Cerpen, Kompas, Sasti Gotama

Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia

Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia - Cerpen Sasti Gotama

Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia ilustrasi Rahardi Handining/Kompas

3.3
(15)

Cerpen Sasti Gotama (Kompas, 15 Januari 2023)

SELASA pagi 7 Juni 1898, seharusnya menjadi hari yang biasa bagi Lucretia van der Maas. Ia berencana menyiram gladiol jingganya yang baru berbunga, menerima kiriman sayur segar dari Catia, dan memanggang roti kismis bagi Bastiaan van der Maas, suaminya. Hidupnya selalu tertata dan ia tak ingin menyesali setiap detiknya. Karena itu, ia selalu merencanakan semua yang ia anggap penting dan melaksanakannya tanpa cela, tak terkecuali untuk hari Selasa ini. Namun, itu sebelum ia menerima surat yang dikirim ke rumah oleh jongos Westzijdsche Pakhuizen atau bekas gudang barat VOC yang telah diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Sejak itu, Lucretia merasa semua rencananya tak lagi penting.

Dengan kepala tegak, Lucretia van der Maas berjalan ke dapur, memilih pisau buah paling tajam, dan menyimpannya ke dalam tas tangan yang terbuat dari kulit buaya. Tanpa tergesa ia berjalan ke ruang depan, mengenakan sarung tangan, dan meraih topi bundar kesayangannya di gantungan. Bastiaan selalu mengingatkannya untuk menggunakan topi dan sarung tangan agar kulit pualamnya tak digosongkan matahari Batavia yang garang.

“Kulitku pucat seperti mayat. Biarkan matahari membuatku sedikit coklat,” begitu Lucretia pernah merajuk, tetapi Bastiaan tetap kukuh pada pendiriannya. “Matahari tropis itu berbahaya. Bukankah dulu kulitmu pernah merah dan gatal karenanya? Sudahlah, kamu apa adanya sudah membuatku jatuh cinta,” ucap Bastiaan dalam bahasa Belanda yang terdengar lembut di kuping Lucretia. Lucretia tahu, kata-kata Bastiaan sarat tipu daya, tetapi tak mengapa baginya terjerat di sana. Itu dulu. Sekarang, Lucretia tentu tak akan terperangkap semudah itu.

Usai mematut tubuhnya di cermin bulat—dan merasa puas melihat pantulannya—Lucretia van der Maas meminta bujang rumah memanggil kereta kuda. Sayang, yang tersedia hanya dokar dengan kuda yang tak terlalu kekar dan tampaknya kurang makan. Sebetulnya saisnya pun tampak kurang makan seperti pribumi-pribumi lainnya. Tapi itu tak masalah bagi Lucretia, karena baginya yang terpenting mereka bisa mengantarkannya ke Koningin Emma Ziekenhuis atau Rumah Sakit Ratu Emma.

Sepanjang jalan, sais itu hanya bungkam dan menghentakkan tali kekang, sedangkan si kuda yang kurus itu melenggang dengan tenang. Itu lebih baik bagi Lucretia karena ia pun malas berbincang dengan kaum pribumi yang penyakitan. Toh ia tak pernah tahu apakah di setiap ucapan si pribumi itu akan disertai embusan udara yang sarat kuman tuberkulosis. Membayangkan itu Lucretia bergidik. Batavia memang kubangan penyakit. Seharusnya para pribumi itu bersyukur ketika Belanda datang ke bumi mereka dan membawa peradaban modern dan menyelamatkan mereka dari gempuran penyakit mematikan. Jika tidak, tentu mereka sudah habis dibabat wabah karena hanya mengobati sakitnya dengan dedaunan dan kembang setaman.

Baca juga  Protes

Tiga bulir keringat sebesar bulir gabah muncul di pelipis Lucretia, tetapi ia tak memedulikannya karena kepalanya sedang sibuk memutar kembali kisah lamanya di Leidseplein, Amsterdam. Masa-masa ketika ia berdiri di atas ujung jari yang mengenakan pointe shoes di panggung Stadsschouwburg dan dihujani cahaya lampu. Ia menjelma Marie Taglioni yang berputar, memantul, dan terbang seolah-olah malaikat Mikael telah meminjamkan sayapnya dan lupa memintanya kembali. Ia berencana pergi ke teater di Itali, Inggris, atau Rusia dengan kapal uap. Sayangnya, ia melakukan kesalahan fatal: bertemu Bastiaan van der Maas dan jatuh cinta dan pergi bersamanya ke Batavia.

Di Batavia, tentu saja tak ada gedung teater seperti Stadsschouwburg. Lucretia van der Maas harus melupakan cahaya terang dan nyeri di ujung jempol kaki dan harus berkonsentrasi bagaimana menakar tepung, gula, dan mentega untuk membuat roti kismis. Bastiaan van der Maas benci nasi, dan di Batavia tak ada roti seenak roti kismis buatan ibunya. Syukurlah ada aku, pikir Lucretia. Tanpa dirinya, tentu Bastiaan akan mati kelaparan. Walaupun begitu, Lucretia tak pernah mencicipi secuil pun roti kismis buatannya karena Bastiaan berkata ia ingin pinggang Lucretia tetap seramping ranting bugenvil. Jadi Lucretia van der Maas tak pernah sekali pun makan kukis, roti kismis, atau gula-gula. Lucretia van der Maas hanya makan pepaya, pisang, dan sayur-sayuran.

Untuk masalah suplai buah dan sayuran ini, ia tak perlu khawatir. Ada Catia de Rozario, seorang Mardijker yang tinggal di wilayah Ommeladen. Sayur dan buah yang ia bawa selalu segar. Sebagaimana kaum Mardijker yang lain, Catia terbiasa berbicara dalam bahasa Kreol Portugis sehingga sering kali terbata-bata ketika berbincang dalam bahasa Belanda. Nenek buyutnya memang berasal dari Bengala dan mendarat di Malaka sebagai budak. Setelah dibawa oleh VOC ke Batavia, akhirnya ia dibebaskan dan menjadi orang merdeka dengan syarat ia bersedia berpindah agama dari Katolik menjadi Kristen Protestan sebagaimana kebanyakan warga Belanda di Batavia. Walaupun berasal dari Belanga dan berkulit gelap seperti orang Tamil, ia selalu merasa bagian dari bangsa Portugis dan berpakaian ala Portugis. Untuk menyambung hidup, ia bertanam sayuran di Ommeladen dan usahanya itu diturunkan kepada anak cucunya hingga kini jatuh kepada Catia.

Sebetulnya Lucretia tidak ingin terlalu akrab dengan Catia. Baginya, Catia tetaplah kaum budak dan tak sejajar dengannya. Namun, sebagai penganut kasih Kristus, tentu ia harus berbelas kasih kepada kaum rendahan, dan sudah sepatutnya Catia bersyukur karena Lucretia sudi berbincang dengannya.

Mevrouw, wortel-wortel jingga tentu akan membuat mata Mevrouw yang indah itu semakin berbinar. Senin kami panen raya. Mau saya bawakan Selasa besok?” ucap Catia Jumat lalu.

Baca juga  Obsesi Lamhe

“Kenapa tak kamu panen lebih awal dan bawakan untukku hari Minggu saja? Kebetulan aku ada rencana membuat keik wortel.”

“Saya… ada janji, Mevrouw,” ucap Catia malu-malu.

Lucretia bisa melihat semburat merah di pipi Catia yang cokelat matang dan itu tak membuatnya lebih cantik. Mirip tomat busuk saja.

“Baiklah. Selasa saja. Bawakan yang segar satu keranjang.” Dan Lucretia berpikir, betapa murah hati dirinya. Karena dirinyalah, Catia dan keluarganya bisa makan.

Namun, surat yang Lucretia baca tadi pagi seketika melibas semua rencana. Surat itu ditulis dalam bahasa Belanda yang sederhana dan ditujukan kepada suaminya. Lucretia bisa membayangkan seseorang itu menulis dengan hati-hati sambil diterangi lampu ublik. Tampak tekanan pena pada kertas yang menunjukkan ia menulis dengan rasa kecewa yang pekat.

“Saya menunggu. Mengapa Anda tak datang? Kamar Stads Herberg ini terasa sepi walau Pelabuhan Sunda Kelapa sudah ramai dengan penjual ikan. Anda di mana? Kabari segera.”

Kalimat-kalimat itu sudah membuat hati Lucretia cedera, tetapi nama di bagian paling bawahlah yang membuatnya jejas parah. Catia. Bagaimana mungkin perempuan sekelas budak hitam legam, bahkan lebih hina dari pribumi, mampu mencuri miliknya. Miliknya.

Lucretia ingat, Sabtu lalu, suaminya berkata bahwa ia harus pergi ke Syahbandar Sunda Kelapa. Ada masalah perdagangan yang harus ia selesaikan mendadak. Namun, Sabtu itu juga Lucretia mendapat kabar kereta suaminya mengalami kecekaan, terperosok ke dalam kanal. Syukurlah Bastiaan baik-baik saja, hanya mengalami patah kaki kiri dan harus dirawat di rumah sakit Ratu Emma. Saat itu Catia tentu tengah menunggu Bastiaan di ranjang Stads Herberg, lalu lelaki itu tak pernah datang, lalu Catia mengirim surat yang ia kirim ke kantor perdagangan tempat Bastiaan bekerja, lalu kacung kantor mengirimkannya ke rumah Lucretia. Tentu itu tak sesuai rencana Catia.

Di atas kereta kuda, Lucretia teringat semua rencana dalam hidupnya yang telah menjelma debu di udara: beasiswa sekolah balet St Petersburg, lampu terang panggung Stadsschouwburg, dan keriangan ketika ia berputar, meloncat, dan terbang. Ia pertaruhkan itu semua dalam perjudian bernama pernikahan. Dan kini, ia hanya punya pisau dalam tas buaya.

“Kita sudah sampai, Mevrouw.” Sais itu berucap dalam bahasa Melayu, tetapi Lucretia paham maknanya. Lucretia membayar beberapa keping gulden yang membuat sais itu keheranan dan kegirangan dan membungkuk beberapa kali di belakangnya. Lucretia menyukai sensasi ketika orang menghamba kepadanya, dan seharusnya Bastiaan pun seperti itu.

Lorong sepi. Suara langkah sepatu Lucretia menggema di langit-langit yang tinggi. Lucretia sampai di pintu kamar rawat Bastiaan. Jeda. Lucretia membuka pintu. Bastiaan terbaring sambil menutup mata. Lucretia merogoh tas kulit buaya. Bastiaan menggeliat lemah. Lucretia menggenggam pisau buah. Bastiaan membuka mata. Lucretia berkata, “Kau lapar, Sayang?”

Baca juga  Cincin untuk Sefia

Lucretia duduk di dipan Bastiaan dan meraih apel di meja. Dengan perlahan, ia mengupasnya.

“Aku tidak lapar. Oh, kaki ini seperti bukan kakiku. Nyeri sekali. Mungkin membusuk. Oh, Lucretia, bagaimana kalau aku nanti mati?”

“Kau tidak akan mati. Di Batavia, orang lebih gampang mati karena kolera atau malaria. Paling kau hanya pincang saja. Omong-omong, aku menerima surat yang ditulis Catia untukmu. Katanya, ia menunggu di Stads Herberg.”

Raut wajah Bastiaan mengapas. “Sepertinya aku lapar sekarang. Bisa kau mintakan bubur ke Sust—”

“Sssh, tenanglah. Aku tidak marah. Aku paham itu hanya serangga kecil yang menyusup dalam ruang makan kita yang hangat. Dengan mudah aku, maksudku kita, akan menyingkirkannya.” Lucretia memotong apel-apel itu hingga menjadi potongan kecil-kecil, kecil-kecil, kecil-kecil hingga seukuran pil kina. “Jika kau lapar, makanlah apel ini.”

Bastiaan menelan ludah. “Terima kasih. Itu sepertinya mudah ditelan.”

Bersamaan dengan itu, Bastiaan merasa pijar dalam jiwanya berangsur lindap. Hidupnya akan kembali gudang pengap yang penuh asap. Semua harus sesuai rencana Lucretia, seolah dunia tak akan berputar jika bukan karena campur tangan Lucretia. Sedangkan Catia adalah teka-teki penuh letupan. Tak ada yang harus teratur. Setiap detik adalah kejutan. Catia tak pernah mengarahkannya untuk ini-itu. Matanya selalu berpijar setiap Bastiaan menceritakan rencana hidupnya. Catia membuatnya merasa ada. Catia adalah napasnya.

Lucretia bangkit dari dipan, merapikan gaunnya, dan berkata, “Aku pulang dulu. Aku harus menyiram gladiol dan memanggang roti kismis.”

Lucretia melangkah tanpa menengok ke belakang. Batavia memang tak seperti impiannya. Tapi ia percaya, jika opera tak memainkan lagunya, ia hanya perlu menyanyikan lagunya sendiri. Dan semua yang rusak hanya perlu diperbaiki seperti ayahnya mereparasi kursi makan mereka yang patah. Menurut ayahnya, jika kursi rusak, kau tak perlu membeli yang baru, cukup betulkan saja yang lama, dan Lucretia pun mengimani keyakinan yang sama. Kini, Lucretia hanya butuh merencanakan kejutan untuk Catia. ***

.

.

Sasti Gotama. Emerging Writer UWRF 2022. Pemenang I Hadiah Sastra “Rasa” 2022.

Rahardi Handining. Sarjana Arsitektur lulusan Universitas Pandanaran, Semarang. Mendapat beberapa penghargaan, antara lain The 4 th Shanghai International Contemporary Art; China pada 2019; Special prize Mellow Art Award Japan, 2020; dan Finalis UOB Painting of The Year 2021, kategori profesional.

.

Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia. Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia. Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia.

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 15

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!