Cerpen Agus Noor (Republika, 05 Juli 1998)
DIHANTAR malam, kamu datang dengan bibir gemetar. Tubuhmu tertelan kaos warna biru, bergambar bunga mawar. Membuatku berpikir betapa kamu memang telah menjadi bidadari seperti yang selama ini sering aku bayangkan: dengan sepasang sayap terjuntai di punggung, lembut dan bersih.
Di langit, segarit jerit, bagai bayang usungan mayit. Sedangkan lenganmu, penuh pecahan kaca, luka yang lama telah kita duga, tetapi tetap saja membuatku terkesima: tiba-tiba batu-batu itu memecah kaca jendela, membuatmu bergegas mengenakan sepatu. Itukah yang membuatmu mendatangiku? Kucium juga bau ketakutan dari rambutmu.
“Masuklah,” kuraih lenganmu, mencari kepastian yang tak mungkin lagi ditemukan di jalan-jalan, yang membuat orang-orang berjalan lebih bergegas bersama kecemasan di kepala. Kecemasan itu, kau juga tahu, datang bersama bau selokan, menyentuh pasar dan pertokoan. Menjalar berkobar. Kata-kata telah beku, hingga setiap orang lebih percaya pada batu untuk memecahkan persoalan. Tak ada mawar di jalan raya. Juga tak ada mawar tumbuh di sela jari orang-orang yang kecewa. Lalu kenapa kamu memakai kaos warna biru bergambar mawar seperti itu? Seakan ada yang tumbuh dari jantungmu, melampaui apa pun yang selama ini aku pikirkan tentang dirimu, setiap kali menyadari betapa putih kulitmu.
Benarkah ada negara yang dibatasi warna kulit? Aku selalu gamang oleh pertanyaan semacam itu.
“Kenapa kamu masih sempat memilih warna sepatu, kasihku? Juga memoleskan gincu ke bibirmu?” gurauan ini, mungkin tak terlalu lucu, tetapi entah kenapa aku menganggapnya sedikit perlu.
“Aku ingin tetap cantik bahkan dalam mati [1],” suaramu mengingatkanku pada lenguh sapi di malam hari, membuatku jadi ingin mengenal riwayatmu kembali, ketika sebuah perahu datang dari sebuah koloni, membawa sutra, keramik, batu giok dan candu, mencari matahari yang tak kunjung bisa mengubah warna putih kulitmu. Telah lama sekali semua itu terjadi. Tapi aku masih saja selalu merasa bersalah tak pernah mau mengerti, tak pernah mampu memahami, hingga kamu selalu saja asing, dengan mata sipit dan rambut poni.
“Mungkinkah aku memang jadah, sejak semula sejarah….”
Matamu penuh kunang, seperti ribuan lampion yang digantungkan dalam sebuah perayaan menjelang pergantian tahun, mengenang leluhur. Bermekaran, bersama rentengan mercon, mengirim seekor naga untuk menjaga kamar tidurmu. Tapi ke manakah kini naga itu, kekasihku? Tak ada lagi yang menjagamu, juga nada itu….
***
Aku menelepon beberapa kenalan, melintasi kota-kota tanpa perlu bertatap muka, sambil memandangi tubuhmu yang mendekam dalam cermin, menggenggam bunga mawar plastik, gemetaran, hingga sepatumu tampak lucu. Seakan ada kelinci sembunyi di situ, bermain dengan para kurcaci, memakan kwaci dan nonton televisi. Kau dengar, mereka pun berkisah tentang jalan-jalan yang telah penuh batu, rumah-rumah yang dijarah, pasar-pasar yang terbakar, dan wajah orang-orang di jalan telah menjadi tungku. Mereka mencari beras, gula dan susu, yang lenyap seperti hantu.
Kuceritakan ketakutanmu, tetapi tak ada kenalan mau membuka pintu untukmu. Apakah kamu memang telah benar-benar menjadi sebuah ancaman? Rasa bersalah tak cukup untuk sebuah persahabatan. Sebagaimana dulu kita ditolak oleh masjid dan gereja, karena warna kulit dan keyakinan kita. Perbedaan tak pernah diperbolehkan tumbuh bersama. Hidup memang telah menjadi slogan, membosankan dan seragam. Seperti warna kuning pada tiang listrik dan pagar halaman, menutup setiap apa pun yang mencoba menjadi beda. Sungguh aku merasa bersalah tak bisa memetik kecemasan yang tumbuh di telingamu yang jadi merah.
“Bisakah kamu menyulap kulitku, menjadi hitam seperti lembu?” tanganmu mencari keajaiban, menatapku dengan semacam pengharapan penghabisan.
“Istirahatlah.”
Malam di jendela. Kubiarkan kamu menyimpan tubuhmu dalam selimut, mengubur ketakutanmu dalam tidur. Waktu seperti balok-balok es, membeku, membuatku jadi ragu apakah aku benar-benar bisa menolongmu dan ketakutan ini? Tentu, aku masih tetap mencintaimu, kekasihku. Meski impian itu sudah bisa aku damaikan. Mungkin benar seperti katamu, aku seorang peragu. Tak pernah bisa dengan tegas memutuskan sesuatu. Tak sepertimu, yang bisa dengan yakin menolak mengganti namamu. Bukan karena kamu menolak pembauran, tetapi karena mengganti nama tidaklah segampang seperti ganti baju: mengganti model lama dengan yang baru. Begitu, kamu selalu mengatakan padaku, di sela kecupan dan isakan, pada suatu malam, sebelum akhirnya kita menyadari pagi telah jatuh di bawah kaki kita, di kamar ini juga.
Wajahmu daun sunyi, putih bercahaya. Di luar, jalan raya telah menyala. Warung, kios dan toko, berantakan dan terbakar. Tentara berjaga-jaga, membuat siapa pun bertambah merasa tak aman. Naga di bawah kamar tidurmu menggeliat, mencari gua yang lain untuk tapa panjangnya. Meninggalkanmu sendirian, dalam kegelapan, dengan mawar plastik yang gampang terbakar. Menggigil, ketika batu-batu memecah kaca jendela. Asap hitam dan letusan senapan membuatku merasa asing dengan kota ini. Seakan ratusan makhluk ganjil berbiak tanpa percakapan, memenuhi jalan-jalan.
Aku mendengar gemuruh kaki mereka, menderap keluar masuk gang, seperti ratusan badak yang tengah merangsak. Kota telah penuh badak. [2] Membongkar gudang-gudang, mencari beras dengan teriakan beringas. Mungkinkah kita menyematkan bunga mawar pada telinga badak-badak itu?
Tak ada gagasan seperti itu tumbuh dalam kepala, ketika setiap orang sibuk mencari kambing hitam untuk kesalahan yang bertahun-tahun mereka lakukan. Membuat siapa pun panik, dan berusaha cuci tangan, sambil mencari sabun di wastafel. Tapi semua telah mahal, kini. Juga sabun dan sikat gigi. Dan bensin sebentar lagi. Membuat banyak kendaraan umum menghilang dan jalan raya menelantarkan orang-orang yang hendak bepergian. Membuat anak-anak sekolah marah, kemudian mengubah diri mereka menjadi badak, bergerak serentak dengan batu di tangan, memecahi kaca-kaca, “prrraanggg!”
Kamu kaget dan tergeragap bangun, tersengal. Wajahmu selembar daun, pucat.
“Apakah aku bermimpi?”
“Tidak. Ini bukan mimpi.”
***
Toko-toko tutup. Bangkai mobil terbakar di tengah jalan. Tentara berjaga. Aku berjalan, mencercap kelengangan kota, asing. Pecahan tembok dan kayu berserakan, seperti harapan yang patah. Mawar plastik di tangan menjadi doa yang selalu membawa ingatanku kepadamu malam lalu ketika kau datang ke tempatku. Membuat tanganku gemetar, sebagaimana tiap aku mengeja namamu, “Mai Ling….” Di manakah kamu?
Ketika aku bangun pagi itu, aku tak lagi mendapatimu. Hanya mawar plastik ini, tergeletak di atas lipatan selimut, menjadi isyarat kepergianmu yang diam-diam: seakan kamu tengah menyimpan warna kulitmu, tanpa pesan.
Rumahmu terkunci, ketika aku mencoba menjumpaimu, dengan jendela yang pecah. Semua jalan untuk menjumpaimu menjadi pecahan kaca. Aku hanya bisa menggenggam kenangan tentangmu, sebagaimana aku menggenggam mawar plastik ini. Di sebuah jalan, aku tanam mawar itu. Menunggunya tumbuh, memenuhi jalan-jalan. Tetapi puluhan orang menatapku dengan curiga, seakan aku tengah menanam ranjau. Aku pun pergi, kembali menyusuri jalan-jalan kota kelahiranku ini—juga kota kelahiranmu—yang menyimpan masa kanak-kanak kita, impian dan harapan kita, juga kecupan hangat di telinga.
Kita pernah mencatat banyak peristiwa, di sini. Kita pernah membayangkan mawar tumbuh di mana-mana, membuat kota ini selalu segar dan cinta bisa diucapkan di mana saja. Tak cuma di ranjang atau hotel murahan, ketika kita bercinta diam-diam, menghindari usiran keluarga. Kita selalu membayangkan jalan-jalan yang pernah kita lalui, suatu hari, akan dipenuhi rimbun mawar. Karena begitulah, jejak tapak kaki orang suci yang terusir, menjadi tempat subur bagi sekuntum mawar.
Ah, aku suka pada tawamu, setiap kali membayangkan diri menjadi orang suci. Aduhai!
Kita selalu membayangkan banyak peristiwa akan kita lewati bersama, tetapi tak pernah menyangka bahwa kerusuhan akan meledak suatu ketika—membuatmu merasa begitu bersalah. Membuatmu serba salah. Dan membuat kakiku tiba-tiba membengkak, seperti badak.
***
Malam hari, sejak kamu pergi, aku lebih suka menyendiri di bukit ini. Aku tak mau menjadi badak, sebagaimana kini setiap orang di kota kita telah benar-benar berubah menjadi badak, menggosok-gosokkan kulitnya yang keras ke tembok atau pohon dan tiang listrik, juga menara kota. Kekerasan membuat hidung banyak orang jadi tumbuh cula. Menciptakan bahasa sendiri, yang bertentangan dengan pernyataan-pernyataan dalam televisi yang penuh nyanyian cinta. Padamu Negeri…. Alangkah ganjil nyanyian itu, selalu melelehkan telingaku jadi kesedihan. Ketika jalan-jalan telah penuh badak, kenapa tiba-tiba kita bicara tentang cinta tanpa pernah menanam mawar di jalan raya?
Dari bukit ini, aku seperti bisa mendengar kembali gemeretak gigimu, sambil memandangi kota—di bawah sana—yang meledak penuh badak. Sayup, kudengar ledakan. Jam malam mengubur kota jadi bentangan kesunyian. Aku tak tahu, apakah itu akan menyelesaikan. Bagaimana pun badak-badak perlu makan. Mungkin sedikit dedak.
Aduh! Kepalaku juga telah bengkak, seperti kepala badak. Aku butuh lumpur buat berendam! Membenamkan kecemasanku. Karena itulah, aku sembunyi di bukit ini, kekasihku. Aku malu padamu, karena tak benar-benar mau memahamimu, karena aku selalu saja gemetar setiap menyebut namamu, “Mai Ling….” Alangkah celaka, tak pernah aku sadari, betapa sudah lama aku sendiri telah menjadi seekor badak.
Sesekali, tengah malam, aku turun ke kota, dengan langkah terseret, seperti jam yang berdetak pelan, menyusuni jalan-jalan yang telah menjadi parit sunyi. Aku mencari manusia, yang akan menyapaku dengan senyum keindahan. Tapi kota ini telah gelap dan mati. Rumah-rumah terkunci, seperti hati yang tak mau berbagi. Aku berjalan dengan pengharapan akan bertemu denganmu, di warung pojok jalan itu, tempat biasa kita menghabiskan waktu dengan percakapan. Tak ada siapa-siapa. Tak ada penjual jagung bakar. Tak ada tukang sate. Tak ada perempuan menjajakan dirinya. Tak ada kendaraan melintas. Kota telah benar-benar mati. Sisa kerusuhan berserakan. Gerobag terguling. Kios hancur. Reruntuhan tembok berkaparan di bawah remang cahaya bulan. Aku mendengar suara orang menangis, seperti keluar dari leher yang tergorok. Tapi aku tak menjumpai asal tangis itu, meski telah kuikuti gema itu. Tangis itu seperti menggenang di mana-mana, memenuhi pendengaranku yang berdenyut oleh bayangan badak-badak yang merangsak ke luar kota, merayap dalam gelap.
Aku duduk, menanggalkan jaket, sambil membayangkan kamu duduk di hadapanku. Kuhidupkan lagi percakapan-pencakapan kita, dulu: Menikmati jagung bakar dengan segelas wedang ronde. Kuingat, orang-orang akan memandangi kita, seakan kita sepasang makhluk ganjil yang dilarang berjabatan tangan. “Sering kubayangkan suatu hari aku akan terbang ke bulan,” kamu sering berbicara seperti itu.
“Aku percaya, hidup di bulan lebih baik daripada hidup di bumi. [3] Aku akan hidup di sana, dan tiap hari akan kupetik kecapi.” Membuatku sering membayangkan bahwa pada suatu hari akan tumbuh sayap biru di punggungmu.
Itulah kenapa, kekasihku, ketika kau datang menemuiku malam itu, kupikir kamu benar-benar telah menjadi bidadari bersayap jelita. Kenapa aku tak pernah berpikir bahwa malam itu kamu hendak menyatakan kepergian tanpa ciuman perpisahan?
“Kenapa aku selalu merasa bersalah dengan warna kulitku?”
Kupandangi ujung sepatuku, membayangkan ada seekor kelinci hidup di situ. Kamu kemudian memandangi bulan, seakan mencari anak tangga untuk sampai ke sana. Mungkin benar, hidup di bulan lebih baik ketimbang hidup di bumi yang tak mau berbagi. Kami bisa memetik kecapi di sana, atau memintal kain cita dengan benang air mata. Mengingat itu semua, aku seketika memandang ke arah bulan, mengharap betapa kamu memang benar-benar ada di sana. Kenapa aku tak mendengar suara kecapi sunyimu? Kenapa aku hanya mendengar suara tangis yang keluar dari leher tergorok, entah di mana?!
Rasanya, kakiku kian mengeras, seperti tersimpan dalam aspal.
***
Dari bukit ini, aku selalu memandangi kota kita dengan perasaan kehilangan. Juga penyesalan, kenapa aku tak pernah benar-benar bisa menerima kamu. Membuatku benar-benar menjadi badak. Adakah tempat yang nyaman untuk kakiku yang telah mengeras begini?
Mungkin aku perlu membangun sebuah tangga hingga menjulang menyentuh bulan. Siapa tahu di bulan aku benar-benar ketemu kamu. Kita bisa sama-sama mananam mawar hingga bulan selalu tambah merah. Sebagaimana aku ingin menanam mawar di sini, karena jalan-jalan di kota kita tak bisa menanamnya.
Keindahan kota telah menjadi monopoli dinas tata kota, seperti juga banyak persoalan telah diambil alih oleh kekuasaan negara. Dan kita hanya bisa berbisik-bisik atas itu semua, seperti suara tikus yang memenuhi got. Menjadi keresahan yang diam-diam membusuk di dada setiap orang. Bacin.
Apakah kekuasaan memang tak boleh disalahkan? Apakah kekuasaan tak pernah merasa bersalah seperti kamu yang merasa bersalah dengan warna kulitmu?
Di bukit ini aku selalu digoda oleh semua pertanyaan itu, sambil mengenang ribuan kunang-kunang yang berhamburan dari matamu, seperti lampion-lampion yang mengapung mengikuti arus sungai, mencari muara waktu di mana kita bisa menyusun riwayat cinta dan menyusun sebuah percakapan tanpa pernah mempersoalkan warna kulit kita. ***
.
.
Catatan kaki:
[1] Kutipan dari sajak Permasuri karya Subagio Sastrowardoyo.
[2] Ditulis dengan ingatan pada drama Badak-badak karya Eugene Ionesco.
[3] Ucapan Betsy dalam sajak Rick dari Corona karya Rendra.
.
Tak Ada Mawar di Jalan Raya. Tak Ada Mawar di Jalan Raya. Tak Ada Mawar di Jalan Raya.
533 total views, 1 views today
Leave a Reply