Arianto Adipurwanto, Cerpen, Jawa Pos

Bedil

2.8
(5)

Maq Dumbeng langsung turun dari berugak. Empat rekan minumnya celingak-celinguk. Gelap di sekeliling. Mengurung. ”Di sini makin keras baunya!” katanya.

SATU warga turun mengikuti. Ia tidak memakai sandal. Rasa dingin menempel di telapak kakinya dan menjalar naik. Ada yang memanjat betisnya, seperti seekor semut, tapi ia abaikan. “Keras?” tanyanya.

“O, ya, keras sekali di sini!” katanya kepada dirinya sendiri. Ia berhenti sebentar, mengangkat kaki kiri, mencabut duri dadap yang menusuk dan membuat sumpah serapahnya berjatuhan, lalu berjalan ke tempat yang lebih gelap, tempat sampah selama bertahun-tahun menggunung. Bau itu semakin menyengat dan seperti berduyun-duyun masuk; bersarang di kepalanya.

“Di sini dia di sini!” pekiknya.

Maq Dumbeng berlari ke tempatnya. Sandalnya menggesek-gesek tanah. Dua kali ia hampir tersungkur jatuh. Kakinya terjerat seutas semak-semak dan salah satu kakinya terperosok ke lubang bekas orang mencari kekeh. Ia mengumpat keras dan mendoakan orang yang menggali itu lumpuh sebelah.

“Bangke, saya yang gali itu!” teriak pemilik rumah dari berugak, Maq Dermali.

“Kalau kamu ndak sih!” Dan segera Maq Dumbeng meralat kutuknya, “Siapa-siapa yang datang ke sini main gali-gali tanah ini mudah-mudahan mati busuk!”

Dari jauh terdengar teriakan seolah mendengar suaranya. Maq Dumbeng berteriak juga, membalas, dan lebih dari tiga kali mereka saling teriaki sampai kemudian warga di berugak yang berteriak, “Keras sekali baunya di sini. Makin keras. Diam makanya ndak sih dia pergi. Banyak isinya perutmu?”

Maq Dumbeng langsung kembali. Warga satunya telah jauh, dekat kebun kopi. Berdiri di dekat pohon mangga. Melihat pohon, ia ingin kencing. Ia mengangkat celananya sebelah kanan, mencabut keluar senjatanya. Ia bersendawa dua kali dan menggerak-gerakkan tubuhnya ketika air kencingnya hampir habis. Ia lekas menurunkan celananya ketika terdengar suara gaduh di berugak. Setetes air kencing membasahi pahanya, terasa hangat. Setiap kali ia berusaha menyela suara lebih keras langsung menghentikannya.

“Tangkap! Ayo ambil parang, ambil parang!”

“Matamu, itu parang depan kamu itu, itu! Di dekat panci itu!”

“Astaga! Kalau ular sudah dipatok kamu!”

“Setan! Parang yang segini besar ndak kamu lihat!”

“Mana dia mana?” tanya Maq Dumbeng.

Terdengar suara melengking-lengking panjang dan mendayu-dayu dari arah kebun kopi. “Jaga! Jaga! Tangkap!” teriak pemilik rumah.

Baca juga  Khayalan dari Tepi Kolam Renang

Suara itu semakin keras, tetapi sudah berpindah, lebih jauh, dari dekat rempung bambu jauh di bawah. “Cepat! Cepat!”

Salah seorang warga cepat-cepat turun dan menyusul, namun tidak lama ia kembali. “Haus saya!” katanya dan cepat meraih kocor, mengisi penuh gelasnya. Ia menenggak cepat, mencomot dua biji gayas dengan ibu jari dan telunjuk. Ia bersendawa kecil dan menerima umpatan-umpatan dari rekan-rekannya karena ia hanya memikirkan isi perutnya.

“Kalian ndak mikirin isi perut?” tanyanya kesal.

“Mikirin sih, makanya kita kejar suara itu.”

“Noh, kan. Sama saja kita.”

Setelah saling menyalahkan dengan umpatan-umpatan, mereka bersama-sama menuju kebun. Tidak lama teriakan gaduh mereka terdengar dari berbagai arah. “Itu dia! Itu dia! Itu dia!” teriak mereka.

Dari arah utara terdengar suara bedil. Mereka langsung diam di tempat dan berteriak meminta jangan menembak. “Kena saya kena! Jangan tembak sembarangan!”

Nyala senter seperti kilatan pedang yang menebas-nebas dahan kopi. “Siapa itu? Siapa?” teriak salah seorang dari mereka.

Tidak lama muncul Maq Kirti. Laki-laki paling kaya di Lelenggo dan seorang diri punya bedil. Ia menembak beberapa kali ke arah dahan dadap. “Di dadap ini dia!” teriaknya. Dan ia mengokang lagi bedilnya, bersiap menembak. Suara tembakannya langsung membuat hening. Belalang dan binatang lain tidak bersuara. Terdengar suara gemeresik dari arah kanan, tempat rempung pisang berderet. “Nah di sini!” teriak Maq Kirti.

“Basong! Jangan tembak, saya ini, kencing!” Maq Dumbeng teriak.

Agak jauh dari mereka, tiga orang berbicara, setengah berbisik. Maq Kirti menjauh, menuju lembah, memutar-mutar senternya. Kanan kiri. Atas bawah. Terbatuk-batuk dan diam sebentar, menangkap suara gemeresik sekecil apa pun. Ia bergerak lagi, semakin menjauh, meninggalkan orang-orang yang hanya berdiri mendongak, tidak melihat apa pun.

“Mentang-mentang kaya!”

“Ya, mentang-mentang punya bedil!”

“Lihat saja nanti. Ndak dapat apa-apa dia. Baru kemarin dia beli itu. Dia tembak-tembak anjing kemarin. Satu pun ndak ada kena.”

“Dia tembak-tembak anjing beneran saya lihat!” kata salah seorang mendengar teman-temannya tertawa.

“Jangan keras-keras, dengar dia nanti.”

“Aro, walaupun dia dengar, kita berlima dia sendiri. Patah lehernya saya buat.”

“Dia punya bedil.”

“Yok-eh, kamu ini. Kan tadi kita bilang dia ndak bisa tembak apa-apa.”

Percakapan mereka terhenti, terdengar teriakan dari pohon nangka, jauh di selatan mereka. “Mati kamu mati! Mampus!”

Baca juga  Cinta Pertama

“Dapat dia?”

“Mana ada. Tai saja dia dapat sana.”

“Siapa sering buang tai ke sana?”

“Ini Maq Dumbeng.”

“Astaga, saya ndak pernah buang tai.”

“Yok, kamu makan taimu?”

Mereka tertawa.

“Goyo ada buat dibuang, buat dimakan aja ndak ada,” Maq Dumbeng berkata pelan. Seperti ibu-ibu yang mengeluhkan tidak punya beras.

Perdebatan mereka berlangsung sengit. Sebagian mengatakan Maq Kirti telah berhasil menangkap buruannya dan sebagian lagi mengolok-olok warga yang lain karena membiarkan diri mereka memercayai kemampuan laki-laki itu. Perdebatan semakin keras ketika tidak ada suara apa pun lagi dari tempat Maq Kirti berada.

“Dia kabur itu, dia bawa pulang hasil tangkapannya.”

“Ya, dia makan sendiri.”

“Ndak jadi kita makan enak.”

“Harusnya kita ndak tinggal tuak kita tadi.”

“Ya, astaga, pulang ayo pulang.”

Percakapan mereka langsung terhenti ketika terdengar teriakan-teriakan dari arah selatan. Maq Kirti berteriak meminta mereka jaga di utara.

“Jangan mau, jangan mau. Nanti kalau dia yang tembak kita mana dapat apa-apa. Pelit monyet itu.”

“Dia sendiri kita berlima, nanti kita injak dia.”

“Dia bawa bedil…”

“Ndak mempan peluru di badan saya.”

“O ya, kamu cucunya Puq Dumbeng.”

“Kok orang dulu sakti-sakti ya?”

Percakapan mereka terhenti kembali, begitu mendadak. Bau menyengat menyerbu hidung mereka. Kilatan-kilatan cahaya senter terlihat mendekat. Mereka mendengar suara menggerisik di dekat mereka dan mereka membungkuk, menjulurkan kepala, berusaha menembus gelap.

Suara memekik tiba-tiba terdengar dari rempung bambu. Sontak mereka berlari ke sana dan mereka melihat sosok hitam berlari menjauh, ke atas, menuju rumah Maq Dermali.

“Dia ke rumahmu!”

“Ero, ero!”

“Giring dia ke rumah.”

“Kamu yang bawa parang di depan.”

Maq Dermali langsung ke depan dan berjalan pelan-pelan, mengendap-endap. Sebentar mereka kehilangan jejak dan tidak terlihat apa pun di hadapan mereka. Namun, mereka tahu makhluk itu dekat sekali dengan mereka. Baunya begitu menyengat sampai-sampai membuat kepala mereka pusing.

Dari bawah terdengar suara bedil dua kali. Teriakan-teriakan lagi. ”Mati kamu mati!”

“Aro, basong, kalau belum bisa menembak jangan ke mana-mana. Buang-buang peluru,” kata Maq Dumbeng.

“Ssst, pelan-pelan. Dengar dia nanti.”

“Suruh dia ke sini lawan saya.”

Maq Dumbeng hendak menyombongkan diri, tetapi langsung berhenti mendengar tebasan parang Maq Dermali beberapa langkah di depannya. “Cepat, cepat! Kejar! Kejar! Jaga di utara jaga di utara! Dekat mangga!” teriaknya.

Baca juga  Bangkai Anjing dalam Kepala Ayah

“Diam-diam caranya, jangan ngomong keras-keras. Diam! Diam!”

Sebagian berjalan cepat ke utara. Ketika melihat sosok hitam melintas salah seorang dari mereka langsung berteriak. Tidak ada gunanya meminta diam. Mereka tenggelam dalam semangat perburuan. Bukan hanya mengabarkan tentang binatang yang mereka buru, mereka mulai berkhayal akan memakan dagingnya dan minum tuak sampai tiga hari tiga malam tanpa beranjak sedikit pun.

“Setan itu!” kata mereka ketika mendengar suara tembakan dari bawah, di dekat rempung bambu.

“Itu dia! Itu dia!” teriak Maq Dermali. “Jaga! Jaga!”

Kini mereka sepenuhnya melihat binatang itu. Ia memanjat pohon mangga. Hitam legam. Sebesar anjing. Ekornya panjang. Baunya semakin menyengat, mengingatkan mereka pada aroma kambing atau bau batang pisang busuk.

“Bukan! Kayak bau Naq Kecuntil ini!”

“Eh, jangan sebut orang yang sudah mati!”

“Ya, dicekik kamu nanti!”

Mereka mendekat pelan-pelan. Mereka mendongak dan terlihat oleh mereka, di salah satu cabang, sosok hitam sebesar anjing.

“Beneran musang ini, saya kira hantu tadi!” kata Maq Dumbeng.

“Setan! Jangan disebut!” bentak salah seorang.

Banyak hal tabu dalam hidup mereka. Salah satunya tidak boleh menyebut nama binatang ini. Ketika disebut akan sangat sukar untuk menangkapnya.

“Saya bercanda! Saya bercanda!” kata Maq Dumbeng.

Mereka mendongak saja memikirkan bagaimana cara menangkapnya. Sementara di kejauhan, terdengar suara tembakan. Kilat lampu senter terlihat seperti tengah menebas pohon-pohon kopi.

“Gimana ini?”

“Kita panjat!”

“Jangan, ndak bisa!”

“Terus?”

“Kita panggil Maq Kirti?”

“Kalau orang dulu cukup ditiup ini sudah pingsan dia.”

“Ya, kalau orang dulu sudah sih dibuat buta dia,” sambut yang lain.

Mereka terus berdebat tentang bagaimana cara menangkapnya. Sementara di kejauhan, suara tembakan tetap terdengar pula. (*)

Kamis, 2 April 2020

ARIANTO ADIPURWANTO. Lahir di Selebung, Lombok Utara. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk lima besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa 2019.

Loading

Average rating 2.8 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!