Cerpen Achmad Munif (Republika, 03 Mei 1998)
MALAM larut dan suasana sepi sekali. Tidak ada suara gemerisik daun-daun. Bahkan angin pun bagaikan berhenti bertiup. Mata saya tidak mau saya pejamkan, padahal seisi rumah sudah tidur pulas. Tiba-tiba di tengah-tengah kesunyian itu terdengar suara bence—sejenis burung malam—menjerit-jerit.
Menurut kepercayaan di desa saya, burung bence jarang mengeluarkan suara. Dan kalau pada malam hari burung itu berbunyi tandanya ada orang meninggal. Dan betul, pada pagi hari setelah shalat subuh takmir masjid mengumumkan lewat pengeras suara:
“Innaa lillahi wa innaa ilaihi roji’un. Telah meninggal dunia dengan tenang Bapak Korup pada pukul sepuluh tadi malam. Jenazah akan dikebumikan hari ini pukul empat belas atau pukul dua siang, bakda shalat dzuhur berangkat dari rumah duka.”
Warga desa tidak ada yang menduga Pak Korup pergi secepat itu. Banyak orang tahu kemarin ia masih asyik berdebat soal kematian dengan Lik Kasan. Menurut Lik Kasan, maut itu tidak bisa diduga datangnya. Kematian ada di tangan Allah, yang kedatangannya tidak bisa diharapkan dan tidak bisa ditolak.
Sebaliknya, Pak Korup berpendapat kematian bukan semata-mata takdir. Ia bisa diundur kedatangannya misalnya dengan menjaga kesehatan, berobat ke rumah sakit. Mati juga bisa diajukan, misalnya dengan bunuh diri.
“Cobalah kau tenggak alkohol terus menerus, umurmu tidak akan panjang. Atau cobalah kamu tidur di atas rel atau minum racun tikus. Mati itu rasional,” kata Pak Korup berapi-api.
Namun Lik Kasan tidak pernah bisa menerima penjelasan Pak Korup yang masih pamannya sendiri itu. Dan, kematian Pak Korup malam itu seolah-olah membenarkan keyakinan Lik Kasan. Selama ini Pak Korup sehat wal ‘afiat dengan tubuh atletis dan berotot. Juga tidak pernah ada kabar Pak Korup mengidap semacam penyakit yang mudah mendatangkan kematian.
Keyakinan Pak Korup tentang kematian sekukuh keyakinannya terhadap pencapaian harta bendanya. Di mana-mana ia selalu mengatakan bahwa takdir itu hanya satu persen dan yang sembilan puluh sembilan persen adalah kerja keras.
“Semua kekayaanku adalah hasil keringatku yang mengucur siang dan malam. Kamu akan tetap menjadi kere kalau malas,” begitu kata Pak Korup kalau pada suatu saat ada pemuda minta sumbangan baik untuk menyelenggarakan pengajian, untuk perbaikan masjid atau untuk kegiatan keagamaan lainnya.
“Aku heran mengapa orang di desa ini bisanya cuma menguras kocek orang lain,” biasanya ia terus mengomel.
***
Warga desa kami terdiri dan orang-orang sederhana yang suka bergotong-royong. Mereka tidak pernah membeda-bedakan warga yang satu dengan warga lainnya. Maka siang itu hampir semua warga desa tumplek blek bertakziah ke rumah Pak Korup. Pada umumnya orang sudah lupa bahwa almarhum sering mengeluarkan kata-kata yang sinis dan bahkan menyakitkan.
“Ingatlah hal-hal yang baik dan orang yang sudah meninggal,” begitu kata Kiai Makmun setiap mendengar ada orang meninggal. “Soal dosa hanya wewenang Gusti Allah, karena hanya Yang Maha Kuasa yang memiiki hak untuk menilai seseorang berdosa atau tidak.”
Begitu juga, ketika Kiai Makmun yang merangkap modin atau kaum di desa kami melepas keberangkatan jenazah Pak Korup.
“Saudara-saudaraku, manusia memang dilahirkan suci dan putih bersih. Tapi tidak ada manusia yang sepanjang hidupnya mampu mempertahankan kesucian itu. Demikian juga Pak Korup, kalau beliau memiliki kesalahan kepada kita maafkan dan kemudian kita lupakan. Kalau beliau punya dosa kepada Tuhan, hanya Allah yang tahu. Bukan kita yang memiliki hak untuk menakar dosa seseorang. Kita semua manusia dan kita semua lemah. Kita antarkan jenazah Pak Korup ke peristirahatannya yang terakhir dengan hati lapang. Allahummafir lahuu warhamhu, wa ‘afihii wa’fu ‘anhu. Dengan bacaan Lailaha illalah, Muhammadan Rasulullah, kita antar arwah Pak Korup memenuhi panggilan-Nya.”
Kiai Makmun mengakhiri pidato pemberangkatan. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari orang-orang yang memikul keranda jenazah Pak Korup.
“Beraaattt,” bisik seseorang.
“Iya, kok tambah berat, ada apa ini?”
“Bagaimana ini, aku tidak kuat lagi.”
“Teman-teman bantu kami. Beraaaaat.”
Para pemikul keranda tampak semakin keberatan dan keranda jadi oleng. Beberapa orang termasuk saya berlarian untuk membantu. Memang berat sekali. Namun, ditambah berapa orang pun keranda itu tampak semakin berat saja. Akhirnya kami menyerah. Padahal letak makam desa itu hanya sekitar seratus meter dari rumah duka.
“Bagaimana ini, Pak Kiai,” tanya Sulaiman, ketua pemuda, kepada Kiai Makmun.
Kiai Makmun hanya tercenung.
Lik Kasan dengan wajah pucat mendekati Kiai Makmun.
“Bagaimana kalau pakai mobil saja, Pak Kiai?”
“Cuma seratus meter, sebaiknya lebih afdol kalau dipikul saja. Sekalian untuk melatih kerukunan kita.”
“Apa boleh buat, Pak Kiai.”
Akhirnya dengan susah payah jenazah Pak Korup berhasil dimasukkan ke dalam mobil. Para takziah merasa lega. Tapi kami semua tidak habis pikir, mengapa tiba-tiba jenazah Pak Korup memberat.
“Banyak dosa barangkali,” bisik seseorang.
“Huss, jangan bicara macam-macam.”
“Katanya kalau berdagang beliau suka mengurangi timbangan.”
“Kata siapa?”
“Kata orang yang tahu.”
“Atau pelihara tuyul?”
“Ini lagi!”
“Tadi ketika dikeluarkan dari rumah biasa-biasa saja, kok tiba-tiba memberat.”
Saya nyaris tidak akan percaya kalau tidak mengalami sendiri. Saya tadi ikut mengangkat keranda Pak Korup dan beratnya memang bukan main. Saya pernah mendengar cerita Paman bahwa kalau ada kejadian seperti itu kemungkinan si mati, sengaja atau tidak, sering memakan harta orang lain. Siapa tahu Allah ingin memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.
***
Sekalipun jarak yang ditempuh hanya sekitar seratus meter, namun rasanya begitu lama baru sampai. Sepertinya mobil merambat bagaikan keong. Sepertinya mobil itu mengangkut berton-ton besi. Kiai Makmun dan para takziah merasa lega ketika jenazah sampai di tanah pemakaman.
Namun, rupanya Gusti Allah masih ingin memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada manusia yang lemah tapi sering sombong bahkan takabur. Jenazah Pak Korup tidak bisa dimasukkan ke liang lahat karena lubang yang sudah digali sesuai ukuran itu tiba-tiba menyempit. Pada mulanya orang-orang mengira hal itu semata-mata kesalahan para penggali kubur yang menggali tidak sesuai ukuran. Liang lahat kemudian dipanjangkan lagi. Ketika jenazah Pak Korup akan dimasukkan liang lahat menyempit lagi. Begitu berulang-ulang sampai lima kali dan para penggali kubur hampir putus asa.
“Bumi enggan menerima jasadnya,” bisik Kiai Makmun kepada para takziah yang berdiri di dekatnya.
Lik Kasan yang masih kemenakan Pak Korup mendekati Kiai Makmun dengan panik.
“Bagaimana, Kiai?”
Kiai Makmun hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“San, tidak mungkin jenazah pamanmu kita masukkan secara paksa ke liang lahat. Kasihan. Harus ada jalan keluar.”
Rapat singkat diadakan. Semua kerabat dekat Pak Korup dikumpulkan, termasuk Lik Kasan. Rapat dipimpin Kiai Makmun sebagai kaum dan sesepuh di desa kami. Tiba-tiba salah seorang saudara jauh almarhum ingat kejadian beberapa tahun lalu ketika Pak Korup masih tinggal di desa lain. Pada waktu itu Pak Korup belum kaya seperti sekarang. Ia menyewa sebagian tanah tetangganya untuk lokasi peternakan sapi.
Menurut perjanjian lisan—karena saling percaya—setelah sepuluh tahun Pak Korup harus mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya. Namun setelah sepuluh tahun, Pak Korup tidak mau mengembalikan dengan dalih tanah itu sudah dibeli. Pemilik tanah tidak habis pikir kok Pak Korup memiliki akte jual beli tanah itu dan sertifikatnya.
Ketika perkara itu diajukan ke pengadilan, hakim memenangkan Pak Korup karena ia memiiki bukti-bukti pemilikan tanah secara lengkap. Pemilik tanah itu malu sekali dan kemudian pindah ke desa lain.
Beberapa orang diperintahkan untuk mencari orang yang kemudian diketahui bernama Kang Busro itu. Tanpa disangka-sangka pada saat orang akan mencari, Kang Busro muncul di antara para takziah. Lelaki itu kemudian dipertemukan dengan Kiai Makmun dan para kerabat almarhum.
“Saya baru saja mendengar apa yang terjadi. Maka cepat-cepat saya datang ke mari. Sampai beberapa jam lalu saya masih belum bisa memaafkan almarhum. Tapi bukankah memaafkan lebih membahagiakan daripada menyimpan dendam? Dendam itulah yang justru telah menyiksa diri saya selama bertahun-tahun. Sekarang hati dan perasaan saya lega, karena saya bisa memberi maaf.”
Saya hampir-hampir tidak percaya ketika jenazah Pak Korup dengan mudah dapat dimasukkan ke liang lahat. Semua orang menarik nafas lega ketika Kiai Makmun membaca doa terakhir. ***
.
.
Leave a Reply