Cerpen, Komala Sutha, Republika

Perempuan yang Menimbun Dendam

4.5
(2)

Bunyi derit pintu tua mengusik Mak Uni yang semula terpejam. Dahinya mengernyit sesaat. Tubuhnya tak bergerak, tetap terbaring di atas tempat tidur yang kasurnya keras karena terbuat dari kapuk kualitas terendah. Itu pun pemberian anak sulungnya yang tinggal di kampung sebelah.

Dalam gelap ruang kamar, kuping Mak Uni menangkap langkah menjauh dari pintu depan. Seretan sandal jepit. Ia mendesah. Malam kian larut. Ia gelisah. Selalu didera gelisah setiap saat pintu rumah berderit diiringi langkah kaki menjauh. Langkah itu hendak menuju ke arah mana? Bibirnya sedikit bergumam. Alamat tak nyaman tidur, pikirnya.

Entah apa yang akan dilakukan Sarif, anak bungsunya yang berusia 27 tahun itu. Bukan sekadar berjalan-jalan atau menyendiri di suatu tempat yang membuat lelaki itu nyaman untuk singgah dan merenung. Namun, tebersit kekhawatiran lain dalam pikiran Mak Uni. Dan itu sudah biasa. Sarif akan kembali menjelang Subuh, lalu tidur di kamar sebelah. Belum reda kegelisahan Mak Uni meski anaknya sudah kembali. Kecuali tidak ada yang menggedor pintu rumahnya.

Pagi itu, sekitar pukul enam saat mentari baru meliukkan pesonanya.

“Mak Uniiiii! Mak Uniiii, buka pintunya, Maaak!” Teriakan terdengar dari luar.

Mak Uni yang tengah berada di dapur, di depan tungku abu, bergegas ke depan. Membuka daun pintu. Seorang perempuan paruh baya, tetangga baiknya tengah berdiri di luar. Tak seperti perempuan-perempuan tetangga lain yang tak sudi berkunjung ke rumahnya. Lain dengan Wawang. Ia kerap mengunjungi Mak Uni. Memberinya penganan atau sekadar menemani berbincang.

“Masuk, Wang….” Mak Uni mempersilakan.

Wawang tak menyahut, tapi memberi isyarat agar Mak Uni keluar. Dan perempuan tua itu pun paham maksudnya. Tentu perbincangan yang tak boleh didengar Sarif. Mak Uni mengikuti Wawang menjauh dari rumahnya. Lalu, mereka berdua berdiri di kebun sempit milik Mak Uni.

“Dia sedang tidur,” ucap Mak Uni. “Ada apa lagi, Wang?”

“Dia berulah lagi, Mak. Memukul gadis yang baru pulang kerja dari pabrik semalam!”

“Ya Tuhan!” pekik Mak Uni tertahan. Telapak tangan kanan seketika menungkup bibirnya yang keriput.

“Saya tahu dari Johan karena semalam anakku dan teman-temannya begadang di alun-alun. Sarif tiba-tiba memukul gadis yang baru turun dari ojek. Gadis itu menjerit. Untung ada sopir-sopir bus yang begadang di sekitarnya. Hingga bisa meredakan tangis Dita yang kepalanya kesakitan.”

Baca juga  Cerita Poster dalam Rumah Penuh Dusta

Wajah Mak Uni berubah sedih. Kecemasan pun menyergapnya.

“Gadis itu terluka.”

“Ya Tuhaaaan,” lirih Mak Uni.

Entah sudah berapa kali anaknya berulah serupa. Selalu ada korban saat keluar malam jika kebetulan berpapasan dengan orang. Sasarannya selalu yang lemah. Anak-anak, perempuan, dan orang tua.

Dari sebagian korban ada yang datang pada Mak Uni, memarahi perempuan tua itu lalu tak segan-segan meminta ganti rugi. Namun, perempuan miskin itu hanya mampu berlinangan air mata sembari memohon maaf. Urusan ganti rugi dengan uang, jelas saja tak akan mampu dilakukannya. Untuk keperluan sehari-hari, membeli beras dan ikan asin, harus menunggu hasil penjualan singkong yang tak seberapa.

Sesekali, dua anak perempuannya yang tinggal di kampung sebelah datang. Namun, sekadar berkunjung. Tak memberi apa-apa karena keduanya pun hidup di bawah kemiskinan.

“Mak, Dita itu keponakannya Bu Diah, kader desa. Mungkin tak akan berani meminta rugi kepada Mak….”

“Ya, Wang. Lagi pula Mak tak akan mampu,” ucap Mak Uni pelan.

Biasanya keluarga korban yang menuntut ganti rugi pun akhirnya tak datang lagi. Namun, terkadang meninggalkan ancaman pada Mak Uni. Jika sekali lagi Sarif berulah maka akan ditindak oleh kepolisian setempat. Mak Uni sudah pasrah sebab tak ada yang bisa dia lakukan.

“Tapi, Mak, Bu Diah itu bisa saja tak mau mengurus hak Mak Uni.” Hati-hati sekali Wawang bicara. Sebenarnya ia kasihan sekali pada tetangganya yang satu ini. Janda tua miskin yang tinggal di rumah jelek paling ujung di kampung.

Hak mendapat bantuan materi tak pernah diperolehnya. RT setempat lebih memilih memberi kemudahan kepada keluarganya sendiri atau kerabat sekitar meskipun bukan penerima wajib atau tak layak menerima bantuan.

Sementara, keluarga miskin seperti Mak Uni luput dari perhatian dan selalu diberi kesulitan untuk hal apa pun. Bukan hanya bantuan dana subsidi dari pemerintah, melainkan juga untuk pengurusan KTP dan KK. Sudah sering Mak Uni mendapat perlakuan tak adil. Bahkan dikucilkan, terlebih setelah setahun lalu, Sarif sakit ingatan dan kerap membuat ulah dengan keberingasan yang tiba-tiba muncul.

“Mak bingung dengan Sarif, Wang. Apa yang harus Mak lakukan?” Lirih Mak Uni lagi. Hatinya terasa tersayat. Pedih. Kedua anaknya tinggal berjauhan darinya. Ia harus pasrah. Hanya kepada Tuhan mengadu.

Baca juga  Membaca Jalan Pikiran Ibu

Wawang beberapa kali menyarankan Mak Uni meminta bantuan kepada kepala desa untuk biaya Sarif masuk rumah sakit jiwa. Namun, lagi-lagi Mak Uni tak punya nyali menemui kepala desa. Ia malu, meskipun sebelum Ridwan menjabat, beberapa kali datang ke rumahnya. Warga pun simpati dengan kepedulian calon kades hingga akhirnya suara terbanyak diraih Ridwan. Mak Uni tak pernah melupakan kebaikan Ridwan yang sering memberi sembako dan amplop berisi uang yang isinya bisa digunakan membayar listrik berbulan-bulan. Jika ia harus menemuinya ke balai desa, ia merasa seperti tak tahu terima kasih.

Kaki Mak Uni yang tak bersandal itu pun menuju rumahnya. Didapatinya di kamar lain, Sarif masih nyenyak. Menyusup rasa sayang bercampur iba yang begitu mendalam. Teringat masa kecil Sarif yang ceria dan banyak teman. Hingga remaja. Hingga beberapa tahun lalu, anaknya yang tak juga mendapat pekerjaan dan sulit mencari jodoh itu pun pamit padanya. Pergi ke Gunung Gegerpulus. Mendalami ilmu kebatinan. Saat kembali, Sarif berubah.

Banyak yang takut pada Sarif. Suasana desa mendadak mencekam setiap kali lelaki itu ke luar rumah, baik di siang maupun malam. Ia bukan saja memukul orang-orang yang berpapasan dengannya. Namun juga melakukan perusakan pada lingkungan sekitar yang dilaluinya. Kios-kios di alun-alun dirusak, bahkan dua rumah dekat pasar.

Kampung tak aman. Semua takut. Semua waswas. Aparat desa tak mampu menangani, apalagi RT dan RW tempat Sarif tinggal. Banyak preman angkat tangan tak mampu meredakan keberingasan yang tiba-tiba menghinggapi Sarif.

Aparat desa melapor ke polisi sektor. Namun, hanya sesaat diiyakan. Tak ada tindak lanjut. Bagi mereka, tak ada uang masuk, urusan tak akan ditindak. Hari demi hari, malam demi malam. Sarif tak berubah. Ia bahkan kian menjadi-jadi. Ia seperti memiliki kekuatan ekstra ketika mengamuk dan seorang pun tak ada yang berani mendekat. Termasuk aparat desa. Termasuk preman-preman. Termasuk polisi yang lebih memilih tak peduli dan membiarkan Sarif berkeliaran menciptakan keresahan.

Malam itu, sekitar pukul sembilan. Pintu rumah Mak Uni berderit. Diiringi langkah menjauh. Mak Uni sudah rebahan di atas tempat tidur. Ia lelah melewati hari tadi. Rumahnya nyaris diamuk warga sekitar akibat ulah Sarif. Ia diminta segera meninggalkan kampung. Jika tidak maka warga akan melakukan apa saja.

Baca juga  Surga di Formosa

Mak Uni berniat esok pagi akan pergi ke rumah anak sulungnya dengan berjalan kaki karena tak memiliki uang sepeser pun untuk ongkos. Memohon ikut menumpang untuk beberapa saat hingga situasi membaik. Namun, tidak mungkin Sarif diajak serta. Lagi pula anak sulungnya pun tak akan sudi menampungnya.

Ia dilanda bimbang jika harus pergi meninggalkan rumah dan membiarkan Sarif sendirian. Walau bagaimanapun, Sarif itu anak bungsunya. Anak laki-laki satu-satunya. Anak yang pernah diharapkan menjadi pelindungnya. Sebagai seorang ibu, tentu memiliki nurani.

Lewat tengah malam, ia belum juga merasa mengantuk. Pikirannya terpusat pada Sarif yang entah berada di mana. Ia berharap, anak itu tak membuat ulah. Akhirnya, ia terlelap dalam gelisah. Subuh baru beranjak. Melewati kamar Sarif. Ia mengeluh pendek. Anaknya tak ada. Tak biasanya. Walaupun Sarif gila, selalu pulang ke rumah.

Hingga pukul tujuh, Sarif tak kunjung pulang. Keresahan tiba-tiba menggulung hatinya. Seiring suara pintu yang diketuk. Lalu, bergegas menguakkan pintu. Berdiri Wawang dan suaminya, juga Johan, anak mereka. Sebaya Sarif dan mereka berdua teman sedari kecil.

“Sarif, Mak….” Dada Wawang naik turun.

“Ada apa dengan anakku?” Mak Uni tersentak.

“Semalam dia diseret semua preman dan beberapa warga desa lainnya, Mak. Dan dibawa ke tepi anak bendungan.” Johan dengan jelas bertutur. Kabar buruk yang harus disampaikan.

Tubuh Mak Uni yang berkebaya lusuh dan jarit sobek, limbung. Sebelum pingsan, ia sempat menangkap bisikan Wawang jika yang melakukan itu atas perintah kades terpilih. ***

Bandung Barat, 11 April 2020

Komala Sutha lahir di Bandung, 12 Juli 1974, menulis dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Indonesia. Tulisannya dimuat di berbagai koran dan majalah, termasuk koran di Sabah, Malaysia. Novelnya, Separuh Sukmaku Tertinggal di Halmahera, diterbitkan MujahidPress pada 2018 dan kumpulan cerpennya, Cinta yang Terbelah diteritkan Mecca Publishing pada 2018. Akun Facebook Sariak Layung (Komala Sutha) dan Instagram komala_sutha’.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!