dia berusaha menjadi seorang ayah yang baik, dengan caranya yang autentik.

Untuk merayakan kesialan-kesialannya itu, ia mengundang beberapa karibnya yang sama-sama mengadu nasib di tanah Britania. Dalam pesta kecil itu, dia menjadi orang yang paling akhir mabuk. Tapi, sialnya lagi, dia pula menjadi orang pertama yang bangun pagi itu. Pagi bergerak seperti keong dan menyebalkan, seperti neneknya ketika kecil dulu, langit terang meski sinar matahari tak cukup kuat untuk menembus awan penampung salju.

Baca juga  Istirahat

Tamu-tamunya tentu enggan buru-buru bangun, sebab mereka tahu di negeri Elizabeth itu, Natal selalu lebih dingin dari Natal di Kanada sekalipun. Mereka mungkin sedang bermimpi berjemur di pasir pantai negeri tropik. Tamu-tamunya akhirnya berpamitan saat kepalanya dijejali rindu pada ketiga anaknya di Buenos Aires yang selalu hangat dalam pelukan istrinya yang tak pernah mau menginjak tanah di Eropa, kecuali Madrid.

Seharusnya dia terbang ke Buenos Aires pagi itu. Tapi, sejak kemarin, dia tahu tak mungkin pergi ke mana pun untuk menemukan kehangatan Natal. Itulah yang membuatnya bersikap temperamen di lapangan. Dia mendapat kartu merah langsung karena tekel berbahaya lima menit setelah gagal mengeksekusi tendangan penalti. Dia bahkan terancam mendapat hukuman tambahan karena makian “keledai” dalam bahasa Spanyol kepada wasit pemimpin laga. Ya, ia memang hanya berbicara dalam bahasa Spanyol. Dia hanya bicara bahasa Inggris dengan anak-anaknya.

***

Matahari bulan Desember membuat langit Manchester lebih mudah gelap dan lambat pagi. Dinginnya Natal semakin menyuntikkan rasa perih pada setiap luka hatinya.

“Apa aku harus bermalam untuk memastikanmu akan baik-baik saja sampai kamu tahu kapan bisa terbang,” gurau Kim yang iba.

“Aku akan baik-baik saja, Kim.”

“Jawabanmu tak seperti orang paling banyak minum di Manchester ini. Aku pikir kamu perlu sarapan untuk melawan dinginnya Natal di Manchester kita.”

“Kamu telihat lebih seperti asisten daripada seorang manajer.”

“Baguslah kamu masih bisa bergurau, aku harap semua keadaan kemarin sedang berjalan ke arah yang semakin baik.”

“Kamu sendiri kenapa tak bergabung semalam?”

“Aku tak ingin melihat anak-anak bersedih di malam Natal.”

“Sinterklas bertatato, itu bagus, Kawan.”

“Kamu pun harus melakukannya di Buenos Aires.”

Ia hanya tersenyum sinis.

Tuan Perfecto akan menghakimi jika tahu kamu berpesta lagi.”

“Dia memang berbakat dalam urusan itu.”

“Tapi, berkat statemennya tentang boxing day di depan kamera wartawan, tahun depan Natal kita akan kembali hangat.”

“Itu tak kan pernah terjadi. Tidak, Kim.”

“Tapi kita telah mendengarnya bukan?”

“Bukan itu maksudku. Maria telah kehilangan kepercayaannya padaku.”

Baca juga  Sirajatunda

“Apa yang terjadi dengan istrimu di Buenos Aires?”

“Di London, jadwal penerbangan berjalan normal. Aku bisa terbang dari sana. Tapi, sebelum aku pergi, pengacaraku menghubungiku untuk mengabarkan gugatan cerai dari Buenos Aires.”

“Aku menyesal mendengarnya. Tapi, yang kamu tunjukkan di lapangan sungguh mengecewakan, kamu bisa mengakhiri karier seseorang. Kamu sendiri tak menginginkannya.”

“Aku sedang berpikir tentang jendela transfer.”

“Berbicaralah dengan Tuan Catalanmu.”

***

Sejak Tuan Catalan resmi menjadi majaner klub, mereka hanya berbicara di sesi latihan dan pertandingan. Meski begitu, Tuan Perfecto selalu memberikan pelukan hangat sebelum dan setelah pertandingan kepadanya. Si Botak itu mungkin jenius, tapi jelas bukan teman atau ayah yang menyenangkan baginya. Tapi, pendapat itu mungkin agaknya akan berubah setelah pembicaraan keduanya hari itu.

“Waktu memutuskan untuk datang ke Manchester, orang-orang di sekitarku mengatakan aku sedang berjalan mendekat ke neraka,” kata Tuan Catalan.

“Kenapa tetap pergi?”

“Aku hanya ingin pergi menjauh dari Alpen ke tempat yang lebih hangat.”

“Kamu mestinya mendekat ke Mediteran, kembali ke negerimu, atau ke Napoli. Di sini, bahkan Natal begitu hambar dan dingin.”

“Aku sudah mendapatkan semuanya di Catalan. Italia adalah masa lalu, sekarang semua orang melihat Inggris tiap akhir pekan dan midweek, kita tahu itu kan? Dan, lelaki seperti kita lebih menyukai tantangan bukan?”

“Ah, aku sungguh tak suka mendengarnya. Kamu membuatku kagum, Pep.”

“Semua orang telah mengatakannya, tapi kurasa kamu baru tahu itu sekarang.”

“Kamu memang bangsat tua yang arogan.”

Mereka berdua tertawa seakan-akan kapten kapal dengan koki kapal yang bereuni setelah perpisahan puluhan tahun. Keduanya merayakan persahabatan itu dengan bergilir menenggak anggur terbaik dari negeri Napoleon Bonaparte tanpa gelas di kawasan pelabuhan.

“Manchester sungguh neraka buatku.”

“Tempat ini begitu dingin saat Natal, neraka yang panas. Itu istilah yang keren bukan?”

“Kamu tahu itu, semua hal di sini diukur dengan uang. Kurasa kamu tidak termasuk.”

“Jadi, maksudmu kita belum terlalu mabuk untuk membicarakan hal-hal yang sakral?”

Mereka kembali tertawa dengan suara yang makin keras, tapi tak cukup terdengar dari kejauhan karena bertubrukan dengan angin dan debur ombak yang cukup lemah.

Baca juga  Telunjuk

“Hei, kamu tertawa begitu keras, tapi air matamu berderai seperti janda tua yang menikahkan anak perempuan satu-satunya.”

“Kamu memang Catalan cerewet!”

“Apa katamu, sekali lagi kutendang bokongmu. Ayolah, ceritakan sesuatu yang membuatmu bersikap begitu memalukan di boxing day lalu.”

“Kamu tahu, sejak aku pergi dari Madrid, Maria, perempuan yang telah memberiku tiga anak, tak sekali pun duduk di tribune seperti yang dulu sering dilakukannya saat aku bermain di Madrid. Beberapa jam sebelum Natal di Buenos Aires, dia menggugatku cerai.”

“Aku prihatin. Itu adalah hadiah Natal yang menyedihkan. Apa kamu bermaksud menyelamatkan pernikahanmu?”

“Sebenarnya aku tak tahu apakah masih bisa.”

“Apa kamu berpikir aku bisa membantu?”

“Masukkan namaku dalam bursa stransfer musim dingin.”

“Aku bisa saja, tapi kamu baru saja memperpanjang kontrak. Tak banyak klub yang memiliki kemampuan finansial untuk meminangmu.”

“Aku akan melobi petinggi klub di Madrid atau klub masa kecilku di Argentina. Aku bersedia menanggung sebagian biaya transferku.”

“Aku bisa memberimu waktu sepekan berlibur untuk mencari ketenangan dan berpikir secara jernih mengenai masa depan karier dan pernikahanmu.”

Dulu, ia sangat ingin bertahan di Madrid. Tapi, manajemen memaksanya pergi demi memperbaiki neraca keuangan klub yang terus memburuk karena utang dan resesi di Eropa. Dia juga teringat ketika usianya belum genap lima belas, orang tuanya memaksanya pergi ke Lisabon demi karier di Eropa.

Ketika mulai menemukan kebahagiaannya di Portugal—meski kesulitan berbicara Portugis—ia lalu tergiur dengan iming-iming gaji tinggi dan popularitas sehingga membuatnya hijrah ke Madrid sebelum kemudian menyeberang ke Manchester. Ia menertawakan dirinya sembari memeluk botol anggur Prancisnya yang hanya berisi udara itu, sementara air matanya terus menyungai. ***

.

.

Fatkunsin, 19-21

Mufti Wibowo lahir dan berdomisili di Purbalingga.

.

Hadiah Natal dari Buenos Aires. Hadiah Natal dari Buenos Aires. Hadiah Natal dari Buenos Aires.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!