Asma Nadia, Cerpen, Republika

Ranti Menderas

Ranti Menderas - Cerpen Asma Nadia
2
(3)

Cerpen Asma Nadia

PERTAMA kali berdampingan dengannya, aku mencium harum badannya. Wangi, seperti aroma keik di hotel-hotel bintang lima. Mengalir lewat udara membelai-belai setiap hidung pada jejak pertama pintu masuk. Enak dan menggoda.

Penampilannya ‘baru’ dan rapi. Meski terlihat agak canggung, tapi ia berusaha keras menyesuaikan diri. Ia belajar lewat apa yang dipandang, dan didengar. Ia memperhatikan, mengamati, menyimpulkan. Tak semuanya benar, tapi aku menghargai usahanya mencoba. Dulu, mula-mula kemari, tiga tahun yang lalu, aku pun seperti dia. Anak gunung yang turun ke kota besar. Canggung, rikuh, tapi seperti yang lain, cepat terjerat pesona ibu kota.

Maka kebun teh di puncak gunung berganti sawah manusia di tiap sudut kota. Matahari dan udara bening pagi yang didominasi aroma daun dan pepohonan bercampur tanah basah, menjadi udara penuh knalpot dan polusi yang lewat ambang batas. Tarian riak sungai dari celah pegunungan menjelma cahaya lampu yang berpendar di perempatan-perempatan jalan.

Lalu semua potret desa tiba-tiba tercerabut dari ingatan. Seperti rumput-rumput yang tersabit tukang kebun dengan sekali sentak. “Ya, seperti itu.”

Ia terperanjat. Tapi tak menolak pendapatku. “Masa?”

Suaranya lemah serupa bisikan. Pandangannya mengkilat seolah tak percaya secepat itu orang akan melupakan kampung halaman.

Aku mengangguk mantap.

“Tak ada yang tahan godaan ibu kota, teman!”

“Panggil saya Ranti.”

Ia tak melanjutkan percakapan. Menyoroti orang-orang yang masuk ke tempat kami. Para pelayan menghampiri dengan senyum terlalu ramah, yang akan hilang tak sampai 2 menit. Senyum pelayanan, senyum servis. Senyum, karena kita harus tersenyum, atau mendapat komplain dari pelanggan.

Di sampingku Ranti mulai membiasakan diri. Tersenyum. Meski tak banyak orang yang menanggapi. Mereka hanya melirik kami sekilas, lalu cepat memutar pandangan, memilih meja yang nyaman.

“Padahal semua meja sama saja.” Keluh Ranti tak mengerti.

“Tidak, tidak sama.” Aku tersenyum. Puas karena bisa sekali lagi menempatkan diriku sebagai senior. “Kamu lihat meja yang di tengah itu Ranti?”

Ranti mengangguk. Matanya mengarah ke meja tepat di pusat cafe yang disoroti lampu kristal hingga lebih terang benderang.

“Oh, yang diduduki orang-orang yang sedang rapat, kan? Mereka pasti teman atau relasi ya?”

Aku tak menanggapi. Ranti masih terus memandang. “Yang laki-lakinya gagah, jasnya bagus ya?”

Aku mengangguk.

“Tapi perempuannya, mereka….”

Baca juga  Istri Sempurna

“Ranti… itu bukan sekedar meeting.”

“Bukan?”

Aku menggeleng.

“Itu mungkin lobi-lobi yang dilakukan, dan wanita-wanita cantik itu punya peran. Sering keberhasilan negosiasi bisnis terletak pada kerling mata, atau senyum, bahkan dada mereka.”

Ranti tercengang.

Satu dua… tiga detik. Aku mengibaskan tangan ke wajahnya.

“Hus jangan bengong! Nanti kamu akan terbiasa.”

“Maksudmu….”

Aku mengangguk, lagi.

Si “gadis desa” menyebut nama Gusti Allah berkali-kali.

“Jangan lupa, kamu sekarang di Jakarta.”

Ranti manggut-manggut.

“Meja itu memang dipilih oleh orang-orang yang datang beramai-ramai, kamu lihat sofanya bisa diduduki banyak orang.”

“Kalau yang itu?” Ranti menoleh ke meja di sisi-sisi ruangan. Cuma ada dua kursi berhadapan di sana. Lampunya lebih redup di bandingkan yang sebelumnya. Tiba-tiba wajahnya cerah, penuh senyum.

“Kenapa?”

“Saya tidak menyangka. Ternyata di Jakarta masih ada bapak yang tetap memperhatikan anak-anaknya, sekalipun mereka beranjak besar.” Ia meletakkan tangannya pada dada. Terharu.

Mataku menerobos pengunjung kafe, cepat menemukan sosok yang dimaksud Ranti. Seorang lelaki setengah baya dengan uban di pelipis-pelipisnya.

Sekejap tadi dia tersenyum lebar. Ramah dan kebapakan, mungkin itu yang tertangkap di benak Ranti.

“Licik, buaya gak tahu diri!” itu kataku.

Ranti terperangah.

“Jangan kasar begitu.”

Aku terbahak-bahak. Aduh si Ranti ini, naif sekali.

“Ran, kamu pikir gadis dengan rok celana jeans ketat, dan kaos gantung itu anaknya?”

“Iya, kayaknya anak sekolahan, ya? Mungkin kelas satu esema, atau tiga esempe.”

“Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi aku pasti dia perempuan ‘bawaan’!”

“Ahh, masa? Kayaknya masih kecil. Lihat tampangnya juga polos. Tidak pakai dandanan macam-macam!”

“Pasti! Coba kamu perhatikan lagi.”

Dua pasang mata kami terfokus pada pasangan ‘bapak dan anak’ tadi. Lima menit sebelumnya mereka hanya saling pandang, dan bercakap-cakap. Sekarang pun masih. Tapi tak lagi dengan bahasa lisan, melainkan lewat tangan-tangan yang bertemu. Di bawah meja yang tidak tertutup taplak seluruhnya, dua pasang kaki bertaut. Lelaki dengan wajah kebapakan tadi menggelinjang kegelian.

Ciss!”

Ranti menunjukkan wajah muak. Memalingkan wajahnya. Tak sanggup melihat keterusan adegan di depan kami.

“Meja itu memang dicari pasangan yang ingin privacy lebih. Contohnya kayak bapak tadi.”

“Kamu benar. Rasanya sulit mencari kemurnian tanpa nista di pergaulan malam ibu kota.”

“Ya… begitulah.”

Lampu-lampu di panggung mulai dinyalakan. Pasangan demi pasangan, sebagian besar anak-anak muda. Sebagian lagi campuran tengah baya-muda, dan ada juga… usia dewasa mengalir dari pintu utama kafe. Seperti pancuran yang tak henti-henti dari hulu sungai. Mengalir dalam gelombang deras, seiring waktu yang melarut. Di atas panggung, seorang penyanyi ibu kota, dengan dandanan seperti Barbie, rambut disasak tinggi dan terjurai seperti air mancur di taman kota, dan baju yang super sexy, mulai mengalunkan suara. Band di belakang meningkahi dengan beat-beat cepat. Si penyanyi diiringi tiga penari latar dengan baju semi striptease, berjingkrak-jingkrak di atas panggung.

Baca juga  Hujan Batu di Kepala

“Itu penyanyi yang….”

“Ya. Yang katanya baru cerai dari suaminya.”

Astaghfirullah, itu di samping panggung, yang menunggui… lelaki yang dikabarkan teman selingkuhnya. Katanya tidak benar?”

“Tidak benar gimana? Lihat cara penyanyi itu sebentar-sebentar melangkah ke arahnya dan mendaratkan kecupan di pipi lelaki itu. Lihat caranya menggelayut pada tubuh lelaki itu. Lihat…,” aku menjelaskan panjang lebar. Ranti makin terpana.

Gusti Allah, mereka ciuman! Di depan orang banyak!”

Ranti histeris. Aku menepuk-nepuk punggungnya.

“Kalau ibu-ibu di kampung saya melihatnya, bisa ping san mereka!”

“Memang ajaib.”

“Padahal katanya lulusan pesantren!” istighfar lagi.

“Gak jaminan. Ingat, ini Jakarta, Ranti!”

Suasana ruangan kian bising. Lampu-lampu kristal bundar di langit-langit berputar memantulkan kerlap warna-warni. Pelayan-pelayan beredar dengan baki di tangan.

Sedikit membungkuk saat meletakkan menu di meja. Tersenyum—hilang sebelum dua menit––lagi. Suara tawa cekikikan terdengar tak normal. Orang-orang menari. Lupa diri.

“Eh, lihat pasangan itu! Mereka berbeda! Lihat pakaiannya.”

“Ya, sepertinya.”

“Maksudmu? Mereka pasti pasangan suami istri yang mungkin sedang merayakan Hut pernikahan kedua puluh mereka.”

Aku menatap lelaki dan perempuan, dengan pakaian terhormat di arah jarum jam 5. Sepertinya keduanya tak sempat pulang dari kantor dan langsung kemari.

“Tidak.”

Ranti terlengak, lalu matanya menggodaku.

“Kamu pasti bercanda, kan? Mereka pasti suami istri!”

“Tidak. Mereka mungkin suami, tapi suami orang lain. Dan istri, tapi istri dari orang lain.”

“Astaga… mereka se…se….”

“Selingkuh!” cepat kupotong habis ucapannya, “Yang lelaki sudah sering kemari. Tapi selama dua tahun menjadi langganan di sini, ia sudah berganti pasangan tiga kali.”

Ranti melongo.

“Dan dia selalu memilih tempat di pojok itu. Kecuali kalau sudah terisi oleh orang lain. Kamu lihat sikap perempuan yang dibawanya? Agak cemas dan hati-hati. Mereka berharap lampu paling temaram mengamankan bayangan mereka dari pandangan orang lain. Itu tempat paling eksklusif!”

Baca juga  Kucing

“Kenapa kamu selalu seperti ini?” Suara Ranti menghembuskan udara kesal.

“Seperti bagaimana?”

“Penuh prasangka!”

“Aku lebih suka kalau ternyata semua memang cuma prasangka burukku!”

“Apa kamu selalu seyakin ini?”

“Hanya untuk hal-hal yang aku yakini. Percaya deh, Ran… aku sering melihat lelaki itu!”

“Mungkin satu dari tiga perempuan yang pernah diajaknya, istrinya.” Desis Ranti lirih.

“Mungkin, tapi menurutku tidak. Kalau lelaki mau selingkuh, biasanya ia tak membawa istri ke tempat di mana ia sering bersama wanita lain.”

“Di mana istrinya?”

“Mana aku tahu. Mungkin di rumah, bergumul sama cucian piring kotor, debu di atas tivi, dan anak-anak yang berantem karena berebut chanel tivi!”

“Kasihan.”

“Mungkin juga dia selingkuh di tempat lain seperti ini. Haha….”

Ranti memandangku dengan raut tak suka. Aku buru-buru mengerem tawa.

“Maaf, aku berlebihan, ya?”

Ranti mengangguk. Wajah cerah dan harum aroma tubuhnya tiba-tiba sudah berkurang setengahnya. Mungkin tergilas suasana drastis malam di ibu kota.

“Saya jadi ingin pulang. Tidak betah. Tapi bagaimana caranya?”

Aku menatapnya setengah kasihan.

“Tidak bisa. Kamu tahu kamu tidak bisa pulang lagi.”

“Kenapa?”

“Aduh, Ranti….”

“Tapi saya ingin pulang. Saya ingin kembali ke hutan dari mana saya berasal. Saya rindu celoteh jernih anak-anak di pinggiran sungai, juga pegunungan. Di sana hutan-hutan bernyanyi sepanjang hari lewat daunnya yang gemerisik. Saya rindu ibu-ibu berkerudung membawakan shalawat dan yasinan setiap malam Jumat. Suaranya selalu sampai ke tempat saya. Dibawa angin sampai jauh. Saya rindu….”

“Ran, tidak bisa! Itu sudah nasib kita.”

“Saya tidak mungkin bertahan di sini. Saya bisa mati.”

“Eh lupa? Kita kan memang benda mati menurut mereka. Tidak bisa. Kecuali kalau bos menemukan pajangan kayu yang lebih antik lagi dari kamu!”

Dan Ranti mulai tersedu-sedu. Terus terisak sepanjang malam, dan esok serta esoknya lagi. Tapi pelitur mengkilat yang menyebarkan bau wangi menahan deras air matanya. ***

.

.

Depok, 9 April 2002

.

Ranti Menderas. Ranti Menderas. Ranti Menderas. Ranti Menderas. Ranti Menderas. Ranti Menderas.

Loading

Average rating 2 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!