Cerpen Nur Alawiyah Khaerunnisa (Fajar Makassar, 15 Januari 2023)
PAGI itu sunyi. Hanya mentari yang diam-diam muncul, malu. Dan kicauan burung menyapa sepi. Di perantauan aku sebatang kara. Demi mencari berkah sebuah rejeki yang akan kukirim ke kampung halaman demi pengobatan Bapak.
“Daeng, apa sudah dipikirkan untuk pergi ke Kota Besar itu? Di sana tidak ada satu pun keluarga, Daeng,” tanya adikku seraya menatapku dalam-dalam.
“Tidak ada pilihan lain, Ndi, inilah jalan satu-satunya. Bapak membutuhkan biaya untuk mengobati penyakitnya yang tidak murah.” Kataku mantap walau dalam hati berbisik lirih, meragu.
Tapi sejak saat itu, inilah keputusan terbesar dalam hidup yang kuambil. Jauh dari keluarga dan tegar seorang diri demi sebuah impian; kesembuhan Bapak.
Aku adalah seorang lulusan diploma keperawatan dari desa terpencil yang indah di pulau sana. Tugasku di desa hanya menjaga pustu (puskesmas pembantu) dan memberikan obat dan vitamin sesuai pengetahuanku. Jangan tanya dokter, di desaku hanya aku yang menjadi dokter, bidan, perawat, apoteker, laboran dan lain sebagainya. Mirip simbol statiun TV, satu untuk semua.
Benar bahwa tak ada yang ingin hidup di desaku. Semua orang yang memiliki gelar tentunya ingin pekerjaan yang mapan dan jauh dari desa miskin itu, katanya. Padahal desaku ialah desa terkaya menurutku. Semua sumber daya alam dipergunakan dan tidak ada lagi pasar sebab kami tahunya tukar barang.
Misal sayur kacang tetanggaku Dimas kutukar dengan ikan layang tangkapan Bapak. Dan itu sudah terjadi secara alami, bahkan aku tidak tahu ada yang namanya pasar. Sebab di desaku tidak ada benda semacam itu.
Orang yang bergelar tidak akan mau hidup susah, katanya. “Ah, tidak ada yang ingin mengabdi di desa sendiri. Padahal mereka kuliah dibiayai oleh kepala desa kami,” singgungku dalam hati acap kali melihat orang merantau ke kota besar.
Tapi kini aku menjilat lidah sendiri dengan dalih tak ada pilihan. Benar saja bahwa di pustu sendiri aku hanya diberi gaji 50.000 per bulan, sedangkan biaya Bapak berobat 50.000 hanya cukup sehari saja. Bayangkan gaji sebulanku habis hanya untuk satu hari. Dan selanjutnya apa?
Tak ada yang dapat aku lakukan selain melihat Bapak batuk setiap malamnya, pagi dan siang. Sepanjang hari Bapak tersiksa hanya karena menunggu bulan depan lagi sebab aku baru gajian bulan depan.
“Daeng, apa aku tidak usah sekolah saja ya? Dan membantu Daeng untuk kerja?” ucap adikku kala itu.
Aku yang tak menjawab kosa kata apa pun lalu pergi meninggalkannya yang masih terpaku di ruang tamu kala itu, sebab aku yakin adikku sudah tahu bahwa tak mungkin aku izinkan berhenti sekolah hanya untuk kerja. Aku sudah membahasnya berulang kali, bahwa hanya akulah yang harus kerja dan adikku hanya tahu belajar. Urusan biaya biar menjadi tanggung jawab aku.
Bapak yang semakin tua setelah ditinggal Ibu menjadi tak terurus. Kerjaannya hanya menangkap ikan dan diam di rumah. Ada mental yang terganggu kala itu. Aku sangat paham, bagaimana tidak Bapak yang sangat mencintai Ibu kami tiba-tiba harus merasakan kehilangan orang tersayang untuk selamalamanya, dan sangat tiba-tiba.
Penyakit jantung katanya. Memang ia, bahwa Ibu kami menderita hipertensi (tekanan darah tinggi) dari mudanya, tetapi karena keterbatasan biaya akhirnya kontrol dan pengobatannya berhenti sudah sejak lama, demi aku dan adikku, demi masa depan kami yang dibiayai juga tidak murah.
Sejak itu kami semua diselimuti penyesalan tiada henti sebab kami merasa seperti membunuh Ibu sendiri secara terencana, karena kami tahu penyakitnya tapi tak ada yang dapat kami lakukan, lagi-lagi biaya adalah hambatannya.
***
Akhirnya setelah kuputuskan untuk merantau, tak ingin kehilangan orang tua untuk kedua kalinya. Kali ini bismillah akulah yang harus berjuang.
Ke sana kemari melamar pekerjaan belum juga ada panggilan, dan suatu hari di minggu pagi setelah membuatkan Bapak pisang goreng dan secangkir teh, akhirnya apa yang kutunggu tiba-tiba datang lewat sebuah surat kabar dari pos yang Dimas ambil di desa seberang, desa yang memiliki fasilitas lebih maju dibanding desa kami.
“Alhamdulillah, Dim, makasih,” langsung kubuka surat dari Dimas yang menunjukkan nilai kelulusan layak untukku dalam sebuah tes CPNS.
“Alhamdulillah, Tetta, akhirnya anakmu lulus.” Kataku sembari memeluk Bapak yang badannya sudah mulai lemah dan kulitnya semakin keriput.
Bapak menangis sejadi-jadinya. Baru dua kali kulihat Bapak menangis, yang pertama sewaktu kehilangan Ibu, dan yang kedua sewaktu aku lulus.
Pekerjaan yang ia dan ibu cita-citakan tetapi tidak pernah tercapai karena harus dinikahkan di usia dini lewat ajang perjodohan nenek kakek kami dahulu. Aku tahu ada bangga dan bahagia luar biasa akhirnya keturunannya menggapai apa yang ia impikan sejak dahulu bersama istri tercintanya yang telah lebih dahulu beristirahat dengan tenang.
“Alhamdulillah, Nak, ibumu pasti sangat senang di sana melihat anaknya bisa lulus,” ucap Bapak sambil memeluk dan mencium frame foto milik almarhumah Ibu.
Terima kasih Tuhan atas segalanya. Namun ini bukan akhir, malah ini baru awal untuk sebuah kisah panjang di mulai.
“Tetta, mohon doanya penempatanku di Kota Besar yang sangat jauh dari desa ini. Tidak ada keluarga dan tidak ada rumah di sana. Mohon doanya agar kiranya anakmu dapat menjaga diri lahir batin dan tidak mengecewakan Tetta di sini,” kalimat terakhirku pada Bapak sebelum naik bus kala itu.
Masih kuingat dengan jelas, air mata Bapak untuk ketiga kalinya menetes melepas Sang Putra tercintanya yang harus berjuang seorang diri.
Ada tanggung jawab sebagai seorang lelaki yang tidak mudah. Gaji sebagai CPNS yang alhamdulillah cukup untuk sewa kost, biaya hidup di Kota Besar dan untuk biaya pengobatan Bapak.
Setiap kali lelah dan ingin menyerah, muncul bayangan Bapak yang membutuhkan biaya pengobatan dan muncul bayangan Ibu yang pasti akan memelukku andai Ibu masih ada di dunia ini. Terima kasih Tuhan atas segalanya. ***
.
.
Nur Alawiyah Khaerunnisa, biasa disapa Alawiyah. Lahir di Bulukumba, 15 Februari 1996.
.
Semua Demi Tetta. Semua Demi Tetta. Semua Demi Tetta.
Leave a Reply