Cerpen, Hersis Gitalaras, Suara Merdeka

Siluet Malam

3.4
(5)

Derap sepatu laras seperti sengaja dihentak-hentakkan memecah malam. Membuat jantung orang-orang yang mendengarnya berdegup kencang. Saat itu usiaku masih balita, tapi sudah bisa merasakan bahwa suasana malam itu terasa mencekam oleh suasana zaman yang sedang bergolak.

Tidak lama kemudian suara ketukan pintu yang kasar membuatku terkaget dan bangkit dari tidur, lalu berjalan menuju pintu kamar.

Beberapa malam belakangan ini burung gagak berkoak-koak ditingkahi burung hantu yang sesekali ikut berbunyi memecah senyap. Suara gemerisik daun-daun dari pepohonan yang besar dan rindang di pekarangan milik Haji Muin menambah seramnya malam.

Bergegas Ibu keluar kamar dan membukakan pintu. Kudengar percakapan yang agak riuh di teras rumah. Sang tamu itu memaksa Ibu untuk membangunkan Bapak, yang sorenya baru saja tiba di Jakarta setelah beberapa minggu dinas ke Wina Austria.

Kudengar benda keras dihentakkan oleh si tamu, membuat hatiku makin ciut. Tubuh keciku gemetar. Ibu tampak tergopoh-gopoh masuk ke kamar dan membangunkan Bapak, yang masih bepakaian sarung dengan kaus singlet.

Bapak keluar menemui segerombolan tamu itu. Bapak minta izin ganti baju dan pamit pada kami, anak-anaknya, walaupun dua kakakku dan adikku yang masih bayi sudah tidak bersuara. Mereka tertidur lelap. Bapak masuk ke kamarku, melihatku gemetar pucat. Dengan berkata lirih, Bapak membelaiku, “Bapak pergi dulu ya Nak.”

Tampak wajah Bapak muram. Air mataku meleleh. Hatiku pilu. Bapak mencium keningku, tidak berkata-kata lagi, seakan-akan itulah pertemuan terakhirku dengan Bapak.

Kudengar langkah Ibu mengantar sampai pintu depan. Tak lama kemudian, suara deru mobil besar meraung meninggalkan kampungku, membawa Bapak dan bapak-bapak lain, entah ke mana.

Ibuku masuk kamar, melihatku terisak memeluk guling. Ibu menenangkanku, dengan mengelus punggungku, dan menyuruhku segera tidur sambil mengatakan bahwa Bapak pasti kembali.

Jam tua yang bertengger di ruang depan berdentang dua kali. Malam telah merambat mengubah angka dan tanggal di wajah bulat jam kuno yang berbandul panjang. Mataku terpejam tapi tidak kunjung bisa tidur, batapa melelahkan.

Terhitung sudah tiga hari Bapak tidak pulang, tidak ada kabar beritanya. Kami sekeluarga bertanya-tanya dan tentu saja sangat cemas, tapi tidak tahu ke mana dan kepada siapa harus bertanya, tepatnya kami takut. Diam adalah jalan satu-satunya. Jangankan bertanya, ngrasani dalam hati pun tidak berani. Kami takut para tamu tak diundang itu menjadikan Ibu sasaran berikutnya.

Hawa aneh mendesir menusuk tulang, dinginnya terasa asing. Kubalikkan badanku ke arah tembok, selimut kutarik membungkus tubuhku yang kecil. Aku terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba kulihat siluet tampak samping seorang laki-laki berhidung mancung memakai topi crops serdadu seperti dalam film-film perjuangan. Sesosok siluet serdadu berhidung mancung sebatas leher, terpampang di tembok putih kamarku. Semacam lukisan siluet para seniman rupa. Aku ketakutan luar biasa saat melihat penampakan itu, “Ibu…Ibu…kemari, lihat itu ada bayangan serdadu berhidung mancung di tembok,” teriakku sambil menunjuk-nunjuk ke arah tembok. Ibu lari dari tempat tidurnya, menghampiriku. “Mana? Di tembok sebelah mana?” Ibu mengikuti arah telunjukku, tapi merasa tidak melihat apa-apa. Ibu menempelkan tangan di keningku, “Badanmu panas, kamu mengigau. Duduklah, Ibu ambilkan sirup turun panas. Minumlah dan kembali tidur ya,” bujuk Ibu.

Aku menurut. Berjam-jam aku berjuang memejamkan mata. Sesekali kubuka mata, bayangan itu masih ada. Bulu matanya yang lentik berkedip-kedip seperti menyapaku. Aku semakin ketakutan sampai gigi gemeretuk karena badanku menggigil. Kutarik selimut menutupi mukaku. Aku berdoa sebisaku.

Sejam kemudian bayangan itu pergi. Aku agak tenang dan berusaha tidur. Sekitar dua minggu kemudian siluet itu datang lagi, masih berupa bayangan serdadu berhidung mancung sebatas leher. Kembali aku berteriak-teriak memanggil Ibu, sambil menunjuk-nunjuk ke arah tembok. Ibu geleng-geleng karena tidak melihat apa-apa. Aku kembali diberi obat turun panas, dipegang keningku, dan disuruhnya tidur. Begitu berulang-ulang.

Lama-lama daripada mengganggu istirahat Ibu dan teriakanku membangunkan kakak dan adikku yang sudah tidur, aku bertekad untuk tidak takut bila siluet muncul lagi. “Lebih baik aku belajar bersahabat dengannya,” kataku dalam hati.

Sementara itu, kami sekeluarga tak sepotong pun mendengar berita tentang keberadaan Bapak, terhitung sudah hampir dua bulan sejak peristiwa penjemputan paksa itu.

Suatu malam, tepat dua setengah bulan kepergian Bapak, bayangan siluet serdadu muncul menampakkan diri. Aku bangkit dan duduk di tempat tidurku. Kuperhatikan semua benda di sekelilingku, apakah ada yang mencurigakan ataukah ada benda yang bisa menciptakan pantulan, sehingga membuat bayangan seperti itu. Misalnya peci di atas baju kemeja, jaket, atau sarung yang tergantung, celengan semar, guci keramik, dan benda lainnya. Namun tidak ada satu pun benda yang mencurigakan. Kamarku bersih dari sampiran baju-baju orang dewasa, apalagi topi crops seperti yang tergambar pada siluet itu. Berkali-kali kupegang benda-benda di kamarku seperti horden pintu, guling, bantal, dan lainnya, tapi tidak ada yang menggerakkan bayangan di tembok itu.

Baca juga  Wasiat

Sejak kepergian Bapak, tidak ada laki-laki dewasa tinggal di rumahku. Yang ada hanya dua kakakku laki-laki masih SD kelas VI dan kelas IV, Ibu, dan seorang bibi asisten rumah tangga. Aku sendiri perempuan, masih kelas II SD. Ibu mulai sering menasihatiku untuk tidak cengeng. Aku harus manjadi anak yang pemberani dan kuat menghadapi masalah. Ibu lebih bawel kepadaku daripada kepada saudaraku yang lain.

Kembali aku duduk di tempat tidur. Kuperhatikan siluet itu dengan seksama, walau dengan jantung yang berdegup kencang. “Aku harus menjadi anak pemberani,” bisikku.

Ketika mata siluet berkedip, aku mengikuti berkedip, ketika bibirnya menyungging senyum, aku ikut tersenyum. Begitulah caraku melawan rasa takut, akhirnya terjalinlah perasaan akrab. Siluet itu menjelma jadi sosok yang bersahabat. Lama-lama ada perasaan senang saat aku memandangnya. Diam-diam aku mulai merindukannya, bila dalam waktu lama ia tidak menampakkan diri. Lalu kujadikan bayangan itu sebagai sosok pengganti Bapak. Dialah yang menghangatkan hatiku dari sepinya suasana rumah, karena ketiadaan seorang laki-laki dewasa. Dialah yang membuatku tenang dan merasa aman. Mungkin tidak bagi saudara-saudaraku yang lain, karena dia tidak pernah melihat penampakan seperti yang kualami.

Ketika menjelang kenaikan kelas dari kelas II ke kleas III, Ibu memanggilku dan secara khusus menyampaikan rencananya untuk memindahkanku ke sekolah di desa eyangku. Itu berarti aku harus berhenti bersahabat dengan siluet yang sudah kuanggap bagian dari keluarga.

“Nduk, seminggu lagi eyangmu akan datang menjemputmu dan kakak sulungmu. Ibu sudah siapkan semua surat pindah sekolah kalian,” kata Ibu, sambil membersihkan debu kopor yang ditariknya dari kolong tempat tidur.

Aku tak mampu berkata-kata, hatiku tidak karuan antara sedih, bingung, dan kesal atau apalah namanya. Aku ingin protes kenapa harus diriku yang pindah, kenapa tidak kakakku saja. Tapi aku diam saja, tidak berani bertanya. Air mataku berkaca-kaca dan air di mataku menggantung hampir menetes. Aku menahannya agar tidak menetes.

Kata Ibu, aku tidak boleh cengeng. Namun karena derasnya kesedihanku, akhirnya mengalirlah bulir-bulir air itu membasahi pipiku yang sudah gembil. Aku terisak, tidak mampu menahan perasaan yang bergolak.

“Maafkan Ibu ya nak. Keputusan ini Ibu ambil demi menyelamatkan masa depan kalian. Kakakmu satunya nanti juga setelah lulus SD akan Ibu titipkan pada Pakdemu, biar kalian bisa tetap sekolah. Pesan Ibu, jangan pernah cerita apa pun tentang Bapak dan kamu itu anak siapa ya.”

Ibu menghampiriku, menghapus air mataku dan memelukku. Aku makin terisak betapa berat hari-hari yang bakal kulalui tanpa Ibu di dekatku. Aku hanya menurut. Keputusan ini mungkin saja benar, ibulah yang saat itu paling tahu situasi dan kondisi keluarga. Demi baktiku, demi cintaku pada keluarga, aku rela menerima keputusan Ibu, sekalipun aku belum mengerti benar maksudnya memisahkan kami sekeluarga.

Kesimpulan sederhana yang kutangkap bahwa aku harus pindah sekolah ke desa eyangku, di pelosok desa di Jawa Tengah, demi meringankan beban ekonomi Ibu karena ketiadaan Bapak. Tentang kata-kata Ibu demi masa depan, agar bisa tetap terus sekolah, dan jangan sebut kami anak siapa, sungguh suatu hal yang tidak bisa kupahami.

Kegalauan terdalam adalah karena aku harus pindah dari kota besar ke desa pelosok desa, sehingga perlu penyesuaian yang tentu tidak mudah. Juga karena aku harus berpisah dengan ibuku, adikku, dan teman-teman sekolahku. Satu lagi yang melengkapi kesedihanku adalah tidak akan bertemu lagi dengan siluet kesayanganku itu.

Lima belas tahun sudah berlalu sejak peristiwa hijrahku dari Jakarta ke desa eyangku. Aku selalu menyempatkan pulang ke Jakarta setiap libur semester, melampiaskan rinduku pada ibuku dan saudara-saudaraku. Kami akhirnya sudah terbiasa hidup tanpa seorang Bapak, dan bersyukur ternyata aku bisa cepat menyesuaikan diri dengan tradisi kehidupan pedesaan yang sederhana tetapi arif.

Baca juga  Burung-Burung dalam Genggaman

Eyangku sangat menyayangiku bahkan cenderung memproteksiku agak berlebihan. Eyangku adalah tokoh sesepuh yang sangat dihormati di desaku. Dia menjaga cucunya dari omongan atau cercaan orang, sekalipun aku tidak paham.

Pernah ketika kami sedang menghadiri kondangan di rumah salah seorang tetangga, ada seorang ibu yang duduk di sebelahku bertanya, “Nak, pernah ada rasa kangen nggak pada bapakmu, kan sudah lama tidak ketemu?”

Tampak si ibu itu mengusap air matanya, mungkin karena haru dan terenyuh, entah karena apa. Aku hanya sidikit tersenyum sebagai jawaban dari pertanyaannya.

Apa yang terjadi kemudian? Eyang putriku marah-marah mendamprat ibu itu supaya tidak lagi bertanya-tanya seperti itu kepadaku.

“Apa maksud dan tujuan bertanya seperti itu. Anak ini tak tahu apa-apa,” kata eyang putriku bernada keras, yang membuat orang-orang yang hadir menoleh ke arah kami, sambil bertanya-tanya dalam hatinya ada apa gerangan. Lalu ibu itu memohon-mohon maaf atas kelancangannya dan tidak akan mengulangi pertanyaan semacam itu lagi.

Aku jadi ikut bersalah kepada ibu itu, kenapa harus dimarahi? Salahnya di mana? Menurutku pertanyaan itu wajar saja. Peristiwa itu menjadi titik awal kegalauan dan ketidakberesan psikologisku. Ada perasaan tidak percaya diri dalam pergaulan dan terkadang ada kasak-kusuk yang tak bisa kumengerti.

Setelah menginjak SMP, aku mulai tahu siapa aku, keluargaku, dan bapakku. Mulai SMA di kehidupan remajaku banyak mengalami kendala. Sudah sewajarnya sesama remaja saling taksir, tapi selalu ada campur-tangan orang tua melarangnya. Kalau bukan eyangku yang melarang, ya orang tua yang anaknya naksir aku yang melarang, begitu berulang-ulang. Hal-hal semacam ini membuat hatiku tidak nyaman dan kesal. Kepada siapa aku harus menimpakan kesalahan? Aku sungguh tak tahu.

Masing-masing orang punya alasan dan punya hak dalam menyikapi situasi dan kondisinya. Perbedaan kiblat politik dalam masyarakat pedesaan sangat kentara, stigma-stigma bahwa ideologi tertentu itu buruk atau jahat, dan ideologi yang lain lebih baik, itu sangat terasa. Celakanya keluargaku termasuk kelompok yang tidak diuntungkan dan selalu didiskreditkan, walaupun kalau ditanya letak buruk dan jahatnya di mana, mereka yang merasa baik itu tidak tahu. Tetap saja stigma dan noda itu tidak hilang sampai hayat di kandung badan.

Setiap liburan semester, aku pulang ke kota kelahirku, Jakarta. Masih selalu dengan harapan bisa bertemu Bapak dan satu lagi dengan siluet yang menenangkan hatiku itu. Ini adalah kali yang kesekian kepulanganku, dan tak pernah ada penampakan.

Tetapi malam ini sepertinya dia mengerti bahwa hatiku sedang gundah gulana, sehingga mungkin mengusiknya untuk menampakan diri di hadapanku. Aku mengubah posisi, duduk di tempat tidur menatap siluet itu, mengadukan perasaan gundahku. Dengan bahasanya, yaitu sesungging senyum di bibirnya dan kerdipan mata, aku balas dengan senyum dan kerdipan pula. Aku berlama-lama menatapnya seperti mendapatkan kekuatan dan keberaniaan menghadapi persoalan hidup yang sedang membelitku. Sebenarnya terlalu berat untuk menyampaikan keputusan yang mendadak ini. Aku terlibat asmara dengan seorang pemuda anak pejabat daerah. Hubungan kami tidak direstui, dan dilarang keras, tapi kami tetap nekat, sehingga berujung kami terpaksa harus segera menikah.

Yang membuatku tidak ada keberanian menyampaikan hal ini kepada orang tua, karena kuliahku belum selesai, masih kurang satu semester. Kubayangkan Ibu kecewa dan marah. Juga kakakku yang rajin mengirim wesel untuk biaya kuliahku tentu sangat kecewa, karena aku telah melanggar pesannya. Apa pun yang terjadi, aku harus berani berterus terang dan siap menghadapi segala risiko.

Malam berikutnya bukan siluet lagi yang kujumpai. Entah itu mimpi, halusinasi, atau nyata, aku dihampiri sosok laki-laki dengan topi crops serdadu berbaju hijau. Bukan baju loreng. Dia berjalan mendekatiku dengan tongkat penyangga kaki kirinya yang buntung sebatas paha. Sisa kain celana yang melambai di kaki buntungnya membuat jalannya tertatih.

Aku yang sedang termenung di kursi dekat meja makan, kaget dan sontak berdiri. Lelaki berkaki buntung itu tidak berkata apa pun, hanya sekedip mata dan sesungging senyum yang diberikan. Aku balas dengan senyum dan mata yang berkaca-kaca, bahasa perasaan kami berdialog.

Ketika aku bangkit akan menggapainya, dengan sangat cepat dia menghilang. Tinggallah aku terpaku, berdiri tertegun. Tiba-tiba ada sesuatu kekuatan muncul dalam diriku, besok pagi aku akan menghadap keluarga, menyampaikan sesuatu. Kepergiannya meninggalkan semangat, agar aku berani menghadapi kenyataan betapa pun pahitnya. Hidup itu sebuah perjalanan yang harus ditempuh dan dijalani dengan ikhlas, pasti nanti akan bertemu dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan. Pertanyaan yang muncul di benakku adalah apa ada hubungan antara lelaki berkaki buntung dengan siluet berhidung mancung? Apakah dia jelmaan ayahku yang menghilang? Atau dia kakek buyut leluhurku yang sudah tiada, ataukah dia penunggu rumahku di Jakarta? Tidak ada yang tahu. Aku pun tidak akan mengungkapkan pertanyaan itu kepada siapa pun. Kegaiban hanya bisa dirasakan oleh masing-masing pribadi yang punya pertalian dengan kegaiban itu sendiri, tidak perlu diperdebatkan dengan setumpuk teori.

Baca juga  Monster

Pada hari Minggu yang cerah, saat semua keluarga berkumpul, aku menyampaikan kepada kakak dan Ibu tentang rencana ingin menikah dengan sorang pemuda desa. Kuceritakan juga bahwa eyang yang selama ini menanggung hidupku, sudah menyetujui keputusanku.

Kakak-kakak dan ibuku hanya diam mendengarkan. Pertanyaan mereka sebagai keluarga inti adalah apakah orang tua pemuda itu menyetujui? Apakah keluarga pemuda itu tahu tentang keluarga kita? Dan apakah tidak takut pada kemudian hari menjadi masalah? Satu lagi yang memberatkan terutama kakakku adalah aku belum selesai kuliah.

Aku menunduk dan tidak bisa menjawab semua pertanyaan itu, karena jika kujawab hasilnya negatif. Pertama, kami berdua tidak disetujui oleh keluarga besar pemuda itu. Kedua, karena keluarga pemuda itu sudah tahu siapa keluargaku. Dan yang ketiga, terberat kuliahku belum selesai, walau hanya kurang satu semester.

Tujuan utama aku menyampaikan rencana pernikahanku pada keluarga sebenarnya bukan minta persetujuan, tapi lebih pada pemberitahuan saja, disetujui atau tidak, itu urusan lain. Bagiku andai Ibu atau kakakku tidak setuju, juga tidak masalah. Yang terpenting eyangku sudah setuju. Beliau dan aku yang akan mengurus segala sesuatunya.

Pada akhirnya, walau dengan berat hati dan perasaan bimbang, keluargaku menyetujuinya. Perhelatan yang sederhana tapi penuh kesakralan berlangsung khidmat. Mataku terus berkaca-kaca selama resepsi berlangsung. Eyang kakungku yang berhidung mancung menjelma menjadi mirip dengan siluet yang menempel di tembok kamar kecilku di Jakarta.

Aku tersenyum di antara linangan air mata karena ada yang kurang lengkap yaitu ayahku.

Dalam perhelatan yang sederhana itu, tiba-tiba dihebohkan oleh suatu peristiwa yang sulit untuk dipahami. Kakakku nomer dua tiba-tiba berteiak marah-marah dan meronta-ronta, mengejar salah satu orang yang hadir, yaitu Pak Daliman, yang diminta eyangku untuk mengurusi bagian perlengkapan dan jaga keamanan kendaraan tamu.

Sehari-hari Pak Daliman ini sebagai tukang yang serba bisa. Saat perhelatan pernikahanku, dia memakai kaus loreng tentara.

Kakakku mengejar dia. Matanya nanar dan berteriak-teriak, dengan tangannya menggapai-gapai dan menunjuk ke Pak Daliman, sambil berkata: “Kamu pembunuh, kamu pembunuh.”

Semua yang hadir bingung dan membawa kakakku ke kamar eyangku untuk ditenangkan.

Pak Daliman pun bingung dan kaget atas apa yang terjadi dan malu dengan perkataan kakakku, yang menuduhnya sebagai pembunuh. Dia merasa menjadi orang baik-baik saja, bahkan karena kebaikannya banyak warga desa minta bantuan tenaganya.

Oleh orang pinter yang dipanggil untuk memulihkan kakakku, Pak Daliman diminta melepas kaus lorengnya dan mengganti baju lain. Setelah ganti baju, atas perintah orang pinter, Pak Daliman diminta mendekat dan memegang tangan kakakku dengan lembut.

Hanya dengan cara sederhana itu, kakakku siuman dan bingung kenapa dirinya telentang di kamar eyang dan dikerubuti banyak orang. Ibu datang memeluknya, seraya berbisik, “Semua sudah berlalu Nak. Mari kita tatap masa depan yang lebih baik.” (37) ***

Dilahirkan di Jakarta dengan nama Heri Siswanti. Dalam tulisan-tulisannya, dia biasa menggunakan nama pena Hersis Gitalaras atau Gita Laras. Karya puisi-puisinya masuk dalam antologi puisi Bianglala, Antologi Puisi Seribu Sajak Danau Toba dalam Festival Budaya Batak, dan Antologi Puisi Kepada Tuan Dekker, kumpulan puisi Festival Seni Multatuli. Karya fiksinya tersebar di berbagai media dan sedang menyusun sebuah novel. Tulisan tentang kisah penyintas terangkum dalam buku Cahaya Mata Sang Pewaris editorial Putu Oka Sukanta.

Loading

Average rating 3.4 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!