Cerpen Edy P Pandjaitan (Suara Merdeka, 05 Januari 2023)
AKU masih terhanyut dalam mimpiku. Sepenuhnya aku ingin memimpikanmu, paling tidak sampai waktu tertentu. Hanya malam untuk mimpi itu tak kunjung ada.
Tengah bulan, tak biasa kuhabiskan separo malam dengan terbangun. Kumelamun menanti bisikan. Malam itu, kukira seharusnya kita merasa bersalah. Atau seharusnya aku merasa bersalah. Tapi aku tak merasa bersalah. Aku bahagia.
Kamu tahu kan, apa kata orang tentang dua insan manusia dalam satu orbit yang saling jatuh cinta. Bagiku itu sangat masuk akal. Bagiku sangat masuk akal, jika aku jatuh cinta pada seseorang yang dicintai sahabatku. Sama masuk akalnya bagimu, jika kamu menyukaiku sedikit, atau bahkan lebih dari sedikit kuharap karena kamu menyanyangi keluargamu.
Aku mengerti mengapa ia begitu menggebu-gebu. Dalam diri Raka, jejaka itu, bersemayam seorang lelaki yang tak mungkin meninggalkannya, sebab bukankah dia tempat tinggalnya hanya berjarak setengah jam naik mobil dari rumah Maya?
Dan begitulah. Setiap kali mereka usai kencan, Maya tahu bahwa ia dan kekasih barunya akan mengatur pertemuan berikutnya. Dan seiring setiap pertemuan, ada keputusasaan dan kebutuhan yang makin meningkat. Waktu terasa tergenggam begitu saja.
Kulihat mereka bahagia meski tak begitu sempurna. Mereka tetap mengajak kencan pacar mereka seolah mereka tak punya kehidupan lain yang mereka pikirkan. Dulu aku geregetan dengan mereka berdua, kuanggap mereka lemah. Juga munafik, sebab mereka menyebut diri mereka feminis tapi menyodorkan diri untuk ditindas patriarki dan tak sadar bahwa dengan begitu mereka memperlemah posisi mereka sendiri. Tapi ketika Raka dan aku mulai. Aku tak keberatan menjadi seperti perempuan-perempuan itu. Aku tahu ada sesuatu yang salah dalam caraku berpikir, tapi ini perasaan yang sama sekali baru bagiku.
Aku sadar ini banyak hubungannya dengan waktu. Tak adanya kekasihnya ketika mereka memulai hubungan gelap memainkan peran penting dalam mengobarkan api asmara. Bahkan setelah kekasihnya sejati kembali dan itu berarti mereka harus kembali ke kebersamaan sehari-hari, sibuk di dapur tiap pagi, makan siang di kantor, makan malam bersama Irine masih saja melayang, masih saja sang bintang tersesat yang tak mau pulang, masih tak menyadari seberapa besar kerusakan yang akan mereka timbulkan. Seolah ada suatu kekuatan jinak—suatu sistem sebab-akibat yang lebih kokoh dibanding yang telah ada sepanjang masa—yang ia andalkan untuk melindungi dan membuainya dalam rasa aman yang aneh. Dan yang akan membebaskannya dari rasa bersalah serta mengubah cara berpikirnya menjadi seperti lelaki itu.
Tapi kami belum tiba di bagian terburuk dari situasi ini. Dan sebagaimana yang begitu sering terjadi dengan keterpurukan dalam skala seperti ini, ia datang serupa ombak yang menerjang-nerjang.
Aku tahu banyak tentang kamu. Aku tahu bahwa semua dalam perjalanan panjang. Dan yang paling penting, aku tahu tentang kamu dan Raka. Jika kamu tak minta maaf, kudoakan kalian masuk surga pada saat-saat yang secepatnya.
Tak lama kemudian, pandanganku mulai mengabur. Dalam satu momen yang menggetarkan, aku merasa melihat Suharto dengan senyum khas penuh misteri di tembok dinding yang lama kusam itu. Penguasa keras kepala yang menjabat terlalu lama dan mematikan regenerasi pemimpin Nusantara.
Tak pernah sebelumnya aku begitu menginginkan negara dipimpin olehnya begitu lama. Serasa miliknya sendiri. Tak pernah sebelumnya aku terpanggil untuk mengesampingkan diriku dan memberikan seluruh milikku kepada manusia lain seperti yang sering dikatakan orang tentang kewajiban seorang ibu.
Keesokan harinya aku dan Irine ngobrol lagi. Malam sebelumnya, ia tampak tabah dan sadar penuh tentang situasi yang dihadapinya. Ya, ia tahu hidup akan berat, untuk ia sendiri untuk bayi yang ada di kandungannya kelak.
“Hmmm…. Jadi sekarang harus bagaimana?” katanya.
“Kita menunggu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
Maka kuceritakan kepadanya, dengan seirit mungkin menggunakan kata. Di ujung cerita, aku melihat mulutnya yang sedikit menganga kembali mengatup, membentuk garis lurus, meyakinkan aku bahwa meski ia tak terlalu paham, ia tetap mendukung.
Malam tiba. Aku tertidur pulas dan aku mengembik-ngembik minta dipeluk disayang-sayang dan diajak ngobrol. Tadinya berencana nonton konser, tapi berubah pikiran ketika aku bilang aku ingin menginap.
Kupandang dengan nanar sepucuk surat di mejaku itu. Saat ini aku sudah naik pesawat dan pulang dari Jakarta, begitu ia menulis. Terima kasih sudah membatalkan liburku. Lagi pula mustahil mengatakan apa yang kupahami, atau tak kupahami, pada saat itu dan pada jam-jam berikutnya. Atau apa yang membuat aku merasa diriku bagai disantap lahap-lahap oleh iblis yang selalu bercokol di atas kehidupan kami, yang namanya bahkan tak kuketahui.
Sudah sedemikian lama aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Saat itulah aku tersadar bahwa dunia yang dimasukinya adalah dunia di mana ia tak menginginkanku di dalamnya.
Awalnya, aku mencoba menghibur diri bahwa ia melakukan itu karena ia mencintaiku. Cinta menjauhkan orang yang kau cintai dari bahaya. Tapi perasaan itu tak bertahan lama. Aku mulai tak percaya diri. Kupikir itu salahku. Tak mampu mengisi kekosongan dalam dirinya.
Tapi perasaan itu juga tak bertahan lama. Ketajaman nalarku tak berasal dari langit, melainkan dari bumi. Segala yang tak logis membuat hatiku dingin. Penderitaan yang tak perlu membuatku bosan. Aku tak ditempatkan di bumi ini untuk menjadi samsak tinju, apalagi samsak untuk diriku sendiri.
Maka aku mulai menyalahkan dia. Bahkan aku tak mungkin tahu bahwa sepuluh tahun kemudian nanti seperti apa, sebab meskipun kedengarannya sedikit basi dan naif, pertemuan kita adalah pertemuan sangat indah.
Saat itu aku membencinya. Tapi entah bagaimana aku bertahan. Bertahan dengan dia, dengan segala yang kelabu ini juga semu. Bertahan dengan memandang keelokan wajahnya dan namanya yang konyol, yang bukan berasal dari kehidupan ini.
Memang, tak ada seorang pun yang berani mengatakan kepadaku bahwa aku telah diperingatkan. Tapi aku perlu diperingatkan, sebab pengetahuan tentang diriku ini harus dialami dan dihayati bukan untuk diduga-duga banyak hal terjadi tanpa membutuhkan alasan. Dan faktanya tetap saja: dia tipikal pengajar dan aku penulis karangan. Kami sebenarnya adalah dua manusia romantis dari jenis berbeda dan kami ada karena kami masing-masing.
“Aku harus jalan,” kataku.
“Oke,” tukasnya, masih tanpa benar-benar memandangku. Matanya bergolak memandang sepasang sumpit yang entah bagaimana tak tersemat dengan benar dalam instalasinya yang tak berarti apa-apa bagiku. Kemudian ia mengatakan ia juga pergi, pergi ke ibu kota.
Saat aku berjalan menujunya dia bertanya apakah ia telah salah berucap. Lalu aku hampir tak jadi pergi. Tiba-tiba aku merasa ada udara panas yang menyembur ke arahku dan lalu yang ada hanya aku dan kota. Aku mulai berjalan. Aku merasa kuat dan lemah sekaligus, tapi aku tahu apa yang harus kulakukan. Wahai pendekar gagah berani, pergilah sana dan selamatkan dunia. ***
.
.
—Edy P Pandjaitan, wartawan di Wonosobo. Novel terbarunya, Panggil Aku Irine Saja (Mimbar Media Utama, 2021).
.
Sepotong Waktu. Sepotong Waktu. Sepotong Waktu. Sepotong Waktu.
Leave a Reply