Cerpen Puspa Seruni (Media Indonesia, 08 Januari 2023)
MAK Ina mengamuk. Dia menghancurkan benda-benda di sekitarnya; keranjang bambu, bangku kayu, para-para, tetapi tak sampai menghancurkan sampan peninggalan suaminya. Debur gelombang yang menjilati pantai tak ada apa-apanya dibandingkan debur di dalam dadanya. Seekor paus yang terdampar di dekat rumahnya beberapa minggu lalu tak membuatnya sesedih hari itu. Dia baru saja menguburkan Maisaroh, putrinya yang baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang juga harus ikut dikubur karena sudah tidak bernapas sejak dalam kandungan. Keduanya tak bisa diselamatkan. Ada sesuatu yang keliru, ada jala terpasang di atas pintu.
Mak Ina mengamuk. Dia memaki kepala kampung, dukun beranak, tetangganya, bahkan Romli, lelaki yang baru saja kehilangan anak dan istrinya. Romli sudah tiga tahun menjadi menantu Mak Ina dan baru hari itu mendengar ibu mertuanya memuntahkan amarahnya. Wajah perempuan yang rambutnya keperakan itu memerah, dadanya kembang kempis seperti ikan buntal yang baru tertangkap jala.
Romli, laki-laki berusia dua puluh tahun itu bukan nelayan. Lelaki lulusan SD itu sama sekali tak ada pengetahuan tentang laut atau melaut, melainkan hanya mencampur semen, pasir, juga kapur. Dia seorang kuli bangunan yang tiga tahun lalu bekerja di pesisir saat ada proyek pembangunan pelabuhan. Saat pelaksanaan proyek itulah dia berjumpa dengan Maisaroh, anak bungsu Mak Ina. Keduanya kemudian sering terlihat bersama hingga Mak Ina dan suaminya mendesak Romli menikahi anaknya.
Mak Ina merasa mendapat berkah karena dua anak lelakinya yang diharapkan melanjutkan pekerjaan bapaknya sebagai nelayan lebih memilih ke kota, entah menjadi apa. Setelah menikah, Romli meninggalkan pekerjaannya dan mulai belajar cara melaut, menebar jala, hingga memperhatikan gerak-gerik ikan. Sampan kayu itu hanya muat dua orang, dia dan mertuanya. Setiap malam dengan membawa jala mereka mencari peruntungan dari kemurahan alam.
“Tidak perlu modal besar, cukup menebar jala, ikan-ikan akan berdatangan.” Begitu kata mertuanya dulu saat mereka pertama kali melaut.
Mertuanya mungkin tak paham ilmu perbintangan atau cara menentukan lokasi ikan sesuai musim, tetapi pengalaman membuatnya bisa mendengarkan desau angin hingga menerjemahkan perubahan suhu air pada permukaan laut. Angin dan laut akan memberinya pertanda ke mana sampan harus digerakkan, keduanya seolah berbisik, menuntun menuju tempat ikan-ikan berkumpul. Romli belajar peka menerjemahkan pertanda.
Enam bulan melaut bersama, sang mertua berharap Romli sudah siap untuk mengisi periuk nasinya sendiri. Dia melepas anak menantunya untuk membawa sampan yang sudah puluhan tahun menemaninya mencari ikan. Romli tak bisa menolak, tetapi dari gerak matanya semua orang yang melihatnya tahu bahwa lelaki itu tak pernah siap untuk melaut sendirian.
“Bagaimana bisa Bapak melepas Romli sendirian? Kalau ada apa-apa bagaimana? Mukanya saja kelihatan bingung begitu?” suara Mak Ina terdengar berbisik di dalam biliknya, khawatir Maisaroh yang ada di rumah sebelah mendengar. Dinding rumah mereka hanya dari gedek, dipisah sebuah lorong kecil selebar satu meter—sebatas orang bisa lalu lalang saja—sehingga suara dari rumah yang satu akan terdengar hingga rumah lainnya.
“Biar dia latihan dulu, Mak. Kalau sudah menyatu dengan laut, baru bisa jadi ABK* di kapal Haji Jupri.”
Suami Mak Ina sudah sakit-sakitan. Dia berharap Romli bisa meneruskannya sebagai nelayan. Meski dua tahun terakhir dia lebih banyak membawa pulang sampah plastik daripada ikan-ikan, lelaki berkulit legam itu percaya bahwa laut tetap dapat memberi keluarganya penghidupan.
Sampan kecil miliknya memang sudah kuno, tertinggal jauh dari perahu nelayan lain dengan ukuran yang lebih besar. Apalagi jika dibandingkan dengan perahu milik Haji Jupri yang menggunakan alat tangkap pukat cincin. Perahu besar itu bisa berlayar hingga ke tempat yang jauh, di area ikan-ikan berkumpul. Berbeda dengan sampan kecil miliknya yang hanya melaut di sekitar pantai. Perolehan ikan pada perahu yang menggunakan pukat cincin tentu jauh lebih banyak, tetapi Haji Jupri dan juragan yang lain juga mengeluhkan semakin sulitnya mencari ikan.
Pertama kali melaut sendiri, Romli tentu saja kebingungan. Dia berulang kali mengulurkan telapak tangannya ke permukaan laut, meniru mertuanya untuk mengecek suhu air sehingga bisa menebak tempat berkumpulnya ikan-ikan. Akan tetapi, hingga berulang kali mencelupkan telapak tangannya, dia tetap tak bisa membedakan suhu air di satu tempat dengan tempat lainnya. Dia sudah berupaya menajamkan pendengaran, menerjemahkan bisikan angin untuk mengarahkan gerak sampan. Akan tetapi, hingga kepalanya tenggeng, dia tetap tak bisa memahaminya.
Romli putus asa, dia lalu mematikan mesin, menyalakan lampu sorot dan mengarahkannya ke air. Dia menunggu dengan sabar sebelum jala ditebar. Matanya mengamati permukaan laut dan berharap ikan-ikan itu bermunculan. Beberapa ikan terlihat lewat, tidak banyak, hanya beberapa ekor saja yang berenang di antara botol-botol plastik, pembungkus makanan, sebuah sepatu, dan ban bekas yang mengambang. Romli segera mengambil jala kemudian melemparnya. Dari atas sampan, jala itu terlihat seperti tanduk kerbau; badan jala yang terlihat seperti kepala serta kaki dan sayap jala yang tampak seperti tanduk.
Romli tidak menyadari itu, yang dia lihat hanyalah jala penjaring ikan, tak lebih. Dia tak memiliki perhatian khusus kepada jala berbentuk kepala kerbau itu, apalagi sampai memberinya perlakuan tertentu. Dia mengindahkan semua petuah mertuanya, juga tak menggubris larangannya.
“Jala ini dijaga, ndak boleh disandari, dilangkahi, apalagi diinjak-injak,” larangan mertuanya saat mereka pertama kali melaut bersama. “Juga ndak boleh dikentuti apalagi buang hajat di atasnya. Saat di darat, jala tidak boleh digeret di tanah. Ndak boleh,” lanjut mertuanya dengan wajah serius. Romli mendengar itu, tetapi otaknya tak mampu mengingat semua ocehan mertuanya.
Beberapa kali melaut sendirian, Romli lebih banyak disibukkan melepas sampah-sampah yang menyangkut pada jalanya. Sampah-sampah yang terjaring, dia buang lagi ke laut. Romli pulang dengan tangan kosong. Keranjang bambu itu baru terisi ikan setelah dia mendapat ikan dari nelayan lain atau kapal-kapal besar yang mendarat. Hal itu memang sudah menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh nelayan atau kapal-kapal besar, membagi-bagikan ikan kepada nelayan sampan atau anak-anak kecil yang ada di pantai.
Dia selalu mengeluhkan hal yang sama kepada istrinya, tentang arah angin yang ribut, gelombang yang sukar ditebak, hingga suhu air yang tak menentu. Romli tak bisa membaca tanda-tanda alam, tak seperti mertuanya.
“Dulu bapak melaut tak perlu sampai ke tengah, sudah banyak ikan mendekat. Tapi itu dulu,” ucap istrinya menjawab keluhan Romli.
Maisaroh melakukan penekanan pada kata dulu yang diucapkannya; dulu saat tak banyak pabrik di sekitar sini, dulu saat musim hujan dan kemarau mudah diduga pergantiannya, dulu saat masih lebih banyak ikan di laut daripada sampah-sampah, dan dulu saat permukaan laut masih sebening cermin.
Romli juga pernah mendengar cerita yang sama dari nelayan lain yang juga sering pulang tanpa hasil. Menurut penduduk pesisir, ada beberapa hal yang mulai berubah; permukaan laut yang semakin tinggi yang menyebabkan beberapa kali air laut menyatroni rumah penduduk, bibir pantai yang semakin tergerus ombak, curah hujan yang tak menentu, serta ikan paus yang mudah sekali tersesat hingga ke daratan.
Mak Ina yang sejak tadi mengamuk, kemudian terduduk lunglai di depan pekarangan disaksikan banyak mata tetangganya. Sementara Romli, diam-diam menuju rumahnya untuk menurunkan jala dari atas pintu. Semuanya sudah terlambat, Maisaroh dan bayi dalam kandungannya sudah mangkat. Semua warga pesisir mengutuk Romli sebagai suami bodoh yang tega mencelakai istri dan calon anaknya sendiri. Menurut kepercayaan mereka, menempatkan jala di atas pintu rumah akan membuat wanita hamil yang tinggal di dalam rumah itu tak bisa melahirkan dengan selamat. Romli bukan tak tahu itu, dia hanya abai pada nasihat mertuanya.
Seorang nelayan menghampiri Mak Ina yang masih terus memeluk kain sarung yang digunakan Maisaroh untuk melahirkan. Dia terlihat mengatakan sesuatu kepada Mak Ina. Nelayan-nelayan itu sudah mengantre sejak tadi di depan rumah Romli untuk meminta sepotong kain yang digunakan Maisaroh untuk melahirkan. Seperti tak punya pilihan, perempuan tua itu mulai menyobek kain sarung itu sedikit demi sedikit. Mak Ina sebenarnya tak mau menyobek sarung yang digunakan anak perempuannya saat melahirkan. Akan tetapi, apa boleh buat, dia butuh uang untuk melaksanakan acara selamatan hingga hari ketujuh kematian anak dan cucunya.
Dengan air mata berurai, dia merobek kain itu, menyerahkannya kepada para nelayan yang lalu menukarnya dengan sejumlah uang. Romli hanya memandang Mak Ina yang dikerubungi nelayan-nelayan yang meminta jimat, tak bisa melakukan apa pun. Sama seperti saat dirinya di tengah lautan, sendirian berusaha menerjemahkan tanda-tanda alam untuk mencari ikan, tetapi gagal.
Sobekan kain itu akan digunakan sebagai jimat yang biasanya digantung di ujung jala. Sejak pergerakan angin dan cuaca semakin tak bisa ditebak, jimat-jimat dari sobekan kain yang digunakan wanita yang mati karena melahirkan atau bungkusan tulisan Arab dengan makna-makna tertentu semakin banyak bergelantungan di jala atau perahu-perahu nelayan. Mereka percaya benda-benda mistis itu akan membuat ikan-ikan mendekat sehingga hasil tangkapan mereka meningkat.
Sama seperti Romli, sejak dua tahun terakhir hasil tangkapan ikan para nelayan itu semakin sedikit. Ikan-ikan seperti tak tampak, menjauhi sampan dan kapal nelayan. Nelayan menduga menurunnya ikan disebabkan larung sesaji saat proses petik laut yang kurang atau tersebab guna-guna dari nelayan lain akibat tingginya persaingan antarnelayan. Ikan-ikan tak mengerti makna tulisan Arab dalam bungkusan yang digantung di perahu atau jala, apalagi sobekan kain yang digunakan wanita hamil yang mati saat melahirkan. Mereka hanya bergerak, mungkin memang benar menjauhi pantai, mencari tempat yang lebih nyaman, atau mungkin beberapa jenis di antaranya mulai punah dari lautan karena tak lagi bisa menemukan tempat yang sesuai kebutuhan.
Sama seperti Mak Ina dan Romli, yang perlahan-lahan harus mulai berpikir untuk pindah dari pesisir karena tanah pekarangannya seiris demi seiris mulai tergerus ombak dari pantai. ***
.
.
Catatan kaki:
ABK: anak buah kapal
.
.
Puspa Seruni. Penulis asal Situbondo, Jawa Timur, ini berdomisili di Jembrana, Bali. Tulisannya dimuat di beberapa media cetak dan online. Pada 2022 terpilih sebagai emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022.
.
.
Pemenang Harapan Sayembara Cerpen Media Indonesia 2022
.
Jala di Atas Pintu. Jala di Atas Pintu.
Leave a Reply