Aldi Anfasa Yunaz, Cerpen, Suara Merdeka

Orang-Orang yang Dikalahkan Nasib

Orang-Orang yang Dikalahkan Nasib - Cerpen Aldi Anfasa Yunaz

Orang-Orang yang Dikalahkan Nasib ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka

5
(1)

Cerpen Aldi Anfasa Yunaz (Suara Merdeka, 22 Desember 2022)

SENJA berlabuh pukul enam. Permukaan air dan perbukitan yang tampak di kejauhan itu menguning bersama hari. Tepian sudah lengang, hanya tersisa tiga orang yang tak kunjung mandi sejak tadi. Dengan handuk seperti syal yang dikalungkan di leher dan ember kecil berisi perlengkapan mandi di sebelah mereka, mereka hanya memandang jauh ke depan. Pandangan mereka jauh melewati sungai, tepian seberang sana, tebing, sawah, dan perbukitan yang tampak menguning itu.

Gemericik bersahutan dengan kicau burung, dan dari arah masjid terdengar bunyi tip sedang disetel, seperti biasa rekaman mengaji akan segera diputar Imam, garin masjid. Tiga orang itu masih berteman dengan lamunan mereka, yang sebenarnya tidak sedang memikirkan apa-apa, hanya tatapan kosong.

“Oi, I, kenapa kau tak kunjung mandi?”

Mudin yang duduk paling kanan bertanya kepada Mar’i, yang duduk paling kiri. Mau tidak mau, Ramli yang duduk paling tengah juga menoleh ke arahnya.

“Tidak, Din. Pasir di seberang sana tampak memikat. Indah.”

“Halah. Kau tahu? Hanya orang-orang dengan beban pikiran yang sanggup bertahan di tepian bahkan sampai Imam memutar kaset pengajian di masjid.”

“Hahaha. Sebenarnya begini….” Mar’i membuka lilitan handuk di lehernya dan memindahkan ke pangkuannya. Hari semakin senja.

Tadi siang, ia dan istrinya duduk di meja makan. Mereka berdikusi dengan kepala panas, dengan hati yang panas, pada saat cuaca sedang panas.

“Bang, kita harus memikirkan usaha lain. Tidak mungkin mimpi kita menjadi grosir terbesar di daerah ini dibiarkan karam.”

Usaha mereka bangkrut karena kemalingan tiga bulan yang lalu. Setelah kemalingan, mereka sudah menjual emas dan benda lainnya yang bisa dijual untuk kebutuhan sehari-hari. Usaha mereka sebenarnya tidak terlalu maju, tapi cukup untuk kebutuhan harian, sedikit menabung, dan membeli ayam gulai atau ikan bakar di ampere [1] Pak Etek ketika istri Mar’i sedang malas memasak.

“Ya, sabar. Aku juga sedang berpikir. Syukur-syukur kita tidak punya utang sekarang.”

“Sama saja utang, Bang. Dulu tanah kita dijual buat modal usaha, eh kemalingan, bangkrut. Siti tetangga kita usahanya sudah maju karena gadai sertifikat ke bank. Laris lagi.”

Baca juga  Satu Nama Dua Cinta

“Kita mau gadai apa, Marni? Sertifikat rumah? Korek tabungan? Itu kan buat modal sekolah anak-anak, biaya kebutuhan setelah ini, makan, listrik, air, cicilan, dan segala macam. Motor butut itu? Kamu mau ke pasar jalan kaki?” Mar’i membentak.

“Pergi ke pasar tanpa uang juga percuma, Bang!” balas istrinya yang juga membentak.

“Apa masih ada barang lain yang bisa dijual?”

“Semua sudah dijual, kecuali harga diri.”

“Sabar. Sekarang pikirkan dulu dari mana dapat uang buat modal usaha lagi. Nanti kehidupan kita perlahan juga berubah. Bisa ganti cat rumah, sofa baru, dan beli kulkas keluaran terbaru yang kamu lihat di televisi itu, yang lebih mahal dari punya Siti.” Mar’i melunak.

“Bang! Dari zaman baheula sampai zaman korona kehidupan kita masih begini-begini saja!”

“Jadi apa yang harus aku lakukan?” tanya Mar’i begitu ia selesai bercerita.

“Aku tidak tahu, yang jelas kita tidak mungkin berpangku tangan menerima nasib.”

Setelah itu, kedua temannya yang juga tetangganya itu hanya mengangguk-angguk sebagai tanda bahwa mereka turut prihatin atas permasalahannya.

Mereka bertiga adalah orang-orang yang dikalahkan nasib. Tidak ada yang namanya kebetulan, nasib tidak pernah iseng menghampiri seseorang. Setelah sekian lama berjuang dan akhirnya kalah juga. Memang nasiblah yang mengharuskan mereka untuk jatuh, lalu memberikan beberapa potret kepahitan hidup untuk diperlihatkan kepada orang-orang, tetangga, mertua, bahkan orang bank.

Sebenarnya Mudin dan Ramli tidak ingin adu nasib, tapi Mar’i terus memaksa mereka bercerita, karena menurutnya mereka sama seperti dirinya. “Kalian tidak mungkin bertahan di sungai senja-senja begini,” katanya sambil melihat ke kanan dengan sorot mata penasaran.

“Sebenarnya aku ….” Kesedihan kembali menghampiri wajahnya. “Sudahlah, hanya permasalahan klasik,” ungkap Ramli.

“Cinta?”

“Ya. Cinta.” Tangannya lalu merogoh saku baju, mengeluarkan korek api dan sebungkus kretek, mengambil sebatang, dan membakarnya.

Hisapannya dalam, embusannya panjang, matanya yang setengah tertutup dan jauh memandang ke depan semakin memperjelas kerisauan. Sesekali percikan dari riak yang menyapa tepian itu mengenai wajahnya. Malam tampak masih jauh.

Baca juga  Blues untuk Runi

“Istriku meminta cerai dan pergi ke rumah orang tuanya membawa anakku.”

“Istrimu hilang, anakmu juga hilang. Wah.” Mereka menatap Ramli dengan wajah sedih yang tidak dibuat-buat.

“Kalian tau apalagi yang hilang?”

“Emas dan peralatan dapur juga dibawanya,” sambungnya.

“Lalu apalagi yang hilang?”

“Semua sudah hilang, kecuali kesetiaan.”

“Berarti kau masih mencintainya? Apa alasannya pergi?”

“Tentu. Dia sudah tidak mau lagi hidup susah.”

“Matre!” jawab mereka serentak.

“Tidak, dia bilang itu realistis. Tidak ada perempuan yang mau hidup susah. Padahal kami mempunyai mimpi untuk jadi orang kaya bersama.”

“Benar!” jawab mereka serentak lagi.

“Tapi kenapa dulu dia mau menikah denganku, dia yang bodoh, kan? Mengapa baru sekarang mempertanyakan kemiskinan?”

“Padahal hidup kami juga tidak miskin-miskin amat. Toh tiap minggu dia masih kuberikan uang buat belanja dapur kami dan dapur orangtuanya. Sekolah adiknya juga saya yang bayar. Wajarlah hidup kami miskin. Kasih sayang? Jangan ditanya, berlimpah. Bodoh dia memang,” lanjutnya lagi.

“Berarti kalian sama-sama bodoh.” Untuk yang ketiga kalinya, Mudin dan Mar’i menjawab serentak.

Mereka bertiga lalu tertawa. Tidak ada hal yang lebih baik yang bisa mereka lakukan saat itu selain menertawakan nasib. Memang apalagi yang bisa dilakukan selain itu, uang sudah habis, istri sudah pergi, dan sialnya tidak ada satu pun yang kembali.

“Oi, Mudin, apa masalahmu?” tanya Ramli.

“Sudahlah, banyak, tidak akan selesai sampai besok. Runyam, aih,” jawabnya lalu menggelengkan kepalanya.

“Intinya saja,” desak Ramli.

“Sama seperti kalian. Impian, harapan, semuanya karam. Dikalahkan oleh nasib.”

“Oi!” sapa Mar’i tiba-tiba sambil menoleh ke kanan, ke arah mereka. Wajahnya tampak serius.

“Apa?” jawab kedua temannya serentak.

“Kalian tahu? Kita adalah orang-orang dengan nasib paling buruk enam bulan ini.”

Mudin menggeser badannya lebih dekat ke arah Mar’i, Ramli juga. “Memangnya ada yang lebih sial dari kita dalam waktu lebih dari enam bulan ini?” tanya Ramli.

“Ada. Pak Etek,” jawabnya.

Tujuh bulan yang lalu rumah, motor, sofa, TV, dan gerobak sate Pak Etek dijual karena istrinya berutang kepada tengkulak yang uangnya entah untuk apa. Saat itu mereka hanya tersisa baju di badan. Sisanya dijual. Kemudian saudara Pak Etek yang ada di rantau menyewakan rumah dan memberikan modal usaha untuk membuka ampera. Usahanya maju, bahkan kabarnya sudah buka cabang tapi entah di mana.

Baca juga  Ranti Menderas

“Kau benar juga,” sahut Mudin.

“Pa’i sudah jadi juragan sejak tambang emasnya meledak, istrinya ke mana-mana sudah seperti toko emas berjalan. Mini, janda yang ditinggal Imam juga sudah sejahtera sejak menikah dengan Badi duda tua beranak empat tapi kaya,” sambungnya.

“Nah. Sekarang kalian tahu apa kesimpulannya?” Ramli berbicara tanpa menoleh lagi kepada teman-temannya. Asap kreteknya mengepul ke atas, menyebar, kemudian hilang. Hening.

“Kita adalah orang-orang yang dikalahkan nasib,” lanjutnya.

Suasana kembali hening. Hening tetap menjadi hening. Nasib tetap menjadi nasib. Apa pun, mereka dipaksa untuk menerimanya.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan?” tanya Mudin.

“Kita tidak mungkin protes kepada nasib,” jawab Mar’i.

“Menerimanya. Apa boleh buat, kan? Berharap saja nanti setelah sampai di rumah ayam kita bertelur emas.”

Ramli kemudian tertawa, Mar’i tertawa, dan Mudin juga tertawa. Mereka hanya tertawa, hanya tertawa, dan tertawa. Malam sudah dekat. Angin sepanjang sungai mengusir, tapi mereka tetap saja di sana [2]. ***

.

.

Bonjol, Desember 2020

.

Catatan:

[1] Ampera: Sebutan untuk rumah makan kecil di Sumatera Barat yang konsepnya lebih kurang seperti warteg.

[2] Dikutip dari puisi karya Goenawan Mohammad yang berjudul “Dingin Tak Tercatat”.

.

.

Aldi Anfasa Yunaz, lahir di Bonjol, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, 23 tahun lalu. Tertarik pada sastra sejak membaca puisi karya Amir Hamzah yang berjudul “Tuhanku Apatah Kekal?” saat sekolah dasar. Sekarang berdomisili di Batam.

.

Orang-Orang yang Dikalahkan Nasib.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!