Cerpen Eka Kurniawan
DALAM satu badai rasa jemu, ia terdampar di taman dan duduk di kursi sambil memakan jagung rebus begitu perlahan, sebutir demi sebutir, seolah di butir terakhir ia akan bertemu kematian. Ada gerombolan ajak di langit membuat udara begitu murung, dan ia berpikir sebentar lagi mereka akan kencing serentak, membuat selokan-selokan meluap dalam banjir. Ia tak mengkhawatirkan hal itu, selama ia selalu membawa payung bumbu masaknya, yang ia khawatirkan hanyalah kenyataan bahwa ia menghabiskan setiap hari persis dalam kemonotonan yang sama, hingga rambutnya mulai ditumbuhi belukar.
Pada umur tujuh puluh empat tahun, Mardio masih seorang bujangan yang sama sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Tak seorang perempuan pun di dunia pernah ditidurinya, dan semua itu hanya karena cinta sucinya kepada seorang perempuan yang tampaknya tak pernah dilahirkan untuk menjadi miliknya. Perlahan namun pasti, ia mulai digerogoti kesetiaan konyolnya, sehingga yang tersisa hanyalah seorang lelaki tua kesepian, dengan wajah mulai menyerupai kepala seekor anak kuda, dan tak yakin apakah ia bisa menyetubuhi seorang perempuan sebelum malaikat maut memilihnya sebagai menu makan siang.
Keadaan paling parah terjadi tak lama setelah ia memutuskan pensiun sebagai manajer dari rangkaian bioskop di kota itu, tempat ia pernah melihat ratusan kisah cinta yang membuat iri hati dari ruang proyektor. Tanpa pekerjaan dan tanpa seorang pun di rumah, ia mulai sering menghabiskan waktunya berjalan kaki di trotoar sambil menenteng payung, dengan wajah pemikirnya, hingga badai rasa jemu melanda dan ia mencari tempat untuk duduk. Ia mulai mengeluhkan begitu banyak penyakit, yang semuanya datang di hari-hari tersebut secara serentak. Setelah satu serangan batuk yang memorak-porandakan jam malamnya, ia pergi ke dokter hanya untuk mendengarkan penjelasan bahwa kau sehat, bahkan sekuat badak.
Bagaimanapun ia merasa sakit dan dibuat jengkel oleh metode kedokteran yang tak meyakinkan. Ia mengadukan dokter itu ke dokter lain, dan menceritakan perang satu malamnya melawan wabah flu dan rematik serta gangguan lambung. Si dokter mencoba mendengarkan sesuatu dari dadanya, menyuruhnya bernapas dengan panjang, memeriksa permukaan lidahnya, dan menyuruhnya untuk membelalakkan mata. Dokter itu memberinya lima bungkus obat, yang tak menampakkan hasil apa pun setelah satu minggu. Ketika ia kembali, si dokter akhirnya menyerah untuk menemukan di mana sumber penyakitnya. Bahkan setelah ia melalui prosedur foto di unit radiologi, serta uji laboratorium untuk darahnya, mereka tak punya keyakinan untuk menemukan sumber penyakitnya, dan apalagi untuk mengetahui apa namanya.
Dokter terakhir kemudian memberinya surat pengantar untuk menemui psikolog. Setelah satu rangkaian wawancara panjang yang sangat terbuka seolah ia bertemu seorang teman karib, tak butuh waktu lama bagi sang psikolog untuk menemukan sumber segala penyakitnya. Diagnosanya sangat tepat serta mengguncangkan hati dan obat yang ditawarkannya pun tak mengada-ada.
“Lupakan perempuan itu,” kata sang psikolog, “dan mulailah hidup baru.”
Rasanya tak mungkin. Ia telah mencintai perempuan itu selama enam puluh tahun terakhir hidupnya. Ia tak ingin menghancurkan begitu saja kesetiaan yang telah dipertahankan begitu lama, hanya karena nasihat tak berguna seorang psikolog, dan tak peduli dengan segala penyakit yang konon datang dari sana. Lagipula, pada umur tujuh puluh empat, hidup baru seperti apa yang bisa diharapkan, kecuali seandainya perempuan itu menjadi janda dan ia bisa mengawininya.
Tapi kenyataannya, ia merenungkannya juga. Begitu terbebas dari tidur siang, ia segera mengenakan mantel dan memulai perjalanan sorenya untuk melihat pasangan-pasangan kekasih muda yang berahi sepanjang trotoar, untuk meyakinkan diri apakah ia bisa berbahagia dengan perempuan lain. Tapi semakin ia mencoba melupakan perempuan itu, wajahnya semakin melekat kuat di retina matanya, tak peduli bahwa sebagaimana dirinya, sekarang perempuan itu bukanlah gadis cantik yang dulu tapi seorang nenek dengan segerombolan cucu menjengkelkan. Demikianlah bagaimana ia tersesat di taman, memakan jagung rebusnya, dan berpikir tentang makan siang malaikat maut.
“Kudengar suara rodanya,” ia berkata kepada diri sendiri, “malaikat maut datang kepadaku dengan sepeda di bawah hujan penuh topan badai.” Ia memejamkan matanya, terlelap, dan bermimpi tentang bulan sepotong di atas piring sarapan paginya. Burung-burung pelatuk mengeroyok tangannya yang masih menggenggam sepotong jagung rebus. Seorang anak kecil mengusir burung-burung itu dengan pistol air, didorong rasa kasihan kepada si lelaki tua yang tak berdaya.
Ketika ia terbangun, ia masih menghadapi dunia yang sama, seolah begitulah sejak diciptakan, dan akan tetap begitu sampai berabad-abad kemudian. Ada sarang laba-laba di matanya, cemerlang memantulkan cahaya matahari yang mengintip di antara gerombolan ajak di langit, dan ia menghapusnya dengan ujung sapu tangan yang selalu ia bawa untuk meredam suara batuk tuanya yang kerontang. Jiwanya masih terseret arus mimpi, dan tengah berusaha memperoleh tempat nyaman di tubuhnya, seperti seseorang mencari posisi yang baik untuk bokongnya di kursi bis kota. Jagung rebusnya telah meluncur jatuh dari tangannya, dan ia bersyukur tak harus memakan butir terakhir, seandainya benar ada kematian di sana.
Tiba-tiba ia begitu merindukan pekerjaannya, merindukan gedung bioskop bergaya Art Deco peninggalan kolonial itu. Di tahun-tahun terakhir sebagai manajer, ia memperoleh jatah empat tiket cuma-cuma dalam satu minggu. Ia tak pernah mempergunakannya tentu saja, selama ia bisa melihat semua film melalui ruang proyektor sebagaimana biasa. Tapi seorang pemuda tetangga akan menemani setengah malamnya bermain catur, dan sebagai ucapan terima kasih ia memberinya dua tiket untuk pergi bersama kekasihnya. Pemuda yang lain akan datang menemaninya di malam yang lain, untuk dua tiket tersisa. Setelah ia berhenti, ia tak pernah memperoleh empat tiket cuma-cumanya lagi, bahkan satu tiket untuk dirinya sendiri juga tidak, maka tak ada lagi pemuda-pemuda yang datang ke teras rumahnya untuk minum kopi dan menyerah kalah dalam permainan catur. Ia mulai terserang insomnia hebat, dan memulai kebiasaan tidur siang yang begitu sejenak namun dihiasi mimpi yang berat untuk dimengerti.
Ketika sarang laba-laba itu telah lenyap dari matanya, hal paling menarik untuk dilihat adalah seorang gadis dua puluh tahun yang berdiri jemu di samping kotak telepon umum. Ada seorang pemuda sedang menelepon, ia mungkin sedang menunggu giliran, atau lelaki itu kekasihnya dan ia sedang jemu menantikannya. Ia yang paling cantik dari semua gadis yang berserakan di taman, dan mata tuanya telah begitu terbiasa untuk menghibur diri dengan melihat gadis-gadis muda yang begitu segar dan cantik, memesona dan menggairahkan. Ia tampak sehat, gadis itu, dengan kulit cemerlang oleh kebiasaan bergerak yang tanpa ampun. Mardio membayangkannya lari pagi di setiap hari Minggu, juga bermain basket di hari lain, dan berenang setiap Jumat sore. Rambutnya bergelombang sepanjang dua jengkal, mengenakan kaca mata berbingkai hitam yang membuatnya tampak begitu manis. Ia mengenakan kaus biru tua dengan dua kancing yang tak terpasang serta jins ketat, membuat tubuhnya begitu tampak seolah ia telanjang untuk semua orang yang memiliki waktu untuk membayangkannya. Mata tua Mardio tak sanggup berpaling dari bidadari ini, menyadari bahwa hiburan semacam itu tak mungkin datang dua kali selama hidupnya.
Sejak harapan memperoleh perempuan yang ia cintai selama enam puluh tahun terakhir itu tampak semakin sia-sia, ia memulai kebiasaan menghibur diri dengan memandangi gadis-gadis cantik tanpa bermaksud memiliki salah satu dari mereka, sebab bagaimanapun cintanya kepada perempuan itu tak pernah pudar, sebaliknya semakin mengental bersama bertambahnya waktu dan kesia-siaan. Ia satu jenis lelaki yang percaya kekeraskepalaan cinta seorang lelaki akan bisa menaklukkan hati perempuan paling beku sekalipun, dan ia akan menantinya bahkan sampai waktu ketika napas mereka telah di tenggorokan. Jadi gadis-gadis itu tak lebih dari sekadar hiburannya, sebab perempuan itu tetap yang tercantik di langit dan di bumi. Ia membayangkan romansa-romansa mereka, kegenitannya, dan ikut berbahagia untuk lelaki yang menjadi kekasih mereka.
Dengan cara melihat jenis-jenis kecantikan yang berbeda-beda itulah ia menandai tahun demi tahun yang merosot dalam longsor tak kenal ampun. Gadis-gadis seperti itu lebih mudah ditemukan di teras bioskop, tapi sejak ia tak memiliki hubungan dengan bioskop kecuali nostalgia menjemukan, ia mencarinya di taman. Dulu ia mengagumi gadis-gadis montok dengan dada sebulat bola sepak sebagaimana gadis idamannya itu, tapi belakangan gadis-gadis langsing yang liat seperti si gadis berkaus biru itu menjadi favoritnya. Ia pernah mengagumi gadis-gadis berambut mie, sebelum beralih ke rambut-rambut air terjun, atau pendek dan berwarna kemerahan yang alami. Ia tak pernah sungguh-sungguh berhasrat memiliki mereka, kecuali membayangkannya sejenak berada dalam pangkuannya, atau tidur di ranjang yang sama, berpikir bagaimana rasa ciuman mereka. Lagipula, gadis-gadis itu, secantik apa pun, dengan mudah bisa dilupakan begitu ada gadis cantik lainnya di pemutaran film berikut, dan ia bisa memastikan tak pernah melihat satu pun di antara mereka dua kali.
Demikianlah ia hanya memandang sensasi bidadari di samping kotak telepon umum, menatapnya tanpa berkedip, membayangkannya dimuntahkan begitu saja dari knalpot mobil. Ia suka ekspresi cerdas tatapan di balik kaca matanya, dan caranya bergerak seperti menarikan tarian badai. Ia agak malu ketika gadis itu memergokinya tengah memandang dengan cara seperti itu.
Tatapannya begitu menikam, dan si gadis juga sama salah tingkahnya. Sebuah nasib tampaknya tengah ditulis untuk mereka, dan si pemilik mata tua, bukannya berpaling untuk menginsafi kelancangannya, tapi malahan terus memandangi si gadis. Kedua bola matanya, yang nyaris tersembunyi di gelambir kelopak mata serta alis putih menjuntai, begitu tenang merenunginya. Memandangnya dengan cara yang sama seekor kucing yang terpesona oleh kemilau warna kupu-kupu. Satu kesenangan aneh meluap dari ususnya, dan dadanya begitu bergemuruh melihat reaksi canggung bidadari itu. Ia bahkan berpikir, seandainya ia tak pernah berjumpa dengan perempuan yang telah dicintainya selama enam puluh tahun itu, ia akan memilih si gadis sebagai tempatnya jatuh cinta.
Si gadis, mencoba mengatasi kecanggungannya, kembali menarikan tarian badainya. Ia berjalan ke samping kotak telepon dengan langkah dibuat-buat, bicara kepada lelaki di dalam yang tampak tak peduli, namun beberapa kali matanya menoleh dan mengintip si lelaki tua penyendiri di bangku taman. Ia kembali berjalan menjauh dengan kedua tangan di saku jins, wajahnya menunduk, dan berhenti enam langkah dari kotak telepon, tepat pada ujung terjauh dahan bunga kertas. Ia tampaknya berusaha mengumpulkan semua amunisi untuk menyerang balik tatapan jatuh cinta lelaki tua itu, balas memandangnya dalam serangan penuh pasukan kavaleri, sambil terus bicara kepada teman lelakinya. Kini mereka saling memandang, begitu lama dan khusyuk, bagai sepasang kekasih menunggu salah seorang dari mereka terperosok dalam berahi. Jelas bahwa keduanya bukan petarung-petarung yang hebat. Tak tahan oleh serangan panas yang meluber dari mata kemilau si gadis, Mardio akan menunduk merenungi payungnya, sebelum ia mengangkat wajah dan kembali terpikat oleh kecantikannya. Dan begitu pula si gadis, beberapa kali ia menoleh kepada si lelaki di kotak telepon, tidak sungguh-sungguh untuk melihatnya, tapi untuk mendamaikan api kemarahan di dada atas lelaki tua mata-keranjang itu, sebelum memandangnya balik dengan api yang makin membara: namun itu membuatnya semakin cantik dan memesona.
Pertarungan tak terdamaikan itu terus berlangsung sampai si pemuda di kotak telepon keluar. Si gadis berlindung di balik lelaki itu, tampaknya benar kekasihnya, dan mulutnya terus mengeluarkan kata-kata. Jelas ia tak sedang bicara mengenai lelaki tua penyendiri, tapi tentang hal lain yang ia sendiri tak tahu, hanya agar tampak bahwa ia tak peduli pada apa pun kecuali kekasihnya. Jelas sekali itu tak benar. Sementara mereka berjalan dan mulut cerewetnya tak mau berhenti, beberapa kali ia mencuri pandang kepada si lelaki tua yang masih memandangnya dengan tatapan kesedihan.
Hiburan sore itu tampaknya akan segera berakhir, sebagaimana gadis-gadis cantik lain tak pernah ditemuinya kembali. Ia melihat kekasih si gadis membuka pintu mobil permen kecil dan menghilang di balik kemudi. Si gadis masih berdiri di samping pintu, menatap si lelaki tua. Mardio menatapnya dan dalam hati ia ingin berkata, jangan pergi, Cantik.
Tapi Si Cantik berbaju biru tua itu harus pergi, masuk ke dalam mobil permen, meskipun ia masih balas memandang dari balik kaca. Kemarahannya telah lenyap, berganti kehangatan dan satu rasa penyesalan bahwa mereka harus berpisah tanpa keyakinan akan bertemu kembali. Mereka bertukar kesedihan.
“Berbahagialah, Cantik,” kata Mardio. Satu arus bawah sadar mendorongnya melambaikan tangan ketika mobil permen bergerak.
Di luar dugaannya, si gadis balas melambaikan tangan, dan bahkan ia tersenyum begitu manis, sebelum lenyap ditelan belukar kota. Si tua itu nyaris menangis oleh kemewahan agung seperti itu.
Gerombolan ajak di langit semakin banyak, dan mereka mulai menyalak satu sama lain. Itu menambah-nambah kesedihannya. Arlojinya menunjukkan pukul empat lewat enam menit waktu radio republik, dan ia harus segera pulang sebelum semua ajak itu kencing dahsyat dan menenggelamkan kota dalam rawa-rawa. Nada pertama hujan kemudian mulai terdengar di dedaunan dan atap gedung, sebelum bergemuruh bertalu-talu, dan tiba-tiba semua orang meletakkan apa pun ke kepala mereka: tas, buku, mantel, telapak tangan atau bahkan anjing, sambil berlarian menuju wajah toko terdekat.
Mardio tua telah membuka payung bumbu masaknya, melindunginya dari kencing ajak-ajak, dan berjalan pulang dengan langkah cermat, sambil mengenangkan kembali lambaian tangan dan senyum manis si gadis berkaus biru.
Bagaimanapun, ia tak pernah melambaikan tangan kepada seorang gadis asing kecuali kepada perempuan yang dicintainya bertahun-tahun itu saat mereka belum begitu saling mengenal, dan ia tak pernah memperoleh balasan bahkan dari perempuan itu kecuali dari si gadis yang diculik mobil permen tadi. Dan tak satu pun gadis-gadis cantik yang dikaguminya dalam tahun-tahun ia hidup, pernah tersenyum begitu manis seperti Si Cantik. Kereta tua yang berjalan kesetanan bergemuruh di dadanya, dan ia bertanya-tanya apakah ia telah jatuh cinta lagi, dan apakah gadis itu jatuh cinta kepadanya.
Mungkin benar kata psikolognya, bahwa ia harus melupakan perempuan itu, dan memulai hidup baru. Di rumah ia masih memikirkannya, sambil mempersiapkan makan malam dan memberi ayam-ayam kampung peliharaannya dedak jatah sore mereka sebelum memenjarakannya di kandang. Ia menghangatkan nasi dan membuat omelet, dan terus memikirkan si gadis yang tersenyum dari balik kaca mobil. Kegelisahannya malam itu hanya bisa dibandingkan dengan bocah-bocah puber yang memperoleh kencan pertama mereka, dengan arus linu mengalir di seluruh tubuhnya. Dan ia mulai menggigil, melolong, mengingat perempuan itu sesering mengingat si gadis. Ia menelan obat tidurnya, yang sia-sia, dan menghabiskan subuh di kamar mandi untuk buang tahi dan merenung.
Ketika dunia telah terbakar begitu hangat dan ia terbangun dari tidur yang sangat sejenak, kerinduan kepada gadis itu demikian meluap-luap. Ia berendam di air hangat sambil minum susu penuh kalsium, menyemprot tubuhnya dengan parfum pemakaman sebab itulah satu-satunya yang ia miliki. Dengan mengenakan mantel dan menenteng payung bumbu masak, ia pergi ke taman lebih cepat dari biasanya. Langit begitu bersih setelah hujan badai semalam, terhampar seperti tirai lembut. Ia duduk di kursinya yang kemarin, mulai berharap mobil permen itu datang dan si gadis kembali berdiri di samping kotak telepon.
Si tua menunggunya sampai kota dibakar cahaya lampu, namun percayalah, tak ada peristiwa terjadi sama dua kali.
***
Ia lahir di gedung bioskop ketika ayah dan ibunya tengah menonton film Melatie van Java yang baru muncul di kota mereka setelah lima tahun pembuatannya. Jadi demikianlah bagaimana kemudian ia diberi nama Melatie. Mereka keluarga kecil, bahagia, dan kaya. Penggemar film dan Opera Stambul, serta rumah bola. Di masa pendudukan Jepang, hidup sesulit setan, tapi keluarga itu bertahan dalam kesenangan mereka, misalnya melihat film yang sebenarnya tak banyak. Pada umur sepuluh tahun, Melatie didampingi kedua pengawalnya itu, melihat film yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup: Terang Boelan. Bukan karena ia memuja Miss Roekiah dan Raden Mochtar, pemain-pemainnya, dan bukan pula pada kenyataan bahwa film tersebut masih demikian populer setelah enam tahun menghasilkan banyak uang, tapi karena untuk pertama kali ia bertemu dengan lelaki yang akan terus merongrongnya seumur hidup.
Ia mengenal namanya kemudian: Mardio. Seorang bocah empat belas tahun yang mengangkang di pintu bioskop mencabik-cabik tiket masuk.
Sejak pandangan pertama, ketika ia menyerahkan tiket dikawal kedua orang tuanya, ia tahu bocah itu telah jatuh cinta kepadanya. Pandangannya menjilat, dan untuk sejenak ia tampak seperti anjing tolol, seolah belum pernah melihat gadis cantik di dunia. Mardio memandang ayahnya, ibunya, dan kembali kepada dirinya, tangannya bergetar mengeluarkan keringat dingin. Ia tak sanggup mencabik tiket itu, hingga ketika seorang pengantri menggerutu, ia harus menyobek dengan menggigitnya. Kenyataannya, pada umur sepuluh tahun, Melatie berarti gadis montok dengan rambut mie, tumbuh lebih cepat dari tanaman jagung hingga benjolan di dadanya bahkan mulai tampak provokatif. Mardio hanya satu dari beberapa lelaki yang dibuat gila pada pandangan pertama, tetapi mungkin hanya lelaki inilah yang terus bertahan dalam kegilaannya.
Sebagaimana kemudian ia menduganya, bocah itu menguntit mereka saat pulang. Ia seperti terbang, bersembunyi dari satu pohon ke pohon lain, dari dinding rumah ke dinding pagar, merunduk dan meluncur seperti babi. Rumah mereka tak begitu jauh, hanya sepeminuman teh berjalan kaki, dan ketiganya tahu belaka ada ninja amatir menguntit mereka.
Kenyataannya, bocah itu hanya ingin tahu di mana mereka tinggal. Namun tak lama kemudian, setelah ia mengetahui nama si gadis kecil entah dari mana, ia mulai mengirim satu badai puisi yang dikirim dengan semua cara yang memungkinkan. Jelas bahwa ia bukan penulis puisi yang baik, meskipun berusaha tampak romantis, dan semua puisi yang ditulis tangan secara amburadul itu tak lebih dari kutipan percakapan film yang mungkin pernah ditontonnya. Lima kali sehari, seekor merpati pos jinak hinggap di jendela kamar Melatie dan melemparkan kertas-kertas kecil berisi puisi-puisi jiplakan tersebut, yang tanpa malu-malu diakhiri dengan tanda tangannya sendiri: Mardio.
Bocah itu tampaknya memang tak bermaksud merahasiakan dirinya, juga hasrat sesungguhnya, sebab kadang-kadang ia menyerahkan surat-surat itu langsung setelah menunggu berjam-jam di bawah pohon belimbing di samping rumah si gadis, selain menitipkannya kepada tukang pos atau melalui kantor telegram. Semuanya puisi-puisi cinta tak malu-malu, dan lama-kelamaan ia bahkan mulai menuntut si gadis untuk membalas puisi-puisinya, yang tak pernah digubris Melatie. Begitu pula ketika akhirnya ia mengirim surat dan memuntahkan nafsunya bahwa ia mencintai gadis itu, Melatie hanya membacanya sekilas sebelum menjadikannya alas mencari kutu.
Melatie tahu lelaki ini tak akan menyerah, tak peduli langit runtuh, meskipun ia belum menyadari cintanya tak bisa dibunuh oleh apa pun.
Kisah cinta mereka yang tak harmonis itu nyatanya tetap berlangsung, bahkan di masa-masa perang yang kemudian datang. Bocah itu kemudian memang jarang muncul, desas-desus ia bergerilya, namun puisi-puisinya tetap datang, kali ini bukan puisi-puisi cinta cengeng, namun sedikit revolusioner. Tak ada film, dan bioskop-bioskop jadi sarang gerilya dan dedemit, Melatie lebih banyak tinggal di rumah, dan diam-diam mulai merindukan lelaki itu.
Duduk di balik jendela menunggu merpati pos datang menjadi satu-satunya hiburan, sambil menghitung suara senapan dan meriam, serta lolongan ajak.
Kini ia telah berumur enam belas tahun, gelisah oleh kenyataan bahwa semua lelaki sedang pergi berperang. Ia masih montok, dengan dada sebulat bola sepak, merindukan kencan yang tak datang-datang. Duduk di balik jendela, meratapi petir yang bergulung di jalan, berharap seekor kelelawar mencium dan menghisap darahnya. Merpati pos itu tak pernah datang lagi, setelah berminggu-minggu, dan ia tak memperoleh puisi-puisinya lagi. Ia jadi rindu, meskipun ia tak yakin bakalan membalas cintanya, dan sama sekali tak berharap lelaki itu mati dimakan biawak di hutan gerilya.
Tapi ketika perang berakhir, lelaki itu tak juga muncul. Mungkin benar-benar dimakan biawak, atau sanca. Badai kupu-kupu melanda kota, dan orang-orang bernyanyi, hanya Melatie yang tampak tak berbahagia. Ibunya berpikir ia sungguh-sungguh telah lumer oleh cinta lelaki itu.
Hingga di suatu sore yang merah, Mardio muncul meninggalkan sosok bocah ingusannya di hutan gerilya. Ia mengenakan sepatu, pantalon cokelat, kemeja gading dan rompi serta topi pet, belakangan baru diketahui semua itu pinjaman dari penjaga pegadaian. Cintanya masih bergemuruh seperti dulu, dan tatapan matanya semakin mesum. Ia datang dengan sekarung puisi, yang tak sempat dikirimnya karena ia ditahan Belanda, dan membuat kerinduan si gadis tiba-tiba lenyap berganti kemuakan. Dan ia semakin muak ketika lelaki itu mengeluarkan sekeranjang bunga, yang dipetiknya di sepanjang jalan. Ketika Mardio mulai merayunya, ini juga dikutip dari percakapan di film-film yang dilihatnya sebelum perang, Melatie pura-pura menguap dan menggeliat, hingga akhirnya pura-pura tertidur di kursi dan pura-pura bermimpi tentang sepiring sate kelinci. Namun ketika Mardio memperlihatkan dua tiket bioskop, ia tak bisa menyembunyikan gejolak nafsunya. Bagaimanapun, perang telah membuatnya kehilangan kontak dengan bioskop, dan kini tiba-tiba lelaki itu datang memperlihatkan dua tiket. Mardio meyakinkannya bahwa bioskop telah dibuka, dan film-film telah dibuat kembali.
Itulah kencan pertama mereka. Seekor jago dua puluh satu tahun menggiring betina tujuh belas tahun, datang untuk melihat Darah dan Doa. Mengira bahwa ia telah memperoleh kesempatan paling sempurna, saat ia mengantar si gadis pulang, Mardio berkata kepadanya, tanpa malu-malu dan sejelas ayam berkokok:
“Nona, maukah kau jadi istriku?”
Dengan penuh kepastian Melatie menjawab, “Tidak.”
Meskipun begitu, sekali lagi, Melatie tahu lelaki ini tak akan menyerah.
Berminggu-minggu setelah itu, tentu saja masih ada puisi-puisi dan kiriman bunga, rayuan dan bahkan kencan di bioskop, tapi Melatie tak pernah membalas cintanya. Ia tampaknya sedikit kurang ajar, memperalat lelaki yang belakangan bekerja di bioskop sebagai pengawas penjualan tiket, hanya untuk film baru. Mardio bukannya tak tahu, tapi keyakinan palsunya terus-menerus berkata gadis itu pada akhirnya akan takluk.
Demikianlah mereka akan melihat film di kegelapan, duduk bersebelahan, sambil makan kacang rebus, saling membisu. Dan Melatie sesungguhnya tak sejahat itu. Baginya jauh lebih baik lelaki itu tak pernah memberinya apa pun, puisi maupun tiket bioskop, dan ia tak perlu terus mengulang penolakan cintanya. Menonton film berdua pada akhirnya seperti gencatan senjata: yang satu dengan harapan bisa menyerang lebih lanjut, yang lain dengan harapan tak akan pernah ada gempuran cinta yang lain.
Sekali dua, ada juga ia memikirkan untuk menyerah dan menerima cintanya. Di malam-malam jahanam, ketika bulan dan bintang dibuat berantakan oleh topan sapu penyihir, dan udara menjadi sungai ganas yang menenggelamkan apa pun, si gadis tidur di balik selimut dengan napas mendengus-dengus pertanda ia berpikir lebih keras dari para bijak pandai. Tidak, sesungguhnya ia tak punya alasan apa pun untuk menolak lelaki itu, sebagaimana ia tak punya alasan untuk menerima cintanya. Perkara itu tampaknya berat untuk direnung-renung, membuatnya mandi keringat dan mendengus lebih kencang dari babi, sebelum membuka semua pakaiannya yang kuyup. Duduk telanjang di depan cermin, mengelus pipi dan dadanya dalam sentuhan lembut iblis, ia bertanya-tanya, tubuh inikah yang diinginkan lelaki itu. Ketika badai sapu penyihir berubah menjadi nyanyian malam yang mengentak-entak, ia menari, dengan tangan terentang berputar-putar seperti kincir angin, membuat kamarnya meluap dalam banjir keringat. Ia jatuh tertidur di lantai, nyaris mati tenggelam, dan bermimpi lelaki itu membeli tubuhnya dengan selembar tiket bioskop.
Ia bangun ketika cacing hampir punah dimakan burung-burung, dan meyakinkan dirinya bahwa ia bisa menerima cinta lelaki itu. Tapi itu tak pernah terjadi, disebabkan ledakan cintanya kepada lelaki lain.
Pada suatu malam, sebagaimana malam-malam kencan mereka yang lain, setelah satu jam di restoran, Melatie menantinya di depan pintu bioskop sementara Mardio menyelesaikan urusannya dengan para penjual tiket. Seorang bocah belasan tahun, berdiri di depan pintu, mencabik-cabik tiket, mengingatkannya kepada si Mardio kecil. Saat itulah seorang lelaki tiba-tiba berdiri di depannya. Tampak bagai setinggi dewa, membuat Melatie mendongak, dan melihatnya tersenyum. Ia mengenakan jas gading, dan pantalon sewarna. Ia mengisap cerutu. Ia tampan dan sekukuh banteng. Wangi lavender menguap dari lipatan tubuhnya. Ia seperti dua galon arak memabukkan, hingga ketika lelaki itu menawarinya menjadi pendamping masuk bioskop, ia jadi sejinak anjing kampung. Mereka masuk beriringan, bagai adegan terakhir pertemuan putri dan pangerannya yang penuh kebahagiaan. Orang-orang mestinya menangis terharu, tapi hanya Mardio yang menangis karena terluka, dan hatinya porak-poranda. Berdiri mematung di belakang mereka, ia ambruk menjadi gumpalan daging.
Hari-hari selanjutnya adalah hari penuh kebahagiaan bagi Melatie, dan penderitaan untuk Mardio. Aha, memang begitulah selalu.
Lelaki itu, yang kemudian diketahui bernama Raden (semua orang tahu itu sebenarnya gelar dan bukan nama, tapi karena ia disebut begitu, maka demikianlah namanya), datang dimuntahkan laut. Ia telah mencoba membayar semua pengkhianatan yang telah dilakukan nenek moyangnya, yang menjadi pribumi-pribumi kaya di masa kolonial dan terakhir bisa melemparkannya ke sekolah-sekolah terbaik di negeri Belanda dan menghadiahinya kecakapan seorang dokter, dengan membuka praktek pengobatan cuma-cuma bagi penduduk miskin di kota itu. Dengan cepat ia menjadi musuh semua dokter, dan berhasil menghindari serbuan mereka dalam lindungan nama keluarga. Sebaliknya, bagi orang-orang miskin ia mulai menjadi dewa, dan bagi gadis-gadis, ia menjadi bulan sepotong pucat cemerlang. Mereka tergila-gila kepadanya, jatuh cinta tak malu-malu, dan salah satu dari mereka adalah Melatie, yang dikunjungi sang dokter seminggu sekali dalam kencan Sabtu malam.
Dibuat panas oleh cemburu yang mendidih, Mardio mulai menerornya dalam tingkah yang nyaris seperti orang hilang akal. Ia akan mencegatnya di tengah jalan, berlutut di depannya, dan menangis, sebelum sadar si gadis telah meninggalkannya. Dalam sebuah pertemuan, ia akhirnya menginsafi bahwa dokter itu bagaimanapun lebih baik daripada dirinya: tampan, kaya, dan pemurah. Tapi ia berkata dalam satu kepiluan yang menyesakkan hati, seandainya semua bioskop itu milikku, katanya, tak akan seorang pun harus membeli tiket. Melatie dibuat terharu mendengarnya, dan percaya sepenuh kata-katanya, tapi benar, ia telanjur jatuh cinta dengan sang dokter, dan fakta ia belum juga menemukan alasan untuk mencintai lelaki di depannya.
Hubungannya dengan si dokter berjalan selurus jembatan nasib. Melatie kemudian bekerja di tempatnya, membantu bicara dengan orang-orang miskin yang kehilangan kata-kata untuk menyebut penyakit mereka. Orang-orang itu datang untuk batuk-batuk tak tersembuhkan, asma yang membuat orang mati berkali-kali, dan bahkan mimpi buruk. Semuanya dilayani dengan keramahan tipikal para dokter, dan membuat Melatie sibuk memberi jiwa-jiwa putus asa itu satu dua penghiburan. Tak ada yang lebih pasti dari kematian, katanya selalu, dengan senyum memabukkan itu, setiap seseorang berpikir akan mati. Ia membagi-bagikan kebahagiaan hatinya, yang ia peroleh dari banjir cinta kepada sang dokter.
Rutinitas itu berakhir pukul lima sore, setelah melakukannya tanpa henti sejak siang. Mereka akan duduk sejenak di beranda, memakan biskuit dan minum teh sambil membicarakan bintang jatuh. Ketika serbuk sihir kegelapan mulai mengapung, sang dokter mengantar gadis itu pulang, dan di sepanjang jalan mereka harus menghadapi orang-orang yang keluar dari lorong-lorong kumuh kota untuk mengucapkan terima kasih atas apa yang telah atau akan dilakukan dokter bagi mereka. Restu pertama hubungan kedua orang itu tampaknya datang dari mereka, bahkan sebelum Dewi Amor sendiri mengiyakannya. Keduanya berjalan sambil berbagi senyum, dan mengulum gula-gula. Dan di akhir pekan, mereka akan pergi ke bioskop, tempat mereka akan menambah-nambah kayu bagi api cemburu di jiwa seorang anak manusia.
Di akhir umur sembilan belas tahun, sang dokter melamarnya secara baik-baik, dan Melatie meledak dalam kegembiraan. Mencoba menghalangi perkawinan paling mengerikan dalam hidupnya, Mardio mengancam akan bunuh diri jika mereka berdua berani menghadap penghulu. Dengan ketenangan yang menakjubkan, Melatie hanya berkata, kau tak mungkin bunuh diri. Itu benar, cinta lelaki itu kepada si gadis yang justru tak mencintainya, menghalangi dirinya dari melakukan tindakan konyol membunuh diri sendiri. Sebaliknya ia terus berusaha untuk hidup, sekadar menambah-nambah kesempatan suatu waktu akhirnya ia bisa memperoleh cintanya.
Demikianlah, berbeda dengan orang-orang yang dikutuk patah hati, Mardio sama sekali tak kehilangan selera makan, dan tak mencoba sedikit pun menyiksa diri. Sebaliknya, ia berusaha hidup sesehat mungkin, mulai minum susu penuh kalsium, menghindari lemak yang berlebihan sebagaimana ia berhenti merokok dan minum alkohol. Ia bahkan berenang seminggu sekali, main bola di setiap Jumat sore, dan yakin ia masih akan tetap hidup seandainya ia harus menunggu seratus tahun menemukan cinta sejatinya.
Di luar dugaan Melatie, ia menemukan ketenangannya yang luar biasa menghadapi perkawinan gadis yang dicintainya. Namun jelas bukan berarti Mardio telah putus asa. Lebih dari itu, ia menjadi seorang martir kurang ajar yang hendak membuktikan cinta sucinya tak tergerus apa pun, tak rusak oleh patah hati sekali. Jika gadis itu harus kawin dengan si dokter, mungkin itulah nasib yang harus dihadapinya. Tapi ia percaya, di atas semua topan badai, ia masih bisa berharap, paling tidak memperoleh perempuan itu sebagai janda. Selalu ada kemungkinan sebuah perkawinan jadi remuk, sebagaimana kemungkinan seorang suami bisa mampus. Itulah mengapa ia demikian tenang menghadapi hari ketika saat perkawinan Melatie dan sang dokter semakin dekat.
Bagi Melatie sendiri, ketenangan itu sangat mencurigakan. Ia jadi menderita oleh pikiran bahwa ia telah menjahati seseorang yang telah menguburnya hidup-hidup dengan cinta. Ia pernah mendengar nasihat-nasihat tua tentang perkawinan, yang menyarankannya untuk tidak kawin dengan orang yang ia cintai, tapi dengan orang yang mencintainya. Pikiran itu sejenak mengganggunya, dan ia bicara dengan sang dokter mengenai lelaki yang telah jatuh cinta kepadanya sejak ia berumur sepuluh tahun, dan tampaknya tak akan berakhir sampai seratus tahun kehidupan dunia yang akan datang. Si dokter sungguh-sungguh lelaki bijak keparat. Ia tak menutup kemungkinan pembatalan perkawinan, seandainya Melatie memutuskan untuk meninggalkan dirinya dan menerima lelaki dengan cinta melimpah-limpah itu. Tapi bagaimanapun, pada akhirnya Melatie tetap memilih untuk kawin dengan si dokter.
Sehari sebelum perkawinannya, Melatie memutuskan datang menemui Mardio dengan harapan bisa berdamai dengannya, dan mengakhiri semua kesia-siaan cinta mereka. Ia berharap lelaki itu menginsafi bahwa cintanya omong kosong, bahwa ia tak mungkin menerima cintanya, dan bahwa ia akan mengawini lelaki lain, sebagaimana telah ditulis di undangan yang diberikannya kepada Mardio.
Lelaki itu hanya menggeleng sedih. “Apa pun yang terjadi, aku tetap mencintaimu,” katanya penuh kepastian, “dan percayalah aku akan menunggu.”
***
Di perempatan jalan, sebuah baliho berkelamin ganda sebesar separuh lapangan voli ambruk ke jalan oleh topan sesaat. Pada saat yang bersamaan, seorang nenek tua dan cucu kecilnya keluar dari supermarket, menyeberang jalan, dan seperti penepuk lalat, baliho itu berhasil menghajar mereka. Keduanya mampus, dan tragedi itu dengan segera mengundang orang-orang berdatangan untuk melihat sensasinya. Taman menjadi sepi, tak ada orang di sana kecuali si lelaki tua, yang tak pernah menganggap tragedi sebagai benda tontonan.
Telah delapan belas sore ia di sana menunggu gadis cantik berkaus biru tuanya, dan selama itu ia tak pernah melihatnya lagi. Setelah enam puluh tahun bersetia kepada sebuah cinta, kini delapan belas hari ia menunggu gadis yang bahkan tak ia kenal namanya: apakah ia tengah memperlihatkan ketololannya yang lain, hanya Tuhan dan dirinya yang tahu.
Mobil derek dan ambulans yang meraung-raung lewat saat ia tengah merenungi ketololannya. Ia teringat kepada psikolognya, dan berpikir mungkin kehidupan baru bukan berarti si gadis berkaus biru tua. Sebagaimana ia pelajari dari semua film yang dilihatnya, tak ada cinta dalam pertemuan sejenak seperti itu. Ia harus mempersiapkan sebuah kencan intensif, makan malam sporadis, komunikasi lewat telepon, hadiah-hadiah dan janji-janji serta tamasya-tamasya meriah, untuk suatu hubungan yang serius. Tanpa itu jangan harap menjalani kehidupan baru dengan seorang kekasih. Matanya tiba-tiba menyala menyilaukan, seolah ia baru menerima wahyu langsung dari surga.
Namun tiba-tiba ia terjerembab dalam keputusasaan yang sama. “Masalahnya,” ia berkata kepada diri sendiri, “gadis mana yang akan kuajak kencan.”
Baliho ambruk itu telah dibersihkan mobil derek dan kedua mayat nenek dan cucunya telah dibawa ambulans. Orang-orang mulai meninggalkan tempat tragedi tersebut, dan sebagian mulai memenuhi kembali taman. Seorang bocah kecil melayang dengan kepala di bawah meluncur dengan skateboard, dan bocah lain melompati pohon-pohon palem dengan sepeda mini mereka. Seorang pengamen menyanyikan lagu keroncong dari masa revolusi di sudut lain.
Dan beberapa gadis cantik juga mulai berdatangan. Mereka muncul bergerombol, atau bersama kekasih mereka, dan tak seorang pun sendirian. Namun tiba-tiba ia kehilangan seleranya kepada gadis-gadis itu. Semuanya kecantikan palsu, pikirnya. Seperti bintang-bintang film dan iklan di televisi, mereka begitu dekat namun tak tersentuh. Ia mendengar dua orang anak kecil menceritakan tragedi nenek dan cucunya itu menurut versi mereka sendiri-sendiri, dan ia berpikir mengapa tidak dirinya yang berjalan menyeberang dan dihantam penepuk lalat raksasa itu. Jika ia mati, segalanya akan berakhir, dan terutama tak akan ada seorang pun yang bersedih karenanya. Tidak, justru karena itu ia tak ingin mati. Ingatannya kembali kepada perempuan tua bernama Melatie, dan tiba-tiba berpikir bahwa iblis dan setan tengah menghancurkan cintanya perlahan-lahan dengan menyodorkan gadis cantik berkaus biru. Dan mereka menyamar jadi psikolog bangsat. Itulah awal bagaimana ia mencoba melupakan gadis berkaus biru tua setelah delapan belas sore, juga gadis-gadis lain, dan kembali kepada kesetiaan cintanya yang telah berumur enam puluh tahun. Ia bertekad untuk memperoleh cinta Melatie, setelah itu ia akan tenang menghadapi kematian.
Mengingat kematian membuatnya bertanya-tanya, mengapa dokter itu, suami Melatie, tak juga mati pada umurnya sekarang. Ia telah mengharapkannya sejak lima puluh tahun lalu, dan mulai curiga dokter itu telah menemukan obat yang tak akan membuatnya mampus dalam seratus tahun. Dan ia juga bertanya-tanya kapan ia sendiri akan mati. Ia telah hidup begitu menderita oleh penantiannya, dan berharap memperoleh kebahagiaan sebelum mati.
Ia telah menyaksikan gambar-gambar menyakitkan itu secara langsung: perkawinan yang berbahagia, diikuti percintaan penuh lolongan di malam-malam pengantin membuat jin terbangun dari tidur abadi mereka. Keduanya tinggal di rumah sisa kolonial, dengan hantu kemakmuran bersama mereka, dan anak-anak mulai dilahirkan seperti tikus di musim panen. Mereka memelihara anjing-anjing sebanyak pelayan rumah, dan kucing serta burung beo yang bisa berkhotbah, dan tak lama kemudian mulai mengantar anak-anak ke sekolah, melindungi mereka dari serangan jahat kalkun-kalkun pengisap darah. Anak-anak itu begitu tampan dan cantik, dan secepat mereka tumbuh, anak-anak itu mulai menemukan teman-teman kencan mereka. Ia masih mengingat bagaimana mereka memenuhi bioskop tempat kerjanya, meninggalkan sisa bungkus kacang goreng dan tisue lecek serta noda percintaan di permukaan kursi. Satu per satu mereka juga kawin, dalam pesta-pesta pernikahan yang juga berbahagia, menempati rumah-rumah berhantu tapi penuh kemakmuran pula, meskipun malam pengantin mereka tak segaduh nenek moyangnya: begitu cepat dan ringkas seperti unggas. Mereka memberi Melatie dan si dokter gerombolan cucu, dengan wajah jiplakan dari mangkuk agar-agar, dan cucu-cucu mulai sekolah, kini dilindungi dari malaikat-malaikat anarkis kanibal. Mardio kembali menyaksikan gerombolan keluarga itu memenuhi bioskopnya, dalam pesta remaja, meninggalkan kaleng Coca Cola dan kondom sisa pakai: mereka semakin bijak dari generasi ke generasi.
Selama itu bukannya ia tidak mencoba menghancurkan kebahagiaan mereka, dan merebut keluarga itu menjadi miliknya, namun ia selalu gagal. Ia masih menemui Melatie dalam kesempatan-kesempatan yang sempurna, menyatakan cintanya dengan cara yang semakin fasih, namun Melatie selalu siap dengan penolakan yang juga sama.
“Paling tidak, berselingkuhlah denganku,” katanya suatu ketika, memerosotkan dirinya sendiri dalam degradasi moral tanpa ampun.
“Jika ada alasan untuk berselingkuh denganmu,” kata Melatie, “kita punya alasan yang sama untuk kawin sejak dulu.”
“Kenapa kau tak pernah bisa mencintaiku?”
“Katakan dulu, mengapa kau mencintaiku?”
Ia tak pernah bisa menjawab pertanyaan itu. Cintanya buta, dan tanpa alasan apa pun. Mungkin karena tubuh perempuan itu, yang montok dengan dada aduhai. Tapi bahkan jika perempuan itu menguruskan badannya, ia tetap mencintainya, sebagaimana saat ini ketika si nenek tua mulai kehilangan gelembung di dadanya. Ia hanya tahu cacing-cacing mulai memberontak di jantungnya setiap kali mengingat perempuan itu, sebagaimana pintu dan jendela dan kursi tiba-tiba tampak seperti rongsokan. Karena ia tak pernah bisa menjawab secara pasti mengapa ia mencintai perempuan itu, Melatie di sisi lain, juga tak pernah tahu mengapa dirinya tak pernah bisa membalasnya.
Bagaimanapun, perkawinan mereka suatu ketika nyaris hancur.
Makan siang Mardio selalu dilewatkan di kedai langganan tak jauh dari bioskop. Suatu hari yang memabukkan, seperti biasa Mardio pergi ke sana. Itu bukan jenis kedai yang ramai, dikenal orang sebagai kedai para bujangan. Pelanggannya persis orang-orang seperti dirinya, atau siapa pun yang tak menyukai keramaian. Ada seorang penulis, jelas bukan bujangan sejauh yang ia kenal, yang sering datang ke sana dan menghabiskan waktu berjam-jam di meja untuk menulis. Dua novel telah diselesaikannya di sana, dan kini ia tengah bersiap untuk yang ketiga. Ia tak pernah melihat sebuah keluarga atau gerombolan gadis-gadis datang ke tempat itu, kecuali gadis berwajah ingin bunuh diri, atau seorang veteran. Maka ketika hari itu ia melihat seorang lelaki datang dengan seorang gadis dalam sikap pasangan kencan, ia agak terkejut, dan yakin pelanggan yang lain juga sama takjubnya.
Ia mengenali lelaki itu dan bersyukur lelaki itu tak mengenalinya: si dokter suami Melatie. Mereka tak saling kenal, tapi Mardio telah sering melihatnya, sengaja atau tidak. Yang datang dengan si dokter adalah seorang gadis dua puluh tahun dengan kecantikan gadis-gadis sales rokok, dengan tubuh yang jangkung, jas kantor warna merah dengan dada rendah, serta rok mini yang memungkinkannya duduk di kursi putar senyaman seandainya ia tak mengenakan apa pun. Prasangka-prasangka buruk, serta harapan keji, membuatnya segera menyimpulkan mereka tengah berselingkuh, dan kedai ini, bagaimanapun tempat sempurna untuk melakukannya. Mardio nyaris meledak dalam gairah yang tak terkendali.
Jelas ia bisa membuktikan perselingkuhan itu, dan bahagia akan penemuannya. Ia mulai menghitung-hitung bintang, dan meramalkan sebagaimana para astrolog, kapan perkawinan itu akan remuk. Ia telah mulai mencium bau bangkai, yang sangat ia nantikan, sebab tak ada lagi yang ia inginkan kecuali tubuh sisa-orang bernama Melatie itu.
Dengan ketekunan seorang pekerja yang pernah melewati belasan tahun sebagai juru tulis bioskop, ia mencatat pengintaiannya atas sepasang kekasih yang lebih sering merasa cemas daripada mesra tersebut. Si gadis ternyata berumur dua puluh satu tahun, dan sungguh-sungguh gadis penjual rokok. Ia menjual rokok apa pun, sebagaimana Mardio telah memperhatikannya. Dengan jas dan rok mini, atau celana panjang sewarna kotak rokoknya, ia bergerombol mendatangi kedai-kedai dan menawari setiap orang dengan rokok yang dibawanya. Ingatannya membawa Mardio kepada kisah si gadis korek api, dan mulai membangun kisah fiksinya sendiri untuk si gadis rokok. Mungkin ia sama yatim piatunya, miskin, dan hanya bermodalkan tubuh indah serta wajah yang cantik—sebagaimana begitulah semestinya gadis rokok. Mardio memberinya aura kesedihan, dan itu membuatnya semakin marah kepada si dokter.
Ia berharap bisa menjadi walinya, untuk gadis beraroma sedih itu, tapi si dokter telah menjadikannya gundik. Ia tinggal di asrama putri yang terbuka, tempat mereka menghabiskan beberapa jam yang mencemaskan. Si dokter biasanya keluar dari kantor saat makan siang, dengan rute yang berbelit-belit untuk menghindari pengintai (tapi Mardio terlalu cerdas untuk dikibuli). Si dokter berhenti di sebuah toko rent-a-car, mengganti mobil, satu tindakan cerdik penyamaran, sebelum ia menjemput si gadis di kantor organisernya. Mereka makan siang di tempat-tempat tersembunyi, salah satunya kedai para bujangan, menyewa video, dan bersembunyi selama beberapa waktu di kamar si gadis.
Si dokter tampak berbahagia untuk semua hari-hari itu, tapi si gadis masih berwarna sedih.
“Aku akan mengakhirinya,” kata Mardio suatu sore pengintaian, “dan kebahagiaan untukku dan Melatie. Dan kau juga, gadis rokok.”
Ia menyodorkan semua pembuktian tersebut kepada Melatie, yang di luar dugaan, menanggapinya dengan cara yang sangat dingin. “Kau semakin menyebalkan. Seandainya dunia hanya kita berdua, aku bahkan tak yakin mau kawin denganmu.” Begitulah kata perempuan itu, membuat kutu-kutu di kepalanya berterbangan gelisah, dan rematik mengguncang lututnya. “Lupakan aku,” kata perempuan itu kemudian.
Tapi Mardio berkeras. Demi setan alas, tak akan ada apa pun yang akan membuatnya mundur.
“Jika aku tak bisa meyakinkanmu bahwa aku mencintaimu, setidaknya beri aku kesempatan meyakinkanmu bahwa saat ini lelakimu tengah meniduri seorang gadis jelita yang tak akan terpuaskan oleh lima batalyon tentara di barak-barak.”
“Apa jaminan atas mulut jamurmu?” tanya Melatie.
“Aku tak akan pernah mengganggumu lagi jika terbukti semuanya skandal omong kosong.”
Tentu saja ia bersungguh-sungguh dengan janjinya, sebab tahu ia bisa memberi kebenaran kepada perempuan itu. Demikianlah bagaimana Melatie mengikuti jejak suaminya, seperti anak pramuka di hutan belakang sekolah, dan bahkan mengintip sendiri jendela kamar si gadis rokok. Mardio tak kehilangan kesempatannya untuk terus menjadi iblis penguntit perempuan itu, satu hal yang menghibur hati, sebab ternyata Melatie tak mau mempermalukan suaminya dengan mendobrak pintu. Sebaliknya, ia pergi begitu saja, sambil menyanyikan Obladi Oblada.
Bahkan meskipun ia telah mengenalnya bertahun-tahun, Mardio masih dibuat heran oleh sikapnya. Perkawinan mereka tampak tak ada tanda-tanda karam, meskipun retakannya telah membuat ikan-ikan berloncatan.
Ia segera mengetahui jawabannya seminggu setelah hari paling membingungkan itu. Ia telah mendengar, mereka akhirnya bertengkar hebat. Tapi sama sekali bukan Melatie yang marah, sebaliknya, justru si dokter. Lelaki itu telah menemukan bukti-bukti tak terbantah bahwa isterinya telah pergi tiga hari tiga malam ke rumah peristirahatan bersama tiga bocah sekolah. Demi setan alas, Melatie telah membalas perbuatan si dokter, dan ia semakin tak mengerti perempuan itu.
Kebingungannya bertambah-tambah sebab pertengkaran itu kemudian berakhir secepat datangnya. Pengakuan dosa telah dibuat, di antara mereka sendiri, dan perkawinan yang bahagia kembali menempati sudut-sudut rumah. Tak ada lagi peristiwa besar setelah itu. Mungkin mereka masih saling mengkhianati, tapi lebih tertutup dan hati-hati. Mardio tak pernah memperoleh umpan yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Ia kembali penjadi penanti yang setia, dengan kepala mulai dipenuhi belukar, dan kulit belang-belang.
Langit telah ditutupi kelambu ketika ia kembali dari perlamunannya. Ia masih duduk di bangku taman, sore kedelapan belas penantiannya atas si gadis berkaus biru tua. Ia tak lagi mengharapkannya, ia hanya menginginkan Melatie di dunia mana pun. Ketika lampu pertama mulai bercahaya seperti banjir, ia memeriksa payung dan mengancingkan mantelnya. Senja itu ia tak ingin segera pulang ke rumah. Mungkin ia akan makan malam di luar, di kedai bujangan atau fast food bersama bocah-bocah periang. Sebelum itu ia hanya ingin pergi ke arah lain dari rute pulangnya, ke rumah perempuan Melatie itu. Ia tiba-tiba demikian merindukannya dan ingin melihatnya.
Ia tak pernah melihatnya kembali hidup-hidup, ia begitu terlambat.
Padahal ia telah berjalan dengan begitu tenang, bersama kaki-kaki tuanya, percaya waktu demikian melimpah bagi mereka. Ia menelusuri trotoar, membeli cokelat untuk cucunya barangkali, dan bunga untuk penjaga rumah, sebab Melatie tak pernah menerima apa pun darinya kecuali tiket bioskop puluhan tahun lalu. Ia bahkan telah membeli hamburger pinggir jalan, untuk membungkam anjing-anjing dan setenang pemangsa ia akan menunggu sekadar untuk melihat wajah perempuan itu. Ia tak bermaksud lama-lama, hanya melihat dan pulang membawanya ke mimpi.
Tapi ia sedikit agak lama di sana.
Rumah itu tiba-tiba dilimpahi begitu banyak orang, seperti pernah terjadi beberapa waktu lalu ketika anak-anak mulai dikawinkan. Deretan mobil diparkir di jalan depan rumah, menyibukkan segerombolan polisi dengan tongkat kuning berpijaran. Orang-orang lalu-lalang membisu, bahkan gadis-gadis begitu merapat kepada ayah atau ibu mereka sambil menutup mulut. Mardio mencoba bergabung dengan gerombolan orang-orang yang baru datang, berharap mendengar seseorang berkata sesuatu dan segera tahu apa yang terjadi. Demi setan, mulut mereka telah dicuri kalong barangkali. Ia harus mengetahuinya sendiri, dan ini tampaknya lebih bijak.
Bagaimanapun ia tahu dari aroma yang dibawa angin bahwa rumah ini tengah berkabung. Dadanya bergemuruh hebat, penuh harap melihat kematian dokter itu. Setelah lima puluh tahun, akhirnya ia bisa melihatnya mati. Tapi ia tak bisa sebahagia itu. Ia juga dibuat khawatir bahwa ia akan menemukan kekasihnya, Melatie, telah mati. Ia tak pernah membayangkan itu, tapi itu sungguh bisa terjadi. Teror tersebut membuatnya berjalan lebih cepat, menerobos orang-orang yang kehilangan gairah, dan berdiri di pintu masuk rumah.
Di ruang tamu ia melihat dua mayat itu. Yang satu sangat jelas adalah mayat Melatie, dan di sampingnya seorang gadis kecil sebelas tahun. Wajah mereka telah dirias, namun tak mampu menyembunyikan tragedi mengerikan tersebut. Wajah keduanya nyaris seperti boneka terbakar, namun Mardio tetap mengenalinya, sebab itu wajah perempuan yang dipujanya selama bertahun-tahun. Ia mendengar anak-anak dan cucu-cucu menangis di sudut-sudut ruangan, dan tamu-tamu mengucapkan belasungkawa. Si dokter duduk di kursi dengan pakaian berkabung. Ia membayangkan semua peristiwa tersebut. Melatie keluar dari supermarket bersama gadis kecil itu, dan mati oleh penepuk raksasa. Semua orang di taman melihatnya, kecuali dirinya. Itu membuatnya sedih sekali.
***
Ia mengupas apel dengan cara memutar tanpa membuat lingkarannya putus. Ia menyukai permainan itu, melakukannya dengan sangat tenang, sambil duduk di kursi para peziarah di bawah pohon kamboja. Pagi ini udara sangat segar, seolah baru keluar dari bungkusnya, dengan ikan-ikan yang berenang di antara dedaunan, tapi ia sama sekali tak bisa menyembunyikan kemurungan dirinya. Inilah lelaki paling malang di dunia, pikirnya, mencoba tampak waras dengan cara mengupas apel secara melingkar.
Dalam tiga hari terakhir ia tak lagi menghabiskan waktu siangnya di taman, tapi di permakaman. Duduk di bangku tak jauh dari kuburan perempuan yang telah dicintainya selama enam puluh tahun. Di luar yang dipikirkannya, kematian perempuan itu sama sekali tak menghentikan cintanya pula, sebaliknya cinta itu semakin menjadi-jadi. Setelah menjadi bangkai, tiba-tiba perempuan itu menjadi setengah dewa, dan ia semakin memujanya. Ia menghabiskan tiga malam penuh insomnia, di mana setelah bertahun-tahun ia menangis begitu menyedihkan dan berdoa dengan serampangan agar Tuhan mengembalikan perempuan itu ke dunia, dengan cara apa pun. Ia tahu itu tak mungkin, kecuali akan menjadi teror bagi orang yang hidup, tapi ia bersikeras perempuan itu bisa hidup kembali didorong oleh cintanya yang meluap-luap. Ia memimpikannya dalam tidur-tidur yang sejenak, dan membayangkannya di waktu-waktu terjaga yang menyiksa. Kadang-kadang ia berharap perempuan itu muncul di sudut kamarnya, tak peduli yang muncul adalah hantu, atau ia telah gila dan mulai berhalusinasi.
Hantu itu tak pernah muncul, dan ia tak berhalusinasi, hingga ia sempat berpikir jahat untuk menggali kembali kuburan perempuan itu dan membuktikan bahwa Melatie tak mati. Namun paling tidak, dalam tiga hari terakhir ia tak mungkin melakukannya. Tempat permakaman tersebut selalu didatangi satu dua peziarah, dan kuburan Melatie sendiri dipenuhi oleh sanak famili yang berduka cita. Bahkan malam hari ia tak mungkin menggalinya kembali, disebabkan gelandangan kota yang banyak tidur di samping batu-batu nisan. Demikianlah kemudian ia hanya duduk di bangku peziarah, mengupas buah apelnya sebagai pengisi waktu, memandangi kuburan Melatie sambil mengenang-ngenang masa lalu. Itu membuatnya semakin murung pada kenyataan bahwa mereka belum juga memperoleh kesempatan berbahagia bersama, tapi jelas ia tak mampu melepaskan kenangan atas perempuan tersebut, betapapun menyedihkannya.
Kemudian ia melihat lelaki itu, si dokter, datang dengan dua anak dan seorang cucu. Berjongkok di depan tembok kuburan, meletakkan bunga, dan mencium nisan. Kelakuannya sangat menyebalkan dan menerbitkan rasa cemburu sang protagonis yang masih duduk dengan pisau dan apelnya. Apalagi kini si dokter itu tak lagi mengenakan pakaian berkabung, dan sebaliknya kemeja putih yang berpijaran seolah ada lampu di setiap sambungan benangnya. Mardio memperhatikannya dari tempat ia duduk, dan seketika menyadari sebagaimana dirinya lelaki itu juga telah beranjak bau tanah, dengan belukar di kepalanya, serta belang-belang di kulitnya. Tapi ia telah memperoleh tahun-tahun yang membahagiakan, dan ia menantikan kematiannya dengan anak-anak dan cucu-cucu. Sementara Mardio akan mati dengan cinta yang tak pernah datang dan dibunuh kesepian yang menggigilkan di hari tua.
“Bagaimanapun inilah biang keroknya,” kata Mardio kepada diri sendiri. Kata-katanya dipenuhi jarum pentul. “Makhluk sesat celaka.”
Ia mulai memotongi buah apelnya dan memakannya perlahan. Kematian Melatie membuat penyakitnya semakin parah. Ada rasa sakit di dada kanannya, dan demam yang tak berhenti selama tiga hari membuatnya menggigil di bawah cahaya kebakaran siang hari. Jangan tanya belalang di kepalanya, yang berdengung dan berkelahi dengan sejenis kecoa besar. Ia tak ingin pergi kembali menemui dokter, juga psikolog. Pernah suatu ketika ia percaya bahwa hanya satu orang dokter yang bisa menyembuhkannya dari segala penyakit. Itu musuh besarnya, dan sampai saat ini, rasanya ia masih memercayai, di tangannyalah obat penyembuh itu berada.
Warisan keluarga yang berupa pabrik mie dan peternakan sapi, membuat si dokter tetap bersetia kepada penebusan dosa leluhur untuk menjadi dokter bagi orang miskin. Ia memindahkan tempat prakteknya ke distrik kumuh, dan memperoleh penghargaan nasional sebagai dokter teladan. Dokter-dokter serakah tak lagi memusuhinya, sebaliknya, mereka memberi dua jam dalam sebulan untuk membantu di tempatnya.
Disebabkan ia tak bisa dikatakan miskin, Mardio tak pernah datang ke tempatnya, selain karena rasa hingar-bingar cemburu. Tapi sejak tak ada dokter yang bisa menemukan apa sumber penyakitnya, dan ia sendiri mulai lelah berperang melawan mereka, pernah juga ia pergi ke sana sambil berpikir, tampaknya hanya dokter menyebalkan itulah yang bisa menolongnya. Ia datang dengan pakaian setengah gembel, mengenakan kaus oblong dengan bagian punggung atas bolong disebabkan terlalu sering digantung di paku, pantalon penuh noda getah, yang hanya Tuhan dan dirinya tahu dari mana ia memperoleh semua itu, juga sandal jepit beda warna.
Ia datang di suatu sore disambut gerombolan pasien dan seorang perawat tua dengan senyum serupa guru taman kanak-kanak. Ia memperoleh nomor antriannya, dan hanya memperoleh undakan trotoar sebagai tempat duduknya. Ia melihat pasien-pasien itu demikian riang, bahkan seorang bocah yang digigit ular belang dan memperoleh prioritas pelayanan masih bisa melawak tentang si ular yang jadi ompong-giginya tertancap di ujung jempol kaki si bocah. Sebagaimana kemudian ia pelajari, mereka tak pernah datang untuk panu atau bisul, juga tidak untuk sakit kepala dan perut. Itu penyakit-penyakit sepele, dan itu membuat si dokter harus menghadapi penyakit-penyakit mencemaskan.
Demi Tuhan, tampaknya ia harus menunggu selama satu jam untuk antrian gila seperti itu. Satu per satu mereka dipanggil, dan satu per satu membutuhkan banyak waktu untuk menceritakan sejarah penyakit mereka. Tentu saja si dokter memiliki rekaman medis pasiennya, dan orang-orang ini belum tentu mengenal baik penyakitnya, tapi mereka terlampau suka membuka mulut banyak-banyak untuk sang dokter. Mereka bahkan mengisahkan tentang tetangga-tetangga, tentang ayah dan ibu di desa yang pernah mengalami sakit sejenis, tentang dukun-dukun, dan bahkan tentang babi ngepet. Mardio berpikir mereka lebih butuh psikolog daripada dokter. Tapi si dokter sudah lama mengerti kebiasaan pasien-pasiennya, dan ia orang sabar keparat. Sebaliknya, ia bahkan melayani dongeng omong kosong mereka, dan sekali dua bertanya, bagaimana kabar anak sapi mereka. Mardio tak pernah melihat yang seperti itu di dokter lain.
Itulah waktu ia menyadari betapa orang-orang mencintai dokter itu. Mereka begitu memujanya, dan seandainya seseorang meletakkan patung si dokter di pinggir jalan, mereka mungkin menyembahnya pula, serta melemparkan sesaji juga. Ketika antrian semakin sedikit dan ia bisa melihat ruang praktek dokter melalui celah tirai, Mardio melihat bagaimana pasien-pasien itu mencium tangan si dokter sebelum pergi. Ia bertanya-tanya, apakah ia pun harus menceritakan kisah hidupnya yang menyedihkan itu sebelum dokter memeriksanya, yang berarti menelanjangi dirinya sendiri, dan setelah itu mungkin ia harus pula mencium tangan lelaki yang telah merebut kekasihnya tersebut. Bayangan itu membuatnya berkeringat dingin, dan sakitnya menjadi-jadi. Ia melihat si dokter seperti malaikat lucu dengan tanduk iblis yang jahat. Ia tak mungkin sanggup menemuinya. Segala hal tentang si dokter selalu hanya akan membuat dirinya sebagai seorang pecundang.
Saat gilirannya tiba, ia telah pergi meninggalkan tempat praktek, berjalan menelusuri trotoar dalam teror bahwa bayangan si dokter terus menempel di punggungnya. Ia melihat seorang perempuan setengah baya duduk di depan toko, pada sebuah kursi goyang, dengan empat belas lintah menempel di kulit cantiknya. Itu membuatnya semakin ketakutan dan tubuhnya menggigil hebat. Ia menemukan dirinya tak berpijak, melayang-layang dan membentur-bentur tiang listrik dan kotak pos, berusaha mati-matian mencapai rumahnya. Seorang jagoan, tepatnya seorang anak dengan kostum Superman menolongnya menemukan pintu rumah sebelum ia tak sadarkan diri.
Ia menenangkan diri di tempat tidur, sementara si bocah jagoan memberinya teh manis hangat kuku. Ia sangat berterima kasih atas kebaikan melimpah-limpah bocah itu, di mana si bocah menirukan kartun di televisi berkata, adalah tugasnya menolong orang kesulitan. Itu membuat Mardio bisa tertawa sedikit.
Mereka ngobrol sejenak, tentang jagoan-jagoan di komik dan film kartun. Bagaikan menghadapi pendeta penebusan dosa, Mardio bercerita kepada bocah itu betapa hidupnya telah longsor tanpa ampun disebabkan seorang musuh sejati merebut kekasih hatinya. Ia menggambarkan penjahat itu sebagai monster yang menyamar sebagai dokter baik hati, memberi pengobatan cuma-cuma untuk para pasiennya. Itu berbahaya, kata si bocah. Sejauh yang diketahuinya dari televisi, adalah biasa monster jahat menyamar menjadi orang baik, sebelum segalanya terlambat untuk menyadari pasien-pasiennya telah terpengaruh dan menjadi budak-budaknya.
“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Mardio.
“Membunuhnya.”
Kemudian si jagoan pamit sebab jika terlalu lama hari menjadi lebih gelap dan akan ada banyak penyihir yang tak akan sanggup dihadapinya. Terutama mulut cerewet ibunya yang tidak mengizinkan dirinya kelayapan di malam hari. Mardio menyuruhnya datang lain waktu, menjanjikannya buku komik sebagai hadiah. Si bocah mengangguk senang, tapi katanya sebelum pergi, yang penting membunuh monster jahat itu.
Demikianlah bagaimana ia berpikir untuk membunuh dokter tersebut. Ia pernah memimpikannya sejak awal bencana romansa mereka, tapi ia tak pernah punya keberanian melakukan itu. Lagipula membunuh si dokter mungkin hanya akan membuatnya semakin jauh dari Melatie. Tapi kata-kata si jagoan membuatnya tersadar, selama si dokter hidup, Melatie tak akan menjadi miliknya. Hanya dengan membunuh si dokter ia bisa menyingkirkannya.
Tidak, membunuh si dokter bukanlah gayanya, paling tidak begitulah ia berpikir. Itu jurus kampungan, seperti bocah-bocah yang berkelahi memperebutkan seorang gadis. Dan itu juga tak pernah diajarkan di hampir semua film yang dilihatnya. Jadi selama tahun-tahun yang menderitakan tersebut, ia mati-matian menahan hasratnya untuk membunuh dokter tersebut, meskipun ia sangat, sangat, dan sangat berharap dokter itu mati. Ia lebih suka melalui jalan lain, tampaknya jalan tikus yang menyesatkan, dalam cinta sejatinya: sabar menunggu.
Selama bertahun-tahun itu, ia selalu membayangkan bahwa pada akhirnya ia akan memperoleh sebuah akhir kisah yang menyenangkan, sebab begitulah yang diajarkan film kepadanya. Yang paling sering ia harapkan, sekaligus paling tidak ia percaya karena begitu manis alur ceritanya, adalah pada akhirnya Melatie menyadari betapa Mardio mencintainya sekejam setan-setan dan meninggalkan si dokter untuk memperoleh manajer bioskop yang romantis. Sekali lagi itu tak mungkin, sebab Mardio kenal belaka bahwa hidup sama sekali tidak manis. Ia mencoba membayangkan akhir cerita lain, yang sedikit dramatis, mengharukan, menggelora, dan menguras air mata, serta terutama masuk akal. Si dokter mati, Melatie menjadi janda tua kesepian, kemudian mereka berjumpa kembali. Tidak, Melatie tidak kemudian menerima cinta masa kecilnya itu karena ia kesepian. Sebaliknya, pada pertemuan itu, mereka saling jatuh cinta seperti remaja-remaja puber. Sebuah cinta yang sungguh-sungguh berbeda, segar, seolah mereka tak saling kenal sebelumnya.
Tapi lama ia kemudian menyadari, cerita yang kedua sama tak masuk akalnya.
Meskipun begitu, ia tetap percaya ada sebuah akhir yang membahagiakan bagi mereka berdua. Sebenarnya, jauh-jauh hari, ia pernah mendatangi banyak peramal dengan seutas rambut dan foto Melatie sewaktu gadis, dan semua peramal tanpa sisa memberitahu dirinya bahwa perempuan itu tak mungkin berjodoh dengannya. Tapi disebabkan takdir membuatnya keras kepala, ia tak pernah memercayai mereka. Bahkan seandainya semua ramalan itu datang dari Tuhan sendiri, ia tak akan memercayainya.
Selama bertahun-tahun, didorong rasa percaya dirinya yang berlebihan, ia selalu mempersiapkan rumahnya untuk kedatangan si nyonya rumah yang datang terlambat. Ia menyimpan baik-baik semua benda yang berhubungan dengan Melatie, seperti kotak minuman dan bungkus kacang bekasnya, dengan harapan jika akhirnya ia muncul di rumah itu, ia tak akan merasa asing lagi. Bahkan ia menyediakan sebuah kamar untuk perempuan itu sendiri, dengan meja rias dipenuhi semua kosmetik yang dipergunakan Melatie. Bahkan terdapat juga lemari pakaian, dengan isi dipenuhi semua pakaian yang sama persis dengan pakaian yang pernah dikenakan Melatie, di rentang waktu-waktu yang berlainan. Itu semua bahkan membuat seolah-olah perempuan itu sungguh-sungguh telah tinggal di sana. Mardio tak pernah menganggap dirinya gila untuk apa yang ia lakukan, itu hanya dorongan cinta yang meluap-luap, katanya.
Tapi kini ia mulai bisa melihat bagaimana cerita cintanya akan berakhir. Di luar yang diduganya, bahkan ia tak pernah sanggup membayangkannya, Melati mati lebih cepat dari mereka. Di dunia yang dipenuhi penunjuk waktu ini, sekarang ia hanya berdua bersama si dokter, sama-sama tua dan kehilangan perempuan itu. Sambil duduk di kursi para peziarah dan menelan potongan apel terakhirnya, ia memandang ikan-ikan yang terbang di daun-daun, dan bertanya-tanya apakah ia bisa berharap bertemu Melatie di surga. Ia ingin memercayai harapan semacam itu, tapi akal sehatnya tak pernah mau berdamai.
Udara makan siang telah datang, Mardio tak ingin beranjak dari tempat duduknya. Semua apelnya hanya tersisa gundukan kulit dalam kantung kresek, dan ia tak tahu apa lagi mesti ia perbuat. Ia tak semahir pemuda-pemuda yang bisa duduk sendirian sambil bersiul menyanyikan satu dua lagu. Sementara itu hawa panas datang dari api unggun yang membara di puncak gunung-gunung, membuatnya semakin menggigil dan berkeringat dingin. Ia telah tenggelam dalam arus keringat di balik mantel yang membungkusnya.
Saat itulah ia kembali menoleh dan melihat si dokter dengan anak-anak dan cucunya. Mereka berlindung di bawah payung dari serangan api yang jahat. Kelopak-kelopak bunga melati dan kenanga dan mawar berpusing di antara mereka, dihujankan dari langit untuk kuburan perempuan itu. Bahkan di waktu-waktu berkabung seperti ini, Mardio berpikir mereka tampak lebih bahagia daripada dirinya. Mungkin demikianlah tugas mereka dilahirkan. Jika seseorang bertanya mengapa Tuhan menciptakan dokter itu, paling tidak ia bisa menjawabnya: untuk membuatnya menderita selama lima puluh tahun.
Mardio memandangi mereka dengan tatapan bolong masih dalam ketidaktahuan apa yang mesti ia lakukan selain segera makan siang. Ia bahkan tak juga tahu apa yang akan dilakukan malam ini, dan besok, dan tahun depan. Sejak Melatie mati, ia tak tahu dengan cara apa ia memboroskan umurnya. Ia pikir bisa menghibur diri dengan duduk seharian di kursi peziarah, memandangi kuburannya, tapi setelah tiga hari ia mulai menyadari kesia-siaannya. Sebuah moncong di langit memberitahunya untuk bunuh diri.
Ia berkata kepada moncong itu bahwa ia tak akan mati dengan cara apa pun, sebelum menyelesaikan utang-piutangnya. Itulah waktu ia melihat si dokter dengan cara yang lain, dibawa oleh kenangan-kenangan buruk. Ia ingin bergabung bersama mereka, dalam gerombolan orang-orang sedih, gerombolan orang-orang pencinta perempuan yang sama. Dengan ditopang payung bumbu masaknya, ia berdiri dan berjalan zig-zag ke arah mereka, seperti tengah menempuh ujian memperoleh surat izin mengemudi. Keempat peziarah itu mengamatinya dengan penuh perhatian, dan ketika ia berdiri di depan mereka, si dokter segera mengenalinya dari semacam aroma nostalgia, tak peduli mereka tak pernah berkenalan. Si dokter bertanya bagaimana kabarnya.
Mardio tak pernah menjawab pertanyaannya, kecuali dengan senyum. Tangan kirinya berpegang kukuh pada gagang payung, tangan kanannya menyembunyikan pisau di belakang punggung. Ia kembali tersenyum, tanpa dosa. Lima tusukan cukup untuk membunuh si dokter sampai mati, meskipun ia tahu itu terlambat lima puluh tahun. (Tapi tentu saja ia tak membunuh si dokter; sebaliknya ia mengajaknya minum teh di rumah sambil meyakinkan bahwa dokter tak akan merasa asing, sebab ia akan mengunjungi rumah dengan aroma istrinya sendiri).
Demikianlah bagaimana mereka bersahabat, saling berbagi kisah sedih dan cinta di antara mereka. Hingga satu malam, si dokter tidur di kamar Melatie, atau kamar yang diperuntukkan bagi Melatie di rumah si tua Mardio. Mardio, dengan roman sedih lamanya bicara kepada si orang tidur, “Paling tidak, izinkanlah aku memperoleh yang tersisa dari perempuan itu.” Air matanya bercucuran deras, dan di tengah kesedihan penuh nostalgia ia mencium bibir si dokter, mencari jejak-jejak Melatie di sana, melepaskan yang tertahan sepanjang enam puluh tahun. ***
.
.
2003
Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati.
Anonymous
cerpen terbaik yang pernah saya baca.
Dendy
Cerpen yang bagus dengan bahasa yang indah,tapi intuk memahami cerita keseluruhan mungkin hanya orang2 yang berumur diatas 40 tahun,Cerpen ini membutuhkan wawasan tambahan untuk tahu apa saja tentang background yang menghias cerita.
Bagi saya pun harus berpikir agak keras untuk memahami apa yang dimaksud dengan “payung bumbu masak”….dan ketika saya tersadar dan tahu maksud pengarang,saya jadi tersenyum sendiri.😁