SEBUAH gubuk tua tersembunyi di balik dahan-dahan pohon mahoni dan ilalang-ilalang. Mata yang tak awas akan sulit menemukan keberadaan gubuk yang di dalamnya tersimpan sebuah rahasia.
DI sanalah Larsih si kembang desa yang pernah menjadi primadona duduk terpasung. Rambutnya semrawut serupa gulungan ombak menjadi sarang kutu. Baju rombeng menutupi tubuhnya yang kurus.
Pesona perempuan itu dulu tak tertandingi. Kecantikan dan kemasyhuran namanya sebagai sinden, terkenal dari kampung ke kampung. Suara khas cengkok Larsih terdengar halimpu kala ia nyinden. Mengenakan setelan kebaya berkilau manik-manik emas dengan rok panjang bercorak ekor burung merak. Luwes melenggok ketika ngibing diiringi musik gamelan.
Tangan-tangan liar berupaya menjamah, menghujani Larsih dengan saweran. Semua hal dalam diri perempuan itu menawarkan sebuah kenikmatan. Jawara dari berbagai pelosok kampung datang, para pembesar dari kota pun rela blusukan demi mendengarkan Larsih ngahaleuang.
Namun, gegap gempita dunia panggung, pujaan terhadap Larsih sirna ketika ia mendadak gila. Suatu pagi, warga kampung geger melihat perempuan itu berlarian telanjang ke tengah jalan. Menjerit, meraung-raung, seolah-olah melihat setan. Mantri Somad lalu menyuruh Ki Endok mencarinya.
Mantri desa itu berujar ingin mengobati Larsih ketimbang membiarkannya berkeliaran di jalan. Setelah berhasil ditemukan, Larsih dibawa ke sebuah gubuk, kakinya dipasung saat mencoba kabur.
“Apa yang terjadi padamu, Nyai? Bicaralah…”
“Tolong aku!” Larsih akhirnya membuka suara.
“Aku tidak gila…,” ujarnya lagi sambil mengiba.
Batin Ki Endok bergejolak. Entah mengapa bayangan Sri, anak semata wayangnya yang telah lama mati, tiba-tiba muncul dalam ingatan. Larsih dan Sri, mereka lahir di tahun dan bulan yang sama. Sepasang gadis cilik tumbuh besar bersama.
Berbeda nasib dengan Larsih jadi sinden pujaan, Sri mati muda karena ayan. Kini nurani menantangnya berbuat sesuatu lebih besar. Namun, ia segera bangkit dan pergi ketika teringat hukuman dari Mantri Somad. Langkahnya terhenti ketika sebuah bisikan terdengar di telinganya. Begitu akrab. Begitu dekat.
Bapak…
Suara itu terdengar lirih menyatu bersama embusan angin malam. Ki Endok tertegun.
Bapak…
Nyalinya menuntun berbalik arah, membuka kembali papan pintu. Sesosok bayangan terlihat nyata di pelupuk mata. Ki Endok bergegas. Tangan lelaki paruh baya itu gemetaran mengambil kunci yang tersimpan di balik saku celananya.
“Tenanglah, diamlah!” ujar Ki Endok sambil memapah Larsih berjalan sempoyongan keluar meninggalkan gubuk. Emak Ijah terbangun terkaget-kaget melihat kepulangan suaminya.
“Cepat bawa dia masuk!” Emak Ijah menuruti perintah suaminya dengan kebingungan. Larsih tetap bergeming, wajahnya setenang hamparan samudra. Napasnya lembut dan tenang.
“Kang, kenapa Akang bawa dia kemari?! Bagaimana kalau ketahuan?!”
“Sudah saatnya, Ijah, sudah saatnya.”
“Apa maksud Akang?” tanya Emak Ijah penasaran.
“Pertanda itu, Ijah. Tadi aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”
“Siapa yang Akang lihat?”
“Anak kita, Ijah, anak kita.”
“Sri?”
“Ya! Siapa lagi?!” jawab Ki Endok kesal.
“Tapi… Kang… Anak kita kan sudah…”
“Ah! Sudahlah!”
Ki Endok melengos. Dia sudah menunggu saat-saat ini datang. Kini ia hanya perlu melakukan sedikit persiapan.
***
UDARA dingin menusuk pori-pori. Suara gemericik air memecah keheningan. Emak Ijah membersihkan setiap lekuk tubuh perempuan sinden itu dengan kembang tujuh rupa. Ia terkesima melihat perawakan tubuh dan kulit perempuan sinden itu masih memancarkan pesona.
Di ruangan lain, Ki Endok mengasah pisaunya di atas sebuah lempengan batu. Seekor tikus mati lalu diletakkan di atas talenan. Tikus itu terbelah hanya dengan satu kali sayatan, seisi perutnya terburai. Bau busuk membuat tenggorokannya tercekat. Usus tikus bercampur dengan jeroan monyet, sedikit percikan darah ayam hitam cemani lalu dicampurkan ke dalam semangkuk nasi.
Tergerak oleh insting, Larsih memalingkan muka ketika Ki Endok berjalan mendekatinya.
“Makan. Ayok…” Larsih menggeleng keras.
“Ah, dasar sundal! Buka mulutmu!” paksa Ki Endok sambil menjambak rambutnya dengan kasar.
Satu suapan besar menjejali mulutnya. Larsih mengerang. Tenggorokannya panas. Seisi perutnya bergejolak. Ki Endok memaksanya meminum darah bangkai ayam cemani itu sambil komat-kamit, melantunkan mantra.
Semburat cahaya kemerahan disertai suara gemuruh memenuhi ruangan. Beragam bentuk rupa binatang menampakkan diri. Ular berkepala tiga, kalajengking besar, tikus, lipan merayap di atas lantai. Larsih bergidik. Kedua bola matanya liar, menengok ke sana kemari.
Sambil bertelanjang dada Ki Endok berputar-putar. Melakukan gerakan tarian aneh lalu rebah sujud ke tanah. Menghaturkan sembah pada sebuah kuasa tak kasat mata. Wangi dupa tercium begitu kental bersamaan dengan semilir aroma khas tanah pekuburan.
Menyadari sebuah kehadiran yang ditunggunya hampir datang, Ki Endok beralih pada sebuah cemeti. Dilecutkan-lecutkannya cemeti itu sampai kulitnya terasa panas terbakar. Ah! Ah! Ah! Rasa sakit dari lecutan cemeti itu semakin membuatnya digdaya.
Bau menyengat amat busuk menyeruak. Sesosok makhluk akhirnya muncul dari balik kegelapan. Makhluk tak bernama itu lalu merangkak, berderak sangat lamban mendekati tubuh Larsih yang gemetaran. Jari-jarinya yang lancip, tajam, panjang menyentuh dada perempuan itu dan merasakan getaran yang amat disukainya. Putus asa, kecewa, amarah, sakit hati menyatu jadi satu. Kilasan-kilasan kenangan yang tersimpan begitu jauh di alam bawah sadar perempuan itu.
Panggung. Pujian. Nyanyian. Kesendirian. Keputusasaan. Dendam. Kegilaan sempurna akibat diperkosa beramai-ramai oleh orang-orang kepercayaan di rumahnya sendiri. Sungguh menggoda. Jiwa yang rapuh selalu enak jadi santapan. Dan lelaki tua itu mengundangnya secara sukarela untuk masuk ke dalam.
Jari-jemari itu lalu menyentuh leher jenjang Larsih. Ah…. Suara emas ini… Suara emas yang didamba semua perempuan sinden mana pun. Suara yang menimbulkan banyak iri hati dan kebencian. Kehidupan yang tragis dan lemah. Ia bisa merasakan denyut jantung manusia tak berdaya itu kini berada dalam genggamannya.
Setenang air mengalir. Seringan tubuhnya sendiri melayang di udara. Jari-jemari lancip tak kasat mata itu perlahan menembus dada si perempuan. Dua zat dari dimensi berbeda menyatu sempurna. Bercokol dan hidup dalam satu degup jantung yang sama.
Tubuh sang perempuan seakan dirobek-robek. Jiwanya terusir, kalah, hilang, lebur dalam ketiadaan ketika sebuah entitas mengalahkan eksistensi kesejatian dirinya. Ia tak kuasa melawan. Untuk terakhir kalinya, Larsih menjerit lantang lalu kembali terdiam.
Mengira ritualnya berhasil, hati Ki Endok diliputi kesukariaan. Di saat bersamaan, makhluk itu mencium keputusasaan yang sama dan memperlihatkan apa yang diinginkan lelaki tua itu. Wajah seorang putri kesayangan yang berharap hidup kembali dalam raga seorang sinden.
Sungguh pemandangan memabukkan! Lihatlah! Dua jiwa yang sama-sama rapuh. Begitu mudahnya manusia tertipu. Bagaimana mungkin ia mau mengikuti perintah lelaki tua itu jika bisa menguasai seluruhnya? Berbuat sekehendak hati dalam raga dan suara memikat ini? Kemahsyuran nama sang sinden akan kembali. Mereka berdua telah menjadi satu.
Terbayang di benaknya sebuah pembalasan dendam. Larsih menyeringai lalu memanggil Ki Endok dengan suara Sri yang khas.
“Kemarilah, Bapak…,” ujarnya, lalu dengan jari-jemarinya yang tajam mencekik dan menggorok leher lelaki tua itu. Emak Ijah menjerit-jerit melihat suaminya tergolek mati bagai ayam cemani yang disembelih tadi. Larsih tertawa cekikikan. Layaknya berada di atas panggung, sang sinden kemudian kembali duduk dan melantunkan haleuang.
Nguping hujan tengah wengi
Di imah keueung sorangan
Nguping hujan tengah wengi
Di imah keueung sorangan. ***
Catatan:
Halimpu: merdu;
Ngibing: menari;
Haleuang: nyanyian;
Ngahaleuang: bernyanyi.
Bait syair “Nguping hujan tengah wengi…, dst…”, merupakan sebait lirik kawih (lagu) Sunda Bangbung Hideung.
Widya Yustina, lahir di Ciamis, 1986. Menyelesaikan studi ilmu Jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Karyanya antara lain; Kumpulan Dongeng Fabel Jilid 1 (2019), Menenun Rinai Hujan (kumpulan puisi, bersama Sapardi Djoko Damono, 2019), dan Orakadut Jadi Tokoh (kumpulan cerpen, bersama Golagong, 2020).
Leave a Reply