Cerpen Marwanto (Kedaulatan Rakyat, 30 Desember 2022)
TIAP liburan Naya selalu kangen nenek. Bukan neneknya sendiri. Sebab pada neneknya, ia biasa memanggil dengan sebutan eyang. Tapi, nenek ini adalah seorang perempuan tua penjual bunga yang tinggal sekampung dengan eyangnya. Namanya Nenek Bini.
Nenek Bini tiap hari menjual bunga. Beraneka bunga. Wangi semua. Hal inilah yang membuat Naya selalu rindu padanya. Kerinduan itu membuncah saat musim liburan tiba. Siang itu, Naya pergi ke rumah eyangnya diantar Budiman, ayahnya. Biasanya mereka akan menginap barang semalam.
Sampai di rumah eyangnya, Naya langsung minta diantar ke rumah Nenek Bini. Ditemani Om Pras (adik Budiman yang tinggal serumah dengan eyang), mereka menuju ke rumah Nenek Bini dengan jalan kaki. Jalan menuju rumah Nenek Bini sempit, agak terjal, kontur tanah berseling batu yang kalau diguyur hujan menjadi becek dan licin.
Rumah Nenek Bini jauh dari tetangga sehingga terasa sepi sekali. Namun rumah itu berbau harum. Dari jarak dua ratusan meter bau harum itu sudah terasa. Menempati tanah yang agak tinggi, rumah itu kian terasa asri mewangi. Dari situ dapat melihat pemandangan kampung sekitar. Cocoklah untuk istirahat atau berlibur melepas penat.
Cerita tentang Nenek Bini sebenarnya masih simpang siur. Ada yang menyebut Nenek Bini telah meninggal. Menurut cerita versi ini, perempuan separuh baya yang kini tinggal di rumah itu adalah pembantunya yang berdandan ala Nenek Bini. Namanya Narti, asalnya dari kampung sebelah.
“Musatahil seorang nenek tampak muda belia begitu,” kata Pras.
“Lalu, Mbok Rono itu siapa Om?” tanya Naya
“Ia adalah ibunya Narti.”
“Mengapa Narti tega menjadikan ibunya sebagai pembantu?”
“Ia berambisi menjadi Nenek Bini. Penjual bunga paling laris sedunia.”
Namun, sebagian orang percaya perempuan separuh baya itu memang Nenek Bini. Menurut cerita versi ini, konon di rumah itu tinggal dua perempuan: Bini dan Suti. Karena dipersunting jejaka, Suti pindah rumah. Merasa sepi sendirian, Nenek Bini mengajak Mbok Rono dan anaknya yang bernama Narti untuk menemaninya. Tapi Narti tak betah tinggal bersama meraka. Ia hengkang jadi pembantu rumah tangga di kota.
Usia Nenek Bini dan Mbok Rono bisa dibilang sebaya. Tapi dari penampilannya, seakan terpaut usia yang sangat jauh. Karena itulah, sebagian besar orang meyakini cerita versi pertama. Bahwa, yang kini mengaku sebagai Nenek Bini tak lain adalah Narti. Sementara yang meyakini cerita versi kedua beranggapan bahwa seseorang yang sehari-harinya bergelut dengan bunga akan awet muda.
Bagaimana dengan Naya? Meskipun sudah dipengaruhi Om Pras, tetap saja Naya yakin yang sering dikunjungi itu adalah Nenek Bini sungguhan. Sementara Pak Budiman masih akan membuktikan dengan cara bertemu secara langsung dengan Nenek Bini.
Matahari hampir tenggelam ketika mereka sampai di rumah Nenek Bini. Seorang perempuan yang sudah tampak renta menyambut di muka pintu lalu menyilahkan mereka masuk. Di ruang tamu ada meja kecil untuk menaruh kendi dan beberapa cangkir. Perempuan itu menuangkan air putih ke dalam tiga cangkir.
“Mari diminum. Di sini adanya cuma air putih dan singkong rebus, heh heh heh….”
“Emmm… kami ingin bertemu. Iya, ingin bertemu dengan Nenek Bini,” kata-kata Pak Budiman pelan dan penuh keraguan.
Perempuan tua itu tersenyum, lalu menjawab.
“Ia masih di ladang memetik bunga. Ke sinilah nanti sore jelang senja.”
Mereka kecewa karena tak bisa bertemu dengan Nenek Bini. Tapi Naya tetap menagih janji.
“Nanti sore ke sini lagi ya, Yah!”
“Nanti sore kita mesti pulang sayang….”
“Terus, kapan Naya bisa ketemu Nenek Bini?”
“Lho, tadi kan sudah ketemu.”
Sebenarnya Budiman tidak yakin benar yang barusan ditemui adalah Nenek Bini. Namun karena ia ingin segera pulang untuk menyiapkan pekerjaan kantor esok hari, ia berusaha meyakinkan Naya.
“Bukan, ia bukan Nenek Bini. Itu tadi kan Mbok Rono, ya kan Om Pras…?”
Om Pras hanya tersenyum melihat keteguhan hati Naya untuk bertemu Nenek Bini. ***
.
.
Wisma Aksara 2022
Marwanto, mengetuai Forum Sastra dan Teater Kulonprogo, buku kumpulan cerpennya yang telah terbit: Kado Kemenangan (2016), Hujan Telah Jadi Logam (2019) dan Aroma Wangi Anak-anak Serambi (2021).
.
Penjual Bunga.
Leave a Reply