Cerpen Abidah El Khalieqy (Republika, 03 Mei 1998)
“PADA suatu masa, saya melihat laki-laki kulit putih itu seperti sebongkah salju, putih dan dingin, beku. Ia lebih tinggi dan saya, sehingga ketika berbicara di hadapan saya, ia membungkuk seperti berhadapan dengan anak kecil.”
Jeff tertawa. Tapi aku tidak memiliki alasan untuk menyertainya tertawa.
“Dan, kini saya berhadapan dengan Anda, Jeff.”
“Dan, aku seperti potongan pizza atau hamburger?”
“Oh, tidak. Tidak. Jeff lebih menyerupai angin. Ah! Tapi matamu rembulan. Kadang badai taufan.”
“O… itu kata kata penyair.”
“Benar. Dan Jeff penyihir yang mengubahku jadi penyair.”
Tiba-tiba tawa kami meledak seakan merobek tabir rahasia. Tawa itu mengejutkan dan menyadarkan tentang jarak yang membentang.
“Mengapa kita ada di sini dan ini ruangan apa,” tanya Jeff.
“Memang kita harus bertemu karena banyak soal harus terjawab. Dan, ini ruang pertemuan.”
“Seperti ruang belajar. Atau ruang makan. Atau ruang pribadi.”
“Ini ruang imajinasi dan multifungsi, tapi kita akan menggunakannya hanya untuk satu keperluan saja. Sebagai ruang belajar.”
“Apa yang akan kita pelajari.”
“Terutama soal mata biru dan mata hitam.”
“O, kau bercanda. Tapi kata-kata itu sepertinya penuh misteri. Mengundang sejuta tanya. Memang benar kita harus banyak belajar dan memecahkan misteri ini,” lancar Jeff bicara dalam aksen terbata-bata sebagaimana anak kecil pedalaman belajar bahasa Indonesia.
“Ini bukan sebuah misteri. Ada rentangan jarak membentang di depan mata, nyata sekali, tanpa mikroskop. Yang ingin saya katakan, bahwa saya belum mengenal ibumu, ibu sejarah yang melahirkan mata biru, langkah tegap dan dada membusung.”
“Kau sedang mengkritikku atau ini kata-kata cemburu.”
“Keduanya. Tapi, yang terakhir barangkali tak beralasan.”
“Orang Timur dikenal pemalu dan bicaranya penuh metafor. Mereka juga punya ibu yang melahirkan mata hitam, langkah tegap dan di mana pun dada bisa dibusungkan, tak peduli dari utara atau selatan. Kesombongan itu sangat permukaan, Bul Bul. Dan, alamatnya bisa dikirim ke mana pun tanpa sinisme atau kemarahan atau kecemburuanmu yang….”
“Yang apa? Katakan, Jeff. Kecemburuanku seperti apa?”
Jeff hanya menggerakkan kedua pundaknya, membuka kedua tangannya dan mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa diraba atau menjelma dalam kata-kata.
“Ok. Kita persetankan masalah cemburu dan bicarakan masalah yang lain,” putusku tak sabar.
“Oh no. No. Saya lebih suka bicarakan cemburunya Bul Bul. Ow, ini sangat menarik, karena masalah ini tidak sendirian. Ia selalu berpasangan. Bukankah begitu, Bul Bul?”
“Maksud, Jeff, cemburu itu memiliki pasangan? Dan, pasangannya adalah kata cinta? Dan, kata cinta selalu menarik untuk diperbincangkan?”
“Oh, no. Cinta sebagai kata kerja tidak hanya menarik untuk diperbincangkan, tapi juga sangat menarik untuk dinikmati, dihidupkan dalam urat nadi, dirindukan, disyairkan dalam puisi, dinyanyikan, disenandungkan untuk sang kekasih. Setuju?”
“Ehm. Kita bicara dalam ruang dan waktu yang saling mendukung untuk cinta, tapi bukan sebagai kata kerja. Kekuatan cinta adalah sihir, maka ia lebih tepat disyairkan dalam puisi. Memang cinta memiliki sayap untuk terbang menjelajahi antarbenua, mengaburkan warna biru dan hitam di mata. Memang cintalah yang memupus kebencian, meretas jarak Timur dan Barat. Tapi saya tidak tahu, ke mana ujung dan pembicaraan ini.”
“Dan, saya tahu,” sergah Jeff, mantap dan dalam. “Sombongnya, paling tidak mencoba untuk tahu, bahwa telah lama warna mataku menjadi hitam, entah oleh kekuatan apa. Tapi, aku yakin, perubahan itu terjadi di ruangan ini, di tengah saat-saat seperti ini. Apa Bul Bul melihatnya?”
“Perubahan itu?”
“Ehm. Perubahan itu.”
“Kau sedang menggodaku, Jeff?”
“Untuk masalah seperti ini, saya selalu serius. Dan, ini ruangan belajar, seperti perpustakaan, kita harus serius.”
Ha ha ha ha ha. Di luar kendali aku terbahak begitu saja. Kulihat jam dinding terkesima dan waktu tiba-tiba berhenti di persimpangan. Ruangan ini menjadi kian melebar dan melapang, seperti padang rumput. Lalu kami duduk di atas rumputan, di bawah purnama keempatbelas ketika udara dingin tak lagi mencekam. Dan, suara jengkerik itu begitu nyaring dalam pendengaran. Dan, kunang-kunang itu, alangkah puncak dalam tarian.
“Ah! Aku pun serius, Jeff.”
“Tentang apa?”
“Perubahan mataku.”
“Ow!!”
Rembulan jatuh. Di pangkuan. Seribu bidadari dengan rebana di tangan, melempari nyanyian kasmaran.
“Timur selalu bercadar dan cadar itu kian berlapis dalam puisi. Tapi, aku suka berenang dalam puisi Timur dan aku mendapatkan mutiara kemilau begitu harum dan menawan,” desah Jeff.
“Masih ada waktu untuk puisi, Jeff?”
“Oh! I’m sorry.”
Badai kasmaran. Taufan rindu mendaki cumbu melayang di antara syair-syair cinta, o mahabbah rabi’ah, o qais dan laila, o romeo dan juliet, o pemuja wahai pecinta.
“Mungkin Jeff harus berkenalan dengan ibuku.”
“Bukankah aku telah mengenal putrinya?”
“Ya. Satu di antara jutaan muslimat. Dan, Jeff, kau utilitarian, yang dulu mengaku-ngaku sebagai calon santri? Oh, my Jeff… sampai di mana pengembaraanmu?”
“Tidak jauh. Tepat di depan mripatmu, untuk membayangi senyummu.”
“Bahkan kau tak bisa menjawab salamku.”
“Wa’alaikum salam, Bul Bul.”
“Oh! Syukron! Tapi, kulihat ada yang tersembunyi di sakumu.”
“Oh ya, ini asmaul husna.”
“Bagaimana mungkin? Pakai peci saja kau tak bisa.”
“Tapi, aku sudah membelinya, dua buah.”
Kembali tawaku berderai tanpa mampu ditahankan. Dan, kulihat wajah Jeff begitu serius dengan tatapan seorang Rabindranath Tagore yang telah berpikir bulanan atau tahunan untuk melahirkan sebuah gagasan dan ketika gagasan itu lahir, sambutanku adalah deraian tawa. Ah!
“Kau marah, Jeff? Untuk apa peci dua buah?”
“Satu untuk meredam tawamu dan satu untuk meminangmu.”
“Ha ha ha ha ha… tolong jangan halangi saya untuk tertawa. Kali ini kau benar-benar tidak tertolong, Jeff. Kau telah dijebak oleh mimpi dan ilusimu. Kau dengar? Kau telah terjebak oleh hutan liar petualanganmu. Ehem?”
“Oh, no. No. Kau salah, Bul Bul. Oh! Kau selalu berprasangka buruk terhadapku. Mengapa? Aku sedang begini serius dan kau malah tertawa. Permainan apa ini, Bul Bul?”
“Permainan cinta.”
“Ah! Permainan cintamu kali ini benar-benar panas dingin.”
“Tentu saja, Barat dan Timur.”
“Kau masih bercanda?”
“Iya. Karena saya melihat dua kutub, matahari dan salju. Panas dingin, ha ha ha ha…. oh, maaf. Tapi, di atas ada rembulan. Kita tidak akan mencapai apa-apa sebelum mengembarai kedalaman rembulan.”
“Apa maksud Bul Bul?”
“Pecimu yang satu itu harus dijual lagi, Jeff.”
“Mengapa dan untuk apa?”
“Untuk membeli lamaranmu.”
“Oh, kau suka bercanda. Tapi, saya benar-benar serius dan tidak main-main, Bul Bul.”
“Saya juga serius, tapi Jeff selalu menganggap saya bercanda.”
“Tapi, membeli lamaran? Dengan menjual peci? Impossible.”
“Mengapa tidak? Juallah pecimu dan ganti dengan tongkat sufi.”
“Sufi?”
“Iya. Dan lamarlah saya dengan mahabbah kesufianmu, maka cintaku akan mengembara di sampingmu, merenangi matahari salju dan di tengah rembulan cumbuan bersatu, di luar syair-syair itu.”
“Kau syair mataku…!”
“Dan, kau penyair, keluarkan aku dari sihirmu.”
Ketika tiba-tiba pintu terbuka dan ruang belajar berubah menjadi ruang makan, tak ada yang terhidang kecuali segelas air putih, sebait puisi dan kedua tangan kami yang berebutan meraih dan mereguknya, bersama, dengan jari gemetar, terbakar pesona, percintaan agung qais laila…. ***
.
Percintaan Bulbul. Percintaan Bulbul. Percintaan Bulbul. Percintaan Bulbul.
334 total views, 6 views today
Leave a Reply